Tuduhan Mafia Peradilan
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman Republik
Indonesia
|
KORAN SINDO, 09 Mei
2016
Tuduhan
adanya mafia peradilan jelas menyakitkan. Terkesan hanya memojokkan para
hakim. Padahal, jika pun memang ada mafia peradilan, ada banyak pihak yang
terlibat dalam proses peradilan hingga keluarnya putusan.
Isu
mafia peradilan kembali mengemuka. Penyebabnya karena ada beberapa operasi
tangkap tangan oleh KPK yang mengarah kepada para oknum di pengadilan.
Apalagi saat penggeledahan di kediaman pejabat tinggi Mahkamah Agung
ditemukan uang dalam jumlah signifikan, menambah daftar prasangka buruk
publik.
Dalam
acara hukum salah satu televisi swasta, Ombudsman RI menampilkan beberapa
temuan signifikan terkait runyamnya peradilan kita. Malah Komisioner KPK Saut
Situmorang dalam acara itu menyatakan, bahkan uang Rp50.000 pun diterima
untuk pembacaan putusan hakim di suatu pengadilan. Sedemikian parahkah
kondisinya sebagaimana diungkapkan komisioner KPK itu?
Makna Mafia Peradilan
Mereka
“yang waras”, sama sekali tidak pernah terlibat, mestinya marah besar dengan
sebutan mafia peradilan. Mafia adalah jenis sindikat kriminal terorganisasi
yang melindungi berbagai perbuatan para outlaws,
melakukan berbagai transaksi ilegal. Juga aktivitas terlarang perjudian,
peredaran obat terlarang, dan pemerasan. Layakkah istilah ini digunakan
menggambarkan dunia peradilan kita di semua tingkatan?
Sudah
telanjur menyebar memang walau tanpa terlalu paham makna sesungguhnya. Memang
idealnya kita tidak gegabah menggunakan istilah tersebut. Bertambah tidak
sederhana persoalannya jika kita juga menuntut penjelasan siapa yang terlibat
dalam mafia peradilan. Untuk sampai kepada putusan hakim ada polisi, jaksa,
pengacara, staf pengadilan yang terlibat dalam proses tersebut. Memang
runyamnya, ada tuduhan perilaku koruptif itu terjadi di semua lapisan dan
tahapan.
Bukan Isu Baru
Ketika
belajar di Australia pada 1998 saya pernah “dimarahi profesor” karena menyatakan
ada suap-menyuap dalam peradilan Indonesia. Dia marah besar karena meyakini
hakim adalah profesi mulia, orang-orang profesional. Malah, andaikan beliau
tahu pasti lebih marah lagi karena di Indonesia para hakim itu disebut juga
“wakil Tuhan.” Paham yang belum tentu dianut banyak negara lain.
Profesor
Australia itu baru turun tensi amarahnya ketika saya menunjukkan artikel yang
ditulis oleh Menteri Kehakiman pada masa itu, Oetojo Oesman, yang menulis, “More than fifty percent Indonesian
judges, taking bribery.” Tentu saja Profesor itu “setengah tidak percaya” ketika dikemukakan bahwa pernyataan itu
oleh Menteri Kehakiman Indonesia yang, di masa itu, membawahi seluruh hakim.
Kebetulan saya juga pernah membantu Federal
Court of Australia (Pengadilan Federal Australia) pada 1995 yang juga
melatih para hakim Indonesia.
Dalam
interaksi saya pada saat itu terungkap praktik-praktik penyimpangan, perilaku
koruptif. Bahkan ada hakim kita yang berani mengemukakan perilaku koruptif
itu. Ada cerita soal perkara basah dan perkara kering. Isu soal siapa yang
membagikan perkara yang biasanya oleh ketua pengadilan. Isunya, jangan
coba-coba tidak sejalan dengan sang ketua pengadilan karena akan kebagian
perkara kering atau malah mungkin tidak mendapatkan perkara sama sekali.
Sebagai
orang awam, saya tidak terlalu percaya dengan cerita-cerita negatif itu. Saya
meyakini ada banyak hakim dan staf pengadilan yang bekerja profesional,
berintegritas. Sedihnya, mereka ini digeneralisasi oleh kelakuan oknum hakim
dan pegawai pengadilan yang memang korup. Bahkan mungkin di antara mereka
masih bebas berkeliaran menjalankan aksi terlarangnya.
Masalah Menyakitkan
Memang
“ada terungkap” kasus-kasus yang melibatkan hakim, jaksa, polisi juga
pengacara yang mempertegas adanya mafia peradilan. Namun, tetap saja, sekilas
penggunaan istilah ini tergolong bombastis dan menyakitkan insan peradilan.
Sebutan mafia peradilan sangat menyakitkan karena berbagai alasan.
Pertama,
ada banyak hakim yang berintegritas, jujur, hidup hanya atas dasar hakhaknya
saja. Walaupun kita juga menemukan oknum yang tampil kebalikannya. Alasan
kedua, karena ada banyak pihak yang pantas dicurigai sebagai pelaku utama
dalam mafia peradilan, jangan hanya tertuju kepada hakim. Ada para staf
pengadilan yang berhubungan langsung dengan pihak beperkara.
Ada
di antara staf memiliki kekayaan di luar batas kewajaran. Suatu istilah yang
sangat menyakitkan bagi para hakim yang dengan segala risiko mempertaruhkan
integritas mereka. Tidak ada cara-cara duniawi yang berhasil memengaruhi
mereka. Saya menyaksikan ada di antara mereka yang hidup apa adanya dengan
segala risiko pekerjaan.
Demikian
juga ada banyak staf yang tetap berintegritas sekalipun dengan berbagai
keterbatasannya. Para pencari keadilan justru paling tersakiti dengan istilah
atau eksisnya istilah mafia peradilan. Mungkin mereka sungguh tidak bersalah,
tapi speechless dihadapkan dengan
proses yang korup. Itu sebabnya harapan akhir mereka pada hakim. Betapa
menyakitkannya ketika “kekalahan mereka” atau “masuk penjaranya mereka”
karena adanya proses peradilan yang korup.
Jalan Keluar
Jalan
keluar pertama, keharusan efektifnya pengawasan internal di lingkungan
pengadilan di semua tingkatan. Seberapa ampuh dan efektif pengawasan terhadap
para staf pengadilan dengan berbagai jabatannya? Apa tindakan nyata
pengadilan ketika para pejabat pengadilan nyata-nyata bersalah? Pengawas
internal pengadilan harus sensitif apabila menyaksikan kekayaan luar biasa
“tak wajar” di lingkungan kerjanya. Mesti ada alarm, kecurigaan, ketika di
antara mereka ada yang nyeleneh menampakkan kekayaannya.
Mafia
peradilan juga dapat terhindar jika kontak langsung dikurangi. Ada banyak
soal ketika ada kontak langsung dalam beperkara. Kondisi ini memunculkan
berbagai masalah mulai dari tafsir negatif hingga kejadian sesungguhnya.
Sedapat mungkin digunakan teknologi informasi dalam administrasi peradilan.
Cyber court, pengadilan cyber harus segera diterapkan di semua tingkatan.
Putusan
pengadilan harus bisa didapat melalui internet/ website. Tidak perlu datang
ke pengadilan. Selama ini bahkan putusan pengadilan untuk diri sendiri saja
seakan masuk kategori “barang langka dan barang mahal” yang rentan disalahgunakan.
Cyber court harus dapat menjadikan jadwal persidangan akurat. Jadwal sidang
yang tidak pasti dapat memunculkan keputusasaan dan menggerus wibawa
peradilan.
Kondisi
ini memicu penggunaan jalan pintas dan perilaku curang. Kita mestinya “marah
besar” dengan tuduhan mafia peradilan, ada banyak pihak yang tersakiti. Para
hakim, para staf pengadilan yang sungguh mengabdi. Harus ada mekanisme
internal yang efektif menutup ruang para calo, panitera, bahkan oknum hakim yang
mungkin saja ada meneror administrasi pengadilan.
Bahkan,
hasil investigasi Ombudsman pun memang merefleksikan masih banyak praktik
menyimpang. Sungguhpun menyakitkan, dalam batas tertentu tuduhan itu juga
sebagai bahan aksi nyata. Berbagai kekurangan peradilan menjadi tanggung
jawab kita semua, terutama pihak-pihak yang beperkara, untuk memperbaikinya.
Tuduhan
adanya mafia peradilan sangat menyakitkan bagi mereka yang tidak
melakukannya, tetapi dalam keseharian memang berada di dalam lingkaran peradilan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar