Sekretaris Mahkamah
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN; Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 07 Mei
2016
Pada 23 Agustus 2008,
dua hari setelah terpilih sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK), saya
bersama Wakil Ketua MK terpilih Prof Mukthie Fajar memanggil Janedjri M
Gaffar (Janed) untuk memberi tahu kepada Janed bahwa dirinya akan diangkat
kembali menjadi sekretaris jenderal (sekjen) MK.
”Setelah mendengar banyak masukan dan mempertimbangkan track
record Saudara, kami memutuskan untuk memperpanjang tugas Saudara sebagai
sekjen,”
kata saya. Kepadanya, saya menjelaskan bahwa sekretaris adalah jantung organisasi.
Bagus sekretaris, baguslah organisasi; rusak sekretaris, rusaklah organisasi.
Agar organisasi bagus
dan bersih bukan hanya keterampilan teknis dan urusan birokrasi yang harus
dikuasai, melainkan lebih dari itu, adalah integritas moral dan kejujuran.
Saya masih ingat ketika saya menekankan tiga hal kepada Janed. Pertama,
Saudara adalah pelayan administratif tugas-tugas hakim, tidak boleh ikut
mengurus perkara, bahkan juga tidak boleh tahu soal perkara.
Kedudukan Saudara
adalah pejabat birokrasi pemerintahan di sini, sedangkan hakim adalah pejabat
negara. Jadi secara ketatanegaraan, sekretaris itu lebih rendah daripada
hakim, dan karenanya tidak boleh mengatur-atur hakim. Kalau ada orang mau
berkonsultasi, apalagi meminta tolong tentang perkara kepada Saudara, katakan
bahwa Saudara tidak tahu karena bukan tugas Saudara.
Kedua, Saudara tidak
boleh mencarikan apalagi memberikan uang untuk keperluan saya di luar batas
yang telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan. Saya adalah ketua
di sini, saya tak perlu diservis dengan cara mencari-cari atau memaksakan ada
anggaran aneh untuk ketua.
Saya hanya mau
menerima uang yang sah dan disediakan oleh negara. Ini penting, karena yang
saya dengar banyak sekjen atau dirjen selalu mencarikan anggaran ekstra untuk
pimpinan lembaga, bahkan untuk keluarga pimpinannya. Ketiga, yang Saudara
layani di sini adalah hakim, bukan istri hakim atau suami hakim.
Oleh sebab itu,
Saudara tidak boleh menerima perintah dari istri saya atau istri dan suami
para hakim. Fasilitas yang disediakan oleh negara untuk para hakim dan
keluarganya harus sesuai dengan porsi yang sudah disediakan oleh negara.
Tidak boleh mencari-carikan dana untuk keperluan keluarga hakim.
Ini penting karena
yang saya dengar banyak sekjen dan dirjen sering diperintah-perintah oleh
istri pejabat. Dengan menyampaikan itu kepada sekjen waktu itu, saya berharap
agar saya dan sekjen sama-sama nyaman dalam bekerja. Saya juga ingin memberi
kekuatan kepada sekjen agar dia bertindak lurus dan tegas, tidak usah
pusing-pusing mencaricari dana untuk menyervis hakim dan keluarganya.
Saya tekankan bahwa
dia adalah pelayan hakim, tetapi juga tidak boleh mencari-cari jalan sesat
hanya untuk melayani hakim, termasuk ketuanya. Dia juga tidak boleh bersikap
jemawa kepada hakim karena posisinya sebagai pejabat pengguna anggaran.
Dia tidak boleh
menjalin hubungan sesat dengan orang luar seperti politisi, pengacara, atau
pejabat negara untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani MK, karena
prinsipnya sekretaris Mahkamah tidak boleh mengetahui tentang penanganan
perkara. Sekretaris tidak bisa memengaruhi, tidak punya akses terhadap
perkara, dan karenanya tidak boleh memegang berkas perkara.
Saya meyakini, apa-apa
yang saya pesankan kepada Janed itu dilaksanakan sesuai dengan keinginan
saya, minimal dalam hal-hal yang terkait dengan tugas para hakim. Itulah
sebabnya saya merasa aman dan nyaman, tidak dihantui oleh masalah apa pun
sampai sekarang ini.
Itu pulalah sebabnya
saya merasa masygul ketika Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dicegah
bepergian ke luar negeri dan rumah serta kantornya digeledah oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi menyusul penangkapan tangan terhadap Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution.
Pencekalan dan
penggeledahannya itu sendiri menurut saya merupakan hal yang biasa saja untuk
keperluan penyidikan bagi tersangka Eddy. Yang mengherankan adalah
beritaberita saat penggeledahan dan setelah pencegahannya. Diberitakan secara
meluas bahwa saat digeledah di rumah Nurhadi ditemukan berkas perkara yang
seharusnya bukan wilayah kewenangannya sama sekali.
Diberitakan juga bahwa
gaya hidup Nurhadi begitu borjuis dengan dalih punya kekayaan melimpah dari
usahanya sendiri. Diberitakan bahwa Nurhadi begitu mudah memfasilitasi dan
membantu kegiatan-kegiatan ekstra para hakim dan atau keluarganya.
Diberitakan secara
meluas bahwa jika Nurhadi berkunjung ke daerah mendapat sambutan protokoler
dari ketua-ketua pengadilan dan jajarannya melebihi sambutan yang diterima
oleh para hakim agung, padahal sebenarnya dia hanyalah pelayan hakim agung.
Diberitakan secara
meluas bahwa Nurhadi di MA ibarat godfather
yang sangat berkuasa, berpengaruh, dan menentukan. Yang sangat membuat miris
diberitakan bahwa saat digeledah, di rumah Nurhadi ditemukan uang sebesar
Rp1,7 miliar yang tercecer di laci, mobil, bahkan di kloset kakus.
Diberitakan juga, saat
digeledah, keluarga Nurhadi berusaha menghilangkan dokumen dengan cara
merobek-robek dan menceburkannya ke lobang kloset maupun yang kemudian
ditemukan di tubuh istri Nurhadi yang semula menolak dengan alasan tidak
memakai pakaian dalam.
Saya sependapat dengan
Hakim Gayus Lumbuun, ”MA harus dibenahi total dari dalam”. Sekretaris Mahkamah
haruslah orang yang bisa dikendalikan, bukan orang yang mengendalikan.
Pimpinan Mahkamah dan para hakim mempunyai landasan konstitusional dan
martabat moral untuk melakukan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar