Tenaga Kerja Tiongkok
Ginandjar Kartasasmita ;
Mantan Menko Ekonomi, Keuangan,
dan Industri
|
KOMPAS, 12 Mei 2016
Dalam perjalanan di
pesawat Garuda, saya melihat-lihat majalah The Economist terbitan 23 April 2016. Ada sebuah artikel yang
menarik saya mengenai hubungan Myanmar-Tiongkok.
Dalam artikel itu dibahas betapa hubungan
Myanmar dengan Tiongkok, dua negara yang berbatasan dan terkait dalam tali-temali
sejarah yang panjang, belakangan ini memasuki fase baru. Hal itu terkait
proses demokratisasi di Myanmar dengan kemenangan NLD yang dipimpin Aung San Suu
Kyi di pemilu lalu.
Tapi, yang utamanya menarik bagi saya,
hubungan ekonomi kedua negara yang erat dalam masa pemerintahan para jenderal
di Myanmar itu ditandai makin kuatnya peran Tiongkok dalam ekonomi Myanmar.
Curahan investasi proyek-proyek infrastruktur skala besar telah menimbulkan
”kemarahan” yang dalam di kalangan masyarakat. Ditulis di situ betapa
investasi Tiongkok yang datang dengan puluhan ribu tenaga kerja telah
membangkitkan kerisauan rakyat Myanmar, bahwa negaranya akan berubah jadi
sebuah provinsi Tiongkok.
Para jenderal pun mulai menyadari dukungan
ekonomi Tiongkok itu makin merupakan liability. Maka, pada
2012, Presiden Myanmar Jenderal Thein Sein mendadak membatalkan proyek dam
besar Myitsone di hulu Sungai Irrawaddy. Beberapa proyek besar lainnya juga
dibatalkan, antara lain tambang tembaga dan proyek kereta api yang
menghubungkan Provinsi Yunan di Tiongkok ke Teluk Bengal.
Saya tidak terlalu memikirkan tulisan itu
sampai beberapa hari lalu, sewaktu mencuat masalah tenaga kerja Tiongkok
melakukan pengeboran tanah di lokasi TNI AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta,
yang mendapat tanggapan keras masyarakat.
Otomatis pikiran saya menghubungkan
keduanya. Rupanya ada pola yang sama dalam praktik kerja sama ekonomi
Tiongkok di Myanmar dan Indonesia. Sebelumnya juga kita mendengar betapa besar
kehadiran Tiongkok di sejumlah negara Afrika, dan bersama proyek-proyek
infrastrukturnya datang pula puluhan ribu tenaga kerjanya, bahkan karena
situasi di sana tak aman disertai dengan aparat militernya.
Saya tergugah menulis opini ini karena
mengalami sendiri masalah tenaga kerja Tiongkok ini. Kurang lebih 30 tahun lalu, dalam
sebuah proyek di Banten, datang ratusan pekerja Tiongkok. Sebagian besar
mereka adalah pekerja konstruksi bangunan, bahkan ada juru masaknya. Kami,
pemerintah waktu itu, memulangkan pekerja-pekerja itu dan meminta investor
memakai tenaga-tenaga Indonesia untuk pekerjaan yang dapat kita lakukan
sendiri.
Belakangan ini proyek-proyek Tiongkok makin
banyak di Indonesia. Saya kira itu tak masalah. Tapi, setelah pensiun, saya
juga tak tahu apakah pola yang terjadi di Myanmar, di Afrika, dan yang coba
diterapkan di Indonesia 30 tahun itu masih berjalan dalam masa pasca
reformasi sekarang.
Berita belakangan ini menunjukkan bahwa
pola itu masih berjalan, bahkan mungkin cukup intens. Kalau saja tidak
tertangkap basah oleh petugas keamanan TNI AU, mungkin tidak pernah ada orang
yang tahu atau yang tahu tetapi tidak peduli.
Menggelisahkan
Dalam kasus ini sekurang-kurangnya ada tiga
hal yang menggelisahkan. Pertama, tenaga kerja Tiongkok melakukan
pekerjaan yang sangat sederhana, pengeboran tanah untuk mengambil cuplikan.
Untuk pekerjaan tersebut kita pasti mampu.
Dengan proyek kereta api cepat, ada tanda-tanda akan
datangnya ribuan pekerja asing, yang akan melakukan pekerjaan yang sudah bisa
kita kerjakan sendiri. Seharusnya proyek-proyek pembangunan, siapa pun
investornya dan dari mana pun dananya, diwajibkan menggunakan tenaga kerja
sendiri. Pihak investor cukup mendatangkan penyelia bila
ahli-ahli di Indonesia tak ada atau masih kurang.
Investor-investor besar dari dunia Barat,
termasuk Jepang, tidak pernah mengirim tenaga-tenaga dengan keterampilan rendahan
karena biayanya memang lebih mahal. Sementara Tiongkok, karena mereka
kebanyakan penduduk dan ongkos buruh rendah, proyek-proyek itu datang
disertai tenaga kerja.
Sungguh ironis manakala kita masih mengirimkan tenaga
kerja ke luar negeri (TKI), di Indonesia lapangan kerja kita justru diisi
orang lain. Dari angka resmi tenaga kerja Tiongkok pada 2015
tercatat sekitar 12.800 orang atau 23 persen dari total tenaga kerja asing.
Ini jumlah tertinggi tenaga kerja asing, jauh dibandingkan Korea dan Jepang.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah angka tak resmi atau yang datang
tidak secara sah diperkirakan berlipat kali. Angka di atas kelihatannya hanya
puncak dari gunung es yang jauh lebih besar.
Kedua, masalah keamanan. Bagi
negara mana pun kedaulatan dan keselamatan negara adalah kepentingan nomor
satu. Tak masuk akal bahwa orang asing boleh melakukan kegiatan di wilayah
militer; di negara mana pun tak mungkin. Di Tiongkok pun mereka tak akan
membolehkan hal itu.
Tidak masuk akal mereka tidak tahu kegiatan
itu berlangsung di wilayah militer karena ada pemandu orang-orang Indonesia;
orang Indonesia mana yang tidak tahu Halim adalah wilayah angkatan udara.
Seseorang tidak perlu dianggap xenophobia dan penganut teori konspirasi jika
punya kecurigaan adanya motif lain di belakang kejadian itu. Apalagi jika
dilihat betapa agresifnya Tiongkok memasuki wilayah-wilayah di Laut Tiongkok
Selatan yang juga didaku oleh negara-negara ASEAN. Mereka mengirim armada dan
membangun pangkalan di pulau-pulau yang masih dalam sengketa. Saya kira kita
bisa membaca sikap Tiongkok yang agresif itu dengan gerakan Presiden Xi
Jinping yang kembali kepada ideologi politik
komunis garis keras, yang juga diberitakan dalam majalah The
Economist edisi
yang sama.
Dalam sejarahnya, Tiongkok memang sangat
ekspansif dan agresif. Tentu saja ini sesuatu yang wajar bagi negara yang
demikian besar dan dengan sejarah peradaban yang panjang. Kita juga telah
mengalami serangan Tiongkok yang mencoba menempatkan wilayah kita dalam
hegemoni dan menjadi vassal-nya. Saya ingat
belajar sejarah, pada abad XIII, Kublai Khan mengirim 20.000 hingga 30.000
anggota pasukan lautnya untuk menaklukkan Singosari. Tapi usaha itu dapat
digagalkan oleh Raden Wijaya, yang kemudian menjadi pendiri Kerajaan
Majapahit. Seperti kata Bung Karno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
Ketiga, siapa yang
bertanggung jawab? Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas kejadian
itu.
Yang sungguh menyedihkan adalah respons dari
pejabat yang mensponsori proyek kereta api cepat ini. Tanggapan
pertama yang kita dengar adalah telah terjadi kesalahpahaman, bukan
kesalahan. Tidak ada sama sekali pengakuan bahwa telah terjadi kesalahan
besar dalam dua hal di atas, yaitu didatangkannya orang-orang asing melakukan
pekerjaan sederhana dan, kedua, melakukan kegiatan di wilayah militer.
Saya menulis artikel ini tak
lain untuk mengingatkan kita semua, terutama mereka yang sedang memikul
amanah mengurus bangsa ini, agar lebih peka, lebih peduli, dan lebih punya
rasa tanggung jawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar