Yuyun
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director,
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 04 Mei
2016
Bulan ini ada seorang
gadis kecil berusia 14 tahun yang meninggal dunia dengan sangat mengenaskan
setelah dihadang 14 pemerkosa dalam perjalanan pulang dari sekolah di kebun
karet daerah Lembak, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Nama gadis itu Yuyun.
Media massa baru mengetahui berita ini setelah hampir 3 minggu. Enam dari
para pemerkosa adalah anak di bawah umur dan ada pelaku yang merupakan kakak
kelas dan tetangga korban. Lebih mengenaskan, ternyata kejadian serupa pernah
dialami juga oleh anakanak lain meskipun justru karena mereka selamat, mereka
mengalami trauma mendalam.
Jangan kita lupa juga
dengan kasus kekerasan seksual yang menghebohkan di satu sekolah
internasional di Jakarta. Kematian akibat pemerkosaan massal sebagaimana
dialami Yuyun juga dialami Jyotti Singh Pandey, seorang mahasiswa perempuan
yang mengambil kuliah psikologi di India pada 2013. Ia juga diperkosa secara
bersama-sama oleh 6 laki-laki di dalam sebuah bus.
Perbedaannya dengan
kasus Yuyun, masyarakat di India segera mengecam pemerkosaan tersebut hingga
menjadi berita internasional, sementara masyarakat umum di Indonesia
tampaknya menganggap itu masalah ”biasa” dan tidak menumbuhkan rasa simpati
kecuali di media sosial. Indonesia masih lebih tertarik membahas isu pilkada,
pembebasan tawanan atau investasi.
Pembahasan perihal
Yuyun pun sebatas pemberian hukuman penjera bagi pelaku. Pemerkosaan massal
(gang rape) dan individual sama-sama menyakitkan bagi korban. Dalam laporan 7
Maret 2016, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan yang
terbanyak adalah terkait kekerasan dalam rumah tangga, disusul kekerasan di
ranah komunitas.
Dalam kedua jenis
kekerasan tersebut, kekerasan seksual adalah yang terbanyak terjadi di ranah
komunitas (mencapai 63% dari kasus yang dilaporkan) dan nomor dua terbanyak
adalah kasus rumah tangga (mencapai 30% dari kasus yang dilaporkan). Yang
mencengangkan adalah bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan semakin
meningkat, khususnya di ranah komunitas.
Tahun 2015, Komnas
Perempuan merilis informasi bahwa setiap jam terjadi 3 perempuan menjadi
korban kekerasan seksual di Indonesia Sementara itu Komnas Perlindungan Anak
melaporkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak pada 2015 adalah tertinggi
selama 5 tahun terakhir, yakni hampir 60% dari total kekerasan yang dialami
anak.
Lebih lanjut, data
yang terkumpul menunjukkan bahwa anak menjadi korban di lingkungan yang
seharusnya memberi suasana aman seperti di dalam keluarga, sekolah, dan di
antara orang yang dikenal anak. Fakta-fakta tersebut selayaknya cukup menjadi
perhatian bersama. Walaupun sama-sama menjadi korban pemerkosaan, sebab dan
dampak pemerkosaan belum tentu sama.
Studi oleh Ullman
(2007) yang melakukan perbandingan pemerkosaan massal dan individual
menemukan bahwa korban dari pemerkosaan massal lebih menderita. Secara sosial
korban pemerkosaan massal juga mendapat stigma yang lebih negatif. Hal ini
terjadi tidak hanya dalam lingkungan keluarga, tetapi juga pada saat korban
melaporkan kejadian pemerkosaan itu kepada aparat keamanan.
Dalam kasus korban
pemerkosaan individu, yang terjadi pelakunya kerap orang terdekat atau
dikenal sehingga lebih sedikit menggunakan kekerasan. Sementara dalam
pemerkosaan massal, korban dan para pelakupelaku cenderung tidak mengenal
dengan dekat sehingga mereka cenderung melakukan tindakan kekerasan fisik
yang brutal.
Laporan berbagai
lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World
Health Organization (WHO), dan World Bank, menyajikan data yang mencengangkan
mengenai peningkatan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Bahkan
mereka menyebutkan bahwa ini epidemi dunia.
Ironis karena dalam 20
tahun terakhir justru telah dikembangkan gerakan bersama untuk meningkatkan
kesempatan pendidikan bagi anak dan perempuan, juga program kesehatan dan
penanganan korban anak di lembaga penegak hukum. Di tataran ekonomi dan
politik bahkan sudah diakui terjadi peningkatan partisipasi perempuan dan
regulasi perlindungan anak juga sudah dibangun di banyak negara.
Satu laporan patut
dikutip, yakni World Report on Violence
Against Children 2006 oleh Paulo Sergio Pinheiro, ahli independen untuk
PBB. Ia melaporkan bahwa rata-rata pemerintah mendukung upaya penghentian
kasus kekerasan terhadap anak, tetapi perhatian dan penanganannya masih
terpecah- pecah berdasarkan isu pendidikan, kriminalitas, atau kasus.
Justru terlupakan
bahwa anak adalah bagian dari unit keluarga dan negara perlu mendukung
soliditas keluarga untuk tumbuh kembang anak secara fisik dan emosional yang
sempurna. Laporan-laporan yang mengangkat kekerasan seksual terhadap anak dan
perempuan selayaknya mengingatkan kita bahwa masalah ini mendesak untuk
segera dicari solusinya.
Dan solusinya tidak
bisa sepotong-sepotong. Masalah ini bersifat multidimensional. Ada sisi
problem sosial seperti relasi antaranak, antara anak dan orangtua, antara
anak dan guru, dan antarkelompok sosial. Ada sisi problem politik seperti
ketidakmampuan negara membangun kerangka hukum yang komprehensif atau
menyediakan infrastruktur yang memadai untuk keamanan perempuan dan anak.
Ada juga sisi problem
ekonomi seperti fasilitas bagi anak yang kedua orangtuanya bekerja atau
aktualisasi diri bagi generasi muda meskipun ia tinggal di perdesaan atau
putus sekolah. Temuan Ullman dan Laporan PBB harus menjadi bahan evaluasi
usaha penegakan kesetaraan gender dan perlindungan anak di Indonesia. Para
pelaku harus dihukum dengan sanksi yang lebih berat, tetapi upaya pencegahan
jangan sampai berhenti di hukuman saja.
Dibandingkan dengan
negara-negara berkembang lain, Indonesia mungkin dapat dikatakan lebih maju.
Kita telah memiliki berbagai organisasi untuk melindungi hak-hak perempuan
dan bahkan memiliki Komnas Perempuan, tetapi perlu bekerja keras lagi untuk
mentransformasi kelembagaan dan nilai-nilai sosial yang masih merendahkan dan
menempatkan perempuan sebagai target kejahatan atau kebencian.
Ini adalah usaha yang
tidak mudah karena Amerika Serikat (AS) yang menjadi model negara yang telah
memiliki infrastruktur dan kelembagaan yang melindungi perempuan pun ternyata
masih menjadi negara di mana perempuannya mengalami pelecehan dan kekerasan
seksual dalam jumlah massal.
Survei Pemerintah AS
yang dirilis National Center for Injury
Prevention and Control (2011) menunjukkan bahwa 1 dari 5 perempuan di AS
pernah mengalami kekerasan seksual. Artinya dana dan lembaga yang memadai belum
tentu mengurangi problem ini. Ada perlunya kita melihat lagi pada kebutuhan
atas pendidikan yang informatif seputar seksualitas dan konsekuensinya pada
individu dalam konteks bermasyarakat.
Di situlah nilai-nilai
HAM perlu ditularkan kepada generasi muda dan keluarga, termasuk mereka yang
tidak terjangkau oleh pendidikan formal dan berada jauh di tempat-tempat yang
kurang perhatian pemerintah. Tugas yang berat tetapi tidak bisa ditunda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar