Regulator dan Operator yang Cerdas
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 12 Mei
2016
Saya
masih suka naik taksi konvensional walaupun staf-staf saya sering memanggil
taksi online dan sesekali saya ikut juga. Keduanya saya perlakukan dengan
adil karena keduanya bekerja baik dan ramah.
Kesempatan
itu kadang saya gunakan untuk berbincang dengan pengemudinya. Salah satu
pertanyaan saya adalah soal pendapatan. Kebanyakan pengemudi taksi
konvensional memang tengah mengeluh, penghasilan jauh berkurang, bahkan bisa
separuhnya. Namun, dari seorang pengemudi, saya mendapat cerita menarik.
Katanya, perusahaan taksinya sedang menyiapkan strategi untuk menghadapi
taksi online. Strategi ini sebagai antisipasi jika Kementerian Perhubungan
mengeluarkan aturan yang kurang kondusif bagi bisnis taksi konvensional. “Ini
strategi perang,” katanya.
Saya
jadi makin kepo. Untungnya si pengemudi terus saja bercerita. Katanya begini.
Perusahaan bakal mengganti mobil-mobilnya ke minibus.
Jumlahnya
ribuan. Lalu, tarif taksi diturunkan, akan lebih murah dari taksi online.
Misalnya jika sekali buka pintu tarif online adalah Rp3.000, di perusahaan
taksi ini hanya Rp2.000. Kemudian, tarif per kilometernya juga dibuat lebih
murah. Jika tarif taksi online Rp3.000, mungkin perusahaan taksi konvensional
ini bisa Rp 2.000. Wah, ini betul-betul perang, gumam saya dalam hati.
Tetapi
sebagai ilmuwan saya perlu mengingatkan, jangan perangi harga kalau belum
mampu perangi biaya. Lawan-lawanmu itu bukan tengah bermain, melainkan mereka
hidup dengan business model baru yang totally
different. Ini era disruption,
kelanjutan dari Cracking Zone yang sudah lebih dulu terjadi dalam industri
jasa telco.
Perang
harga, kalau tak diikuti perampingan cara dan biaya, hanya akan menggerus
EBIT. EBITDA bisa sama, tapi EBIT-nya akan berkata lain. Maka inovasi yang
harusnya dipilih bukan pada marketing side, melainkan pada business model.
Ruang yang Menyempit
Tapi,
apakah Anda tahu regulasi yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan soal taksi
online ini? Regulasi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum
Tidak dalam Trayek.
Aturan
ini di-posting di website Kementerian Perhubungan. Saya kutipkan beberapa.
Pertama,
perusahaan aplikasi tak boleh mengatur tarif, merekrut pengemudi dan
menentukan penghasilan pengemudi. Siapa yang mengatur? Belum jelas. Mungkin
pemerintah atau Organda. Kedua, perusahaan aplikasi juga mesti mengurus izin
perusahaan, minimal mesti memiliki lima kendaraan, memiliki pool dan bengkel.
Selain itu, kendaraannya juga mesti lulus uji, termasuk uji kir—yang publik
tahu di situ masih banyak biaya tak resminya. Jika tidak, bagaimana mungkin
Metromini atau angkot yang bobrok bisa lulus uji kir?
Masih
ada beberapa aturan lainnya, tetapi kurang lebih kita tentu bisa menerka
isinya, yakni masih inefisien dan bisa diperbaiki agar berpihak pada
kepentingan konsumen. Bukan pada salah satu pihak dan akhirnya mahal lagi.
Masalah
transportasi publik ini memang tengah menjadi perhatian dunia, termasuk PBB
dan Bank Dunia. Maklum saja, bisnis taksi, entah mengapa selalu dijadikan
bisnis yang highly regulated. Wilayahnya
dibatasi, ganti kota ganti izin dan nama perusahaan, banyak kewajiban dan
detail teknisnya, tarifnya dikontrol, aturan usahanya banyak, mahal dan
berbelit-belit. Selain izin, harus ada rekomendasi dan sebagainya.
Banyak
orang bingung mengapa transformasi industrinya tak semulus bidang retail,
perbankan atau jasa perhotelan yang kini sama-sama terancam disruption.
Memang beberapa studi menemukan, di banyak kota besar industri ini menjadi
tempat money laundering. Konon,
banyak pejabat buat aturan yang rumit untuk melindungi ribuan kendaraan
miliknya yang dititipkan pada perusahaan taksi atas nama keluarga atau
kenalannya. Itu terjadi di luar negeri, mudah-mudahan tidak di sini.
Tetapi
kalau tidak, harusnya regulator bisa lebih bijaksana dan berpihak pada
kepentingan umum dan turut menyelamatkan para incumbent dengan mendorong agar mereka mentransformasi diri,
bukan membiarkan hidup dalam ekonomi biaya tinggi. Sekarang ini eranya akses,
kolaborasi dan sharing economy yang berbasis teknologi. Maka jangan buat
ruang transformasi itu menyempit. Apa saja yang menyempit? Banyak sekali.
Misalnya, ruang untuk melakukan inovasi.
Anda
setuju bukan penggerak utama dari bisnis taksi online adalah inovasi,
terutama business model yang berbasis teknologi informasi. Kali ini inovasi
itu dikalahkan oleh regulasi yang cenderung mempertahankan status quo.
Ruang
lain yang menyempit adalah pemberdayaan aset-aset idle . Anda tahu banyak
mobil pribadi yang per hari mungkin hanya dipakai selama 2-4 jam. Selebihnya
menganggur. Padahal, di luar sana banyak calon penumpang yang membutuhkan
angkutan, terutama yang tarifnya kompetitif—kalau tidak mau disebut murah.
Juga,
kita masih memiliki jutaan pengangguran. Sebagian dari mereka memiliki SIM.
Kalau jumlah mobil yang menjadi taksi online berkurang, pengangguran yang
terserap juga menurun. Dan, masih banyak lagi.
Saran
saya, para regulator ini agar lebih banyak bicara dengan anak-anaknya.
Tanyakanlah apa yang terjadi dalam kehidupan mereka sekarang ini. Dunia
online tiga tahun lalu itu sudah jauh berbeda. Bicaralah juga dengan kaum
muda dan serap kemajuan yang terjadi. Mari kita sama-sama introspeksi.
Modus Operandi
Kekhawatiran
saya berikutnya adalah keberhasilan incumbent
berlindung pada regulasi akan menjadi modus operandi bagi bisnis-bisnis
lainnya yang terancam oleh bisnis berbasis aplikasi online. Potensinya ada.
Misalnya, hotel-hotel kita akan berteriak minta perlindungan kalau pasarnya
tergerus oleh aplikasi ala Airbnb atau Onefinestay. Travel agent akan
berteriak melawan Traveloka.
Perbankan
mungkin bisa meminta aplikasi ala Lending Club ditutup karena mengancam
bisnis pinjaman. Alasannya sederhana saja, setiap perusahaan yang
mengumpulkan dana masyarakat mesti memperoleh izin dari Otoritas Jasa
Keuangan dan diawasi oleh Bank Indonesia. Sementara, bisnis ala Lending Club
mungkin tak memiliki izin itu karena mereka tak mengumpulkan dana masyarakat.
Mereka hanya mempertemukan pebisnis yang membutuhkan dana dengan investor.
Kemudian,
perusahaan pergudangan bisa meminta aplikasi ala Flexe ditutup karena
mengancam bisnis mereka. Flexe adalah pasar maya bagi para pemilik gudang
yang ingin menyewakan ruang kosong sebagai gudang dengan masa sewa bulanan.
Bisa
juga perusahaan jasa parkir meminta pemerintah untuk melarang aplikasi
Citifyd. Aplikasi ini mempertemukan lahan kosong untuk disewakan sebagai
tempat parkir. Anda tahu, di saat-saat tertentu mencari tempat parkir bisa
menghabiskan waktu puluhan menit. Melelahkan.
Para
penerbit juga bisa ramai-ramai meminta agar aplikasi Scribd ditutup. Mulanya
Scribd hanya menyediakan layanan berbagi dokumen secara online. Layanan ini
sangat populer bagi kalangan akademisi, pekerja kantoran dan mahasiswa.
Namun, perusahaan startup ini melakukan inovasi langganan e-book dan audio book
dengan bisnis model sharing economy.
Kini ada lebih dari setengah juta e-book dan audio book di pusat data Scribd.
Lalu,
perusahaan periklanan luar ruang akan komplain dengan kehadiran Wrapify.
Untuk Anda ketahui, Wrapify adalah perusahaan aplikasi yang mempertemukan
pengiklan dengan pemilik kendaraan yang mobilnya boleh ditempeli iklan.
Begitulah,
semua bisa minta perlindungan dengan beragam alasan. Soal ini bangsa kita
sangat pintar. Celakanya, modus operandi semacam ini tidak akan membuat bisnis-bisnis
menjadi semakin efisien. Padahal, ketika berselancar di dunia baru ini,
ibaratnya kita tengah hidup di ambang batas kekacauan (edge of chaos) dengan ciri 3S: speed, surprises, dan sudden
shift. Era semacam ini menuntut
sosok perusahaan yang ramping, berotot, dan bergerak dengan gesit. Demikian
pula regulatornya, harus smart and
agile.
Bangsa
ini harus berdamai dengan perubahan. Apa yang Anda buat di masa lalu bisa
saja sangat bagus kala itu, lalu tiba-tiba menjadi usang dan kita tak boleh
cengeng dan cepat-cepat mengklaim hanya kitalah perubahan itu. Kata kuncinya
adalah bijaksana dan open mind. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar