Siapa Peduli Korban?
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus Psikologi Forensik The
University of Melbourne; Berkhidmat di Komnas Perlindungan Anak
|
MEDIA INDONESIA,
10 Mei 2016
SUDAH
jatuh tertimpa tangga. Tamsil ini masih acap berlaku bagi para korban
rudapaksa. Mereka, baik lelaki maupun perempuan, baik kanak-kanak maupun
dewasa, masih harus mengalami penderitaan berulang kali pascatragedi seksual
yang mereka lalui. Viktimisasi kedua itu ironisnya dilakukan tak jarang oleh
keluarga korban. Korban dipaksa untuk tutup mulut, merahasiakan derita
mereka, dengan alasan bahwa peristiwa mengerikan itu aib bagi keluarga. Para
korban pun kerap disalahkan, dianggap turut berperan bagi terjadinya
kejahatan yang menimpa mereka.
Kendati
demikian, ada sebersit cahaya terang dari data kejahatan seksual. Seluruh
lembaga yang mengurusi masalah kekerasan terhadap anak, misalnya, memang
mencatat angka yang dimaksud terus mendaki dari waktu ke waktu. Akibatnya,
rentetan angka itu membuat masyarakat merasa terteror dan lembaga-lembaga
negara pun terintimidasi. Hukum disimpulkan tidak hadir. Negara dinilai tidak
sungguh-sungguh peduli.
Meski
reaksi kekhawatiran itu wajar, publik, bahkan lembaga-lembaga penyedia data
itu, harus memiliki pemahaman lebih konstruktif akan data tentang kejahatan
seksual itu. Boleh dibilang bahwa seluruh data kejahatan seksual bukan angka
kejadian kejahatan yang sesungguhnya. Data seperti itu disusun berdasarkan
jumlah laporan yang masuk ke institusi-institusi terkait. Dengan demikian,
data kejahatan seksual terhadap anak yang terus meninggi lebih tepat dipahami
sebagai angka bertambahnya jumlah laporan yang disampaikan korban maupun
masyarakat.
Tren
kenaikan laporan kriminalitas itu mengindikasikan dua hal. Pertama,
berubahnya pola pikir korban dan publik dalam menyikapi peristiwa kejahatan
seksual terhadap anak. Korban tidak lagi melihat dirinya sebagai pihak yang
harus berpasrah diri, tak berdaya. Sebaliknya, di 'sisa' akal sehat, korban
masih berinisiatif mencari pertolongan atau pun setidaknya menunjukkan ke
dunia bahwa pelaku kebiadaban seksual masih berkeliaran. Begitu pula dengan
masyarakat, alih-alih menyudutkan korban, mereka lebih menaruh empati dengan
menyemangati korban untuk melapor atau pun membantu membuatkan laporan ke
instansi berwenang.
Kedua,
bertambah tingginya data kejahatan seksual terhadap anak memperlihatkan
relasi yang kian baik antara korban dan masyarakat dengan lembaga-lembaga
penegakan hukum. Kepercayaan pihak yang disebut pertama tadi, sudah pasti,
merupakan sumber energi terbesar bagi kerja penegakan hukum. Atas dasar itu,
secara ringkas, kenaikan data kejahatan seksual terhadap anak dari
tahun-tahun menjadi dasar bagi khalayak luas untuk lebih optimistis bahwa
betapa pun upaya menekan kasus itu masih terasa berat, putik-putik
ketangguhan (resiliensi) masyarakat terhadap predator seksual sudah mulai
bersemi.
Yang
menjadi agenda penting berikutnya, sekaligus untuk menambah komprehensif data
tentang kejahatan seksual terhadap anak, ialah menambah kolom-kolom dalam
laporan berkala lembaga-lembaga perlindungan anak. Dari angka-angka yang
disediakan itu, berapa banyak yang kemudian ditindaklanjuti, baik melalui
proses hukum maupun nonhukum. Dari kasus-kasus yang diproses kepolisian,
berapa banyak berkas yang siap disidangkan. Dari seluruh berkas yang dibawa
ke majelis hakim, bagaimana variasi hukuman yang dijatuhkan. Dari rangkaian
data susulan itu akan dapat ditakar secara jernih: dari total kasus yang
dilaporkan korban dan masyarakat, berapa jumlah kasus yang berujung pada
jatuhnya putusan hakim yang berpihak pada korban.
Kelengkapan
data dari hulu hingga hilir itu kian dibutuhkan karena berdasarkan riset,
putusan pengadilan yang memenuhi keadilan korban akan berefek meredakan
potensi keresahan sosial akibat (persepsi tentang) maraknya kejahatan seksual
terhadap anak, sekaligus ini yang lebih penting--turut mendukung penyembuhan
kondisi korban.
Adilkah bagi korban?
Putusan
yang berpihak pada korban semestinya tidak sebatas dicerminkan beratnya
sanksi pidana bagi pelaku. Apalagi, dengan dasar filosofis viktimologi,
masyarakat dan negara seharusnya lebih berkutat pada penyelamatan korban dan
tidak semata-mata memikirkan jenis penghukuman bagi pelaku. Konsekuensinya,
dari singgasana majelis hakim, harus juga ada putusan nyata tentang perlakuan
bagi korban.
Rehabilitasi
memang telah menjadi--katakanlah--prosedur tetap bagi anak-anak yang menjadi
korban kejahatan seksual. Namun, hari ini, rehabilitasi baru sebatas pada
upaya pemulihan kondisi fisik dan psikis korban. Bagaimana masa depan
anak-anak yang telah diviktimisasi para pemangsa seksual biadab? Tetap tidak
ada jaminan bagi mereka. Nasib lebih nahas dialami korban berusia kanak-kanak
berjenis kelamin perempuan yang hamil akibat rudapaksa. Celakanya, setelah
jatuh vonis hakim, terdakwa (lalu menjadi terpidana) berlepas tangan dari
korban. Kewajiban terpidana terhadap korban maupun anak dari korban
kanak-kanak hanya tampak pada kejahatan berupa tindak pidana perdagangan
orang (TPPO).
Berdasarkan
Undang-Undang TPPO, sebagai tambahan atas hukuman badan, pelaku harus
membayar restitusi (ganti rugi) kepada korban. Pada kejahatan-kejahatan
selain TPPO, termasuk kejahatan seksual, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
produk usang masa kolonial--sama sekali tidak memuat ketentuan tentang
restitusi itu. Semakin tragis karena Undang-Undang Perlindungan Anak, produk
modern Indonesia merdeka, yang baru direvisi dua tahun silam, juga tidak
mengatur ihwal pemenuhan hak-hak korban oleh pelaku kejahatan seksual.
Padahal, sebagaimana studi Neng Djubaedah (2010), sekian banyak peristiwa
dalam sejarah Islam (baca: Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, serta praktik-praktik hukum lokal
menyediakan inspirasi sekaligus bahan yurisprudensi tentang keharusan
dipenuhinya hak-hak korban oleh pelaku kejahatan seksual.
Fajar
baru pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak telah menyingsing. Reaksi
berupa kepanikan akibat data kejahatan seksual yang meninggi tanpa henti
sudah sepatutnya direvisi. Bola sekarang berada di negara berikut segala
alatnya, khususnya lembaga-lembaga perlindungan anak dan penegakan hukum,
untuk merespons nyali korban, semangat guyub, dan kepercayaan masyarakat yang
kian kukuh itu. Salah satu cara jitu dan realistis untuk merespons data yang
terus mendaki itu ialah mengaktifkan kembali program perpolisian masyarakat.
Kita
meratapi tragedi yang susul-menyusul menimpa anak-anak Indonesia. Kita
berduka, kita marah. Namun, saya memupuk asa, di situ pula momentum
pembenahan besar-besaran sistem dan budaya hukum nasional khususnya terkait
perlindungan anak-anak senyatanya akan bermula. Bismillah, Allah SWT menguatkan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar