Penyelesaian Masalah Papua
Frans Maniagasi ;
Pengamat masalah Papua Peneliti
pada Papua Resources Center-YLBHI
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
07 Mei 2016
PADA
29 April 2016, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Papua di Jayapura selain
membuka ajang Indonesia Soccer Championship (ISC), juga melakukan peletakan
batu pertama pembangunan Pasar Mama-mama. Kunjungan ke Papua ini merupakan
komitmen dan janji Jokowi pada saat kampanye Pilpres 2014. Perhatian dan
kunjungan ini akan bermakna jika ada suatu kebijakan yang pasti terstruktur
dan terlembaga untuk penyelesaian masalah Papua.
Selama
hampir 2 tahun masa pemerintahan belum ada kebijakan yang pasti untuk Papua
sehingga menimbulkan tanda tanya bagi rakyat di daerah ini (Papua dan Papua
Barat), apakah Presiden serius menuntaskan soal mereka. Bila dianalogikan
soal Papua ini, seperti malaria yang terkadang membuat suhu tubuh naik sangat
tinggi, tapi sebaliknya bisa juga menurun. Dinamika ini sudah berlangsung
cukup lama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih pascakehadiran United Liberation Movement West Papua
(ULMWP) sebagai observer dalam Perhimpunan Negara-Negara Ras Melanesia di MSG
forum di Pasifik Selatan.
Aktivitas
sayap-sayap perjuangan Papua merdeka yang dimotori kelompok-kelompok
mahasiswa dan KNPB yang mendukung ULMWP telah mengundang aparat keamanan
bertindak represif. Munculnya gerakan perlawanan pemisahan Papua dari NKRI
bila dikaji dari aspek historis politik telah berusia 70 tahun atau hampir
setua usia negara ini.
Perdebatan
para founding fathers tentang batas
wilayah teritorial Indonesia merdeka di sidang BPUPKI pada 18 Agustus 1945
hingga puncaknya di Konferensi Meja Bundar (1949) di Den Haag, Belanda gagal
menentukan status politik dari tanah Papua. Hal iniah menjadi titik awal
munculnya kasus Papua hingga proses penyatuan Papua dengan Indonesia pada 1
Mei 1963 dan pelaksanaan Act of Free Choice (Penentuan Pendapat
Rakyat/Pepera) pada 1969.
Sejak
reformasi 1998 masyarakat Papua dengan kesadaran penuh mempersoalkan proses
politik penyatuan mereka dengan NKRI. Kita ketahui pada pertengahan 1999,
satu delegasi yang terdiri atas 100 tokoh masyarakat dan perwakilan kelompok
strategis, bertemu dan berdialog dengan Presiden BJ Habibie di Istana Negara
Jakarta. Mereka secara terhormat, bermartabat, dan demokratis menyampaikan
aspirasi dan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka melepaskan diri dari
Indonesia.
Pascapertemuan
itu, gerakan perlawanan semakin terkristalisasi yang bermuara dengan
dilakukannya Kongres Rakyat Papua 2000 di Jayapura.
Otonomi kasus
Pemerintah
mengeluarkan kebijakan khusus untuk Papua termasuk Aceh melalui Tap MPR No
IV/MPR/1999. Dengan berdasarkan pada Pasal 18B UUD 1945, yakni 'Negara
menghargai dan menghormati wilayah-wilayah yang memiliki kekhususan dan
keistimewaan'. Pada akhir 2001 diterbitkan UU No 21/2001 tentang Otsus Papua
yang menjadi dasar dilakukannya rekonsiliasi antara pusat dan Papua, karena
selama proses penyatuan telah terjadi berbagai pelanggaran HAM dan pengabaian
terhadap hak-hak dasar orang asli Papua.
Bahkan
otsus merupakan platform bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pembangunan
di wilayah ini, tetapi tidak dijadikan sebagai referensi. Justru program
pembangunan yang dilaksanakan lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan
birokrasi pemerintahan ketimbang aspirasi dan kepentingan rakyat.
Lihat
saja belanja modal untuk memenuhi program pembangunan rakyat lebih lambat
serapannya dari belanja rutin. Belanja rutin membiayai keperluan aparat
termasuk perjalanan dinas. Otsus sebagai platform bukan cek kosong, tapi
pendelegasian kewenangan yang besar dan dana yang cukup signifikan untuk
Papua.
Dari
otonomi khusus menjadi otonomi kasus menimbulkan keprihatinan dari berbagai
kalangan, terutama dari para tokoh yang merancang draf UU Otsus Papua (2001).
Pada 23 Maret 2016 dilakukan focus group discussion (FGD) yang difasilitasi
Kepala Staf Kepresidenan. Dalam FGD ini rekomendasinya perlu dilakukan
evaluasi selama 15 tahun pelaksanaan Otsus Papua yang ternyata belum mampu
mendekatkan masyarakat Papua kepada kesejahteraan dan keadilan.
Para
peserta juga menyadari ada hal-hal positif dan kemajuan yang telah dicapai
Papua. Hanya saja Otsus telah menambah kesenjangan sosial ekonomi dan politik
antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang.
Evaluasi
Otsus perlu dilakukan dalam dua kategori. Pertama evaluasi yuridis formal
dengan meninjau bab dan pasal-pasal dari UU ini. Ketentuan-ketentuan mana
yang sudah dilaksanakan dan yang belum terlaksana sama sekali. Kedua,
evaluasi pelaksanaan di lapangan.
Evaluasi
ini menegaskan perlunya dibentuk tim khusus yang akan melakukan kajian secara
independen terhadap implementasi otsus.
Untuk
evaluasi sudah barang tentu dibutuhkan alat ukur yang dapat dijadikan
standardisasi dalam menilai sudah sejauh mana keberhasilan di bidang
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat plus pembangunan infrastruktur.
Sinkronisasi
Disadari
sepenuhnya selama 15 tahun pelaksanaan otsus belum menyentuh masalah
mendasar, seperti penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM, klarifikasi
sejarah penyatuan Papua dengan NKRI melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) sesuai Pasal 46 UU 21/2001. Masalah lain yang tak kalah
pentingnya ialah pembentukan Komisi Hukum Adhoc (Pasal 32). Komisi ini
bertugas dan bertanggung jawab melakukan sinkronisasi semua peraturan
perundang-undangan yang akan diberlakukan di tanah Papua dengan UU Otsus.
Kekisruhan
aturan yang tidak sinkron dengan UU Otsus menyebabkan interpretasi semaunya
saja. Kasus Perdasi No 13/2015 misalnya dengan Pakta Integritas tentang
Pelarangan Produksi, Distribusi Miras hingga kini masih menimbulkan
pro-kontra. Tujuan dari Perdasi ini sangat baik guna mengeleminasi penjualan
miras sehingga meminimalkan kriminalitas dan kekerasan terhadap sesama serta
KDRT akibat mabuk-mabukan.
Namun,
Perdasi tersebut dibuat tanpa melewati tata cara pembuatan sebuah peraturan
perundang-undangan sesuai UU 11/2012. Demikian juga dengan Pakta Integritas
yang hanya bersifat imbauan belaka.
Begitu
juga dengan pengambilan keputusan di bidang keuangan. Banyaknya peraturan
tentang pengelolaan keuangan daerah, yang hampir 6 bulan sekali mengalami
perubahan, membuat pejabat pengguna anggaran bisa terjerat kasus korupsi. Atau
sebaliknya, penggunaan dana pembangunan tanpa adanya kontrol dan pengawasan
sehingga seenaknya menggunakan anggaran daerah yang tidak sesuai tupoksi.
Dari
FGD ini, kesimpulannya ialah evaluasi dan penyempurnaan terhadap UU No
21/2001 merupakan keniscayaan, tetapi perlu kehati-hatian dalam melakukannya.
Menurut Agus Sumule, Sekretaris Tim Asistensi RUU Otsus Papua 2001, ada tiga
kelompok pemikiran; pertama, tidak perlu dilakukan penyempurnaan otsus, tapi
laksanakan dan optimalisasi implementasinya. Kedua, yang menghendaki
penyempurnaan. Ketiga, kelompok yang menghendaki diganti sama sekali dengan
UU baru.
Berkaitan
dengan pemikiran yang berkembang dalam FGD ini, penyelesaian masalah Papua
merupakan tuntutan yang mendesak sehingga evaluasi dan optimalisasi
implementasi Otsus Papua secara terlembaga dan terstruktur dalam kerangka RI
menjadi pilihan yang tak dapat ditunda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar