Alas Reformasi Perpajakan
Adrianto Dwi Nugroho ;
Dosen Ilmu Hukum Pajak pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS, 09 Juni 2016
Di
tengah pembahasan intensif Rancangan Undang-Undang tentang Amnesti Pajak,
terungkap langkah pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan. Perubahan
UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disiapkan sebagai payung hukum reformasi tersebut.
Perlu
diingat bahwa suatu reformasi menghendaki adanya perubahan secara drastis
untuk perbaikan di suatu bidang (KBBI Daring: 2016).
Perubahan
drastis yang diketahui oleh publik sejauh ini adalah perihal atribusi
wewenang kepada fiskus (pegawai pajak) untuk mengakses data transaksi
keuangan yang dilakukan oleh wajib pajak melalui rekening bank yang
dimilikinya, dengan atau tanpa kepentingan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan. Wewenang ini terkait langsung dengan rencana penerapan automatic exchange of information
(AEOI) pada 2018. Prosedur yang dilakukan dalam rangka kerja sama global
antar-otoritas pajak ini diklaim mampu mengantisipasi praktik penghindaran
dan pengelakan pajak berbasis penanaman modal di luar negeri.
Kebijakan
ini mengindikasikan adanya kehendak politik pemerintah untuk menempatkan asas keterbukaan sebagai fondasi hubungan
antara fiskus dan wajib pajak. Namun, asas keterbukaan juga menghendaki bahwa
fiskus dapat melayani masyarakat wajib pajak untuk mendapatkan akses dan
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
prosedur pemungutan pajak yang sedang dilakukan terhadapnya, sesuai dengan UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Oleh karena
itu, wewenang fiskus untuk mengakses data transaksi keuangan wajib pajak
harus diimbangi dengan kewajiban fiskus untuk memberitahukan tindakannya
tersebut kepada wajib pajak, beserta dengan alasannya.
Terbuka, cermat, tidak
memihak
Asas
keterbukaan patut menjadi simbol dari reformasi perpajakan yang sedang
diupayakan. Namun, perubahan drastis untuk perbaikan di bidang perpajakan
menghendaki adanya manifestasi Asas- asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
lainnya, sebagaimana tertuang dalam UUAP. Beberapa asas yang perlu
diinternalisasikan ke dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) adalah kecermatan, ketakberpihakan, dan tak
menyalahgunakan kewenangan.
Asas
kecermatan di bidang perpajakan bermakna bahwa setiap keputusan dan tindakan
fiskus harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap, atau dengan
kata lain dipersiapkan dengan cermat. Asas ini perlu dimanifestasikan dalam
prosedur pemeriksaan, keberatan, dan penagihan pajak.
Komite
Pengawas Perpajakan mengungkapkan bahwa 144 dari 197 pengaduan yang
disampaikan masyarakat pada kurun waktu 2014-2015 berkaitan dengan tiga
prosedur ini. Apabila data ini disandingkan dengan data pengadilan pajak yang
menunjukkan pada kurun waktu yang sama terdapat 14.743 berkas permohonan
untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak (Sekretariat Pengadilan Pajak:
2016), maka dapat disimpulkan bahwa asas kecermatan belum sepenuhnya
diterapkan oleh fiskus.
Sementara
itu, asas ketidakberpihakan dalam prosedur pemungutan pajak menghendaki bahwa
setiap keputusan dan tindakan fiskus harus mempertimbangkan kepentingan para
pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. Risalah sidang Putusan
Mahkamah Konstitusi No 30/PUU-X/2012 mengungkapkan bahwa jumlah surat
pemberitahuan tahunan (SPT) pajak yang diperiksa setiap tahunnya hanya
mencapai 2 persen dari jumlah SPT yang disampaikan oleh wajib pajak. Secara
praktis, instruksi untuk melakukan pemeriksaan didasarkan pada analisis
risiko wajib pajak dan potensi penerimaan pajak yang dapat diterima oleh
negara dari pemeriksaan. Semakin besar risiko dan potensi tersebut, semakin
besar pula peluang pemeriksaan terhadap seorang wajib pajak. Kebijakan ini
mengindikasikan sikap fiskus yang parsial dalam keputusan dan tindakannya
terhadap wajib pajak.
Selanjutnya,
asas tak menyalahgunakan kewenangan pemungutan pajak mensyaratkan bahwa
kewenangan yang diatribusikan kepada fiskus tidak digunakan untuk kepentingan
yang tidak sesuai atau melampaui tujuan pemberian kewenangan tersebut.
Putusan Mahkamah Agung (MA) No 73 P/HUM/2013 menetapkan beberapa prosedur
yang diatur pada PP No 74/2011 tidak sesuai atau melampaui maksud dan tujuan
UUKUP, antara lain mengenai prosedur verifikasi dan limitasi terhadap
ketentuan pemberian imbalan bunga kepada wajib pajak. Prosedur dan limitasi
yang dibatalkan oleh MA tersebut menempatkan fiskus pada posisi yang lebih
menguntungkan secara prosedural, relatif terhadap wajib pajak.
Mendorong profesionalitas
Akhirnya,
konkretisasi AUPB ke dalam norma hukum yang mengikat (UUAP) memberikan corak
bagi reformasi perpajakan yang sedang diupayakan. Sebagai norma yang mengatur
interaksi antara fiskus dan wajib pajak, UUKUP wajib menginternalisasikan
AUPB ke dalam ketentuan-ketentuannya.
Perwujudan
AUPB dapat mendorong profesionalitas aparat pajak, sedangkan pengabaian
terhadapnya dapat memicu upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak terhadap
keputusan dan tindakan fiskus, di luar upaya hukum yang dilakukan oleh wajib
pajak ke badan peradilan pajak. Dalam keadaan ini, pelaksanaan keputusan dan
tindakan di bidang perpajakan dapat tertunda sehingga penerimaan negara juga
akan tertunda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar