Momen Para Relawan
B Herry Priyono ;
Dosen pada Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS, 16 Mei 2016
Kerelawanan
(volunteerism) itu daya
keterlibatan yang muncul dari inisiatif independen melakukan sesuatu bagi
kebaikan bersama tanpa keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa dikte
pemerintah atau partai politik. Itulah daya societal ajaib yang sering muncul pada momen darurat masyarakat.
Dari arah sebaliknya, menjamurnya gejala kerelawanan dapat menjadi tanda
suatu masyarakat sedang berada dalam situasi darurat.
Tentu,
istilah "darurat" menunjuk penilaian tentang situasi masyarakat
pada waktu dan tempat tertentu, secara mendalam dipengaruhi idiom persoalan
yang sedang berlaku. Bentuk kerelawanan mencakup luas, dari urusan pendidikan
sampai kerja kemanusiaan, dari relawan politik sampai kesehatan. Organisasi
seperti Médecins Sans Frontières
(MSF/dokter tanpa batas) dengan tenaga medis dan kemanusiaan di wilayah
konflik adalah contohnya.
Ketika
kelompok-kelompok relawan muncul pada momen sejarah tertentu suatu
masyarakat, biasanya mereka disergap olok-olok tentang motif. Lalu muncul
pembedaan motif "altruisme" dan "kepentingan-diri",
antara idealisme dan realisme. Pembedaan itu bukan hanya primitif, melainkan
juga ngawur. Seperti banyak tindakan lain, kerelawanan digerakkan banyak
motif: dari heroisme sampai pencarian angka bagi lembar curriculum vitae lamaran kerja, dari keprihatinan akan
penderitaan sampai pemihakan politik. Karena itu, kita perlu hati-hati agar
tidak meromantisasi gejala kerelawanan.
Jangka
kerelawanan juga beragam: ada yang berciri lebih tetap, seperti organisasi
MSF, ada pula yang berciri sesaat sebagai tanggapan situasi darurat. Apa yang
memicu kemunculan aneka kerelawanan politik di negeri ini pada beberapa tahun
terakhir? Lonjakan paling kentara terjadi dalam kuatnya "Relawan
Jokowi" (Joko Widodo) menjelang Pemilihan Presiden 2014. Kini,
berkembang pula "Relawan Ahok" (Basuki Tjahaja Purnama) dalam
rangka Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jika menjamurnya kerelawanan bisa
menjadi tanda suatu masyarakat sedang berada pada momen darurat, apa yang
darurat?
Darurat politik dan
politisi
Tanda
itu kian benderang: krisis politik dan sepak-terjang para politisi. Warga
biasa seperti saya mengenali banyak anggota "kelas politik" negeri
ini makin ganjil, dan itu membuat institusi politik dalam arti sempit juga
kian membusuk. Tentu, soal ini bukan khas Indonesia. Gelombang sinisme
terhadap politisi dan politik konvensional sedang melanda dunia, dari Eropa
sampai Amerika Serikat (AS), dari Afrika sampai Asia. Kemunculan sosok
seperti Donald Trump di AS atau Rodrigo Duterte di Filipina dapat dilihat
sebagai muara sinisme itu.
Tentu,
ke mana sinisme itu bermuara sangat bergantung pada konstelasi situasi: di
beberapa tempat sinisme itu bermuara pada "ketidakwarasan", di
tempat lain bermuara pada pilihan "waras". Terpilihnya Sadiq Khan
sebagai wali kota London atau Justin Trudeau sebagai PM Kanada mungkin contoh
"kewarasan" itu.
Namun,
tampak bahwa kedua muara itu merupakan bentuk pemberontakan terhadap corak
kelas politik tradisional dan sepak-terjangnya. Entah muara "waras"
atau "tidak-waras", sinisme terhadap politik yang sedang melonjak
ini sungguh mencemaskan. Sebabnya juga lugas. Dengan apa kita membentuk,
mengelola, dan merawat kehidupan bersama kalau bukan dengan proses politik?
Semaju apa pun, sektor bisnis tidak dapat menggantikan proses politik
bernegara. Dan se-progresif apa pun lembaga swadaya masyarakat serta
organisasi civil society tidak menggantikan proses politik bernegara lewat
institusi-institusi formalnya. Setidaknya untuk proses dan jangka yang dapat
kita bayangkan.
Privilese
dan prerogratif "kelas politik" inilah yang rupanya sedang
membusuk. Banyak anggota kelas ini suka berkelit: "Bukankah sinisme
terjadi di banyak negara lain, mengapa hanya kami yang dituding?"
Maksudnya tentu agar kebusukan mereka terbenarkan, sebab mereka tidak
sendirian. Pertama, dalih seperti itu bahkan tidak lulus kaidah logika
semester pertama: bahwa dari pola yang terjadi, kita tidak dapat menyimpulkan
hal itulah yang sebaiknya terjadi. Kedua, alkisah Niels Bohr, fisikawan
Denmark peraih Nobel 1922, pernah mengatakan kira-kira begini pada suatu
momen diskusi dengan Einstein: "Kawan, kamu hanya berlagak logis, tetapi
sebenarnya kamu tidak berpikir!" Ungkapan itu sangat kena dipakai untuk
menanggapi dalih para politisi yang sering kita saksikan di layar televisi.
Darurat
politik dan politisi yang sedang terjadi dewasa ini tentulah juga bagian dari
sindrom ekspektasi kita yang bergeser lebih tinggi bagi kualitas kepelakuan
dan proses politik. Di zaman Orde Baru, kita tidak mempunyai ekspektasi
setinggi sekarang mengenai "kewarasan" proses politik. Dalam arti
ketat memang dapat dikatakan bahwa otokrasi dan kediktatoran tidak mengenal
'politik'. Yang ada adalah instruksi tanpa representasi.
Penilaian kita
tentang darurat dan krisis politik serta kepelakuan politik di negeri ini
tentu disergah dengan pertanyaan: mana buktinya? Daripada membuang waktu
untuk membaca tulisan yang bisa melantur dengan statistik dan data naratif,
silakan mengingat deretan kasus pelemahan KPK, skandal SKK Migas, korupsi
kolosal para pemimpin dan fungsionaris partai, kasus "Papa minta
saham", skandal jaringan-jaringan gelap para politisi, pejabat, dan
baron bisnis.
Juga
silakan simak indeks korupsi lembaga-lembaga negara yang dirilis secara
rutin. Profesi politik bukan hanya telah jatuh begitu rendah di mata warga
biasa, tetapi juga telah menciptakan sinisme makin tinggi. Lalu boleh juga
ditambahkan suasana paranoia yang hari-hari ini sedang diciptakan bagi ketakutan
akan kebangkitan ideologi komunis. Orang yang sedikit cermat mengenali
realpolitik negeri ini paham bahwa yang lebih mungkin bangkit bukan
komunisme, tetapi tribalisme agama dan militerisme ala Orde Baru.
Apa
urusan semua ini dengan gejala kerelawanan politik?
Selamat datang relawan
politik
Seperti
telah disebut, motif kerelawanan selalu beragam. Begitu pula keragaman
penyebab munculnya kerelawanan politik. Namun, lonjakan ketidakpercayaan
terhadap wahana dan pelaku politik konvensional dewasa ini rupanya merupakan
faktor sentral dalam keragaman penyebab. Bahkan, kerelawanan politik itu kini
pesat bukan hanya di Jakarta, tetapi juga subur di sejumlah daerah.
Gejalanya, asosiasi-asosiasi relawan menampilkan calon-calon independen yang
ditolak atau tidak didukung partai.
Untuk
mengatakan era partai politik telah berakhir pastilah gegabah. Dan mengatakan
bahwa inilah saatnya partai politik membenahi serta mengaca diri tentulah
klise. Partai politik akan jadi kendaraan politik untuk jangka panjang,
sepanjang yang dapat kita bayangkan. Namun, justru karena memegang privilese sebagai
kendaraan utama, partai politik seperti hidup di dunianya sendiri dalam
urusan representasi demokratis, lalu membentuk oligarki elektoral yang
tertutup. Bahkan, dalam banyak hal dapat dikatakan partai-partai politik di
Indonesia telah menjadi semacam kesultanan, dengan fungsionaris dan
organisasi partai sebagai birokrasi kepanjangan kehendak pribadi "sang
sultan", lengkap dengan ciri personalisasi.
Itulah
mengapa sosok-sosok kepemimpinan yang dikenal berintegritas tak mudah memakai
kereta partai. Sosok-sosok seperti itu justru menjadi musuh partai apabila
para "sultan" tidak berkenan kepada mereka. Tambahkan faktor
seperti politik uang (money politics),
urusan dinasti politik, distribusi proyek-proyek rente, dan lain-lain. Maka,
jadilah kerontokan kualitas proses politik seperti hari ini.
Akan
tetapi, mengapa ketidakpercayaan dan sinisme terhadap corak politik seperti
itu bermuara pada kerelawanan dan independensi? Mengapa bukan bermuara pada
apatisme? Atau bergabung dengan partai alternatif? Yang sering dilupakan,
dalam satu dasawarsa terakhir telah berlangsung aneka eksperimen kerelawanan
politik dan independensi, yang pada momen penting siap berubah menjadi
partisan (partisan volunteerism). Kemenangan Joko Widodo banyak dibantu kerja
keras relawan partisan. Bahkan, sebelumnya, kemenangan Susilo Bambang
Yudhoyono pada 2004 juga dibantu para relawan meskipun kadarnya belum seluas
kerelawanan politik bagi Jokowi.
Bukankah
kerelawanan politik hanya tambahan bagi kendaraan partai? Mungkin itu benar
secara legal, dan orang-orang partai berkepentingan membuat independensi
sebagai tabu. Namun, energi politik yang membara dari kerelawanan bahkan
sanggup melampaui daya konvensional mesin partai. Bagaimana Jokowi memenangi
Pemilihan Presiden 2014 berkisah tentang energi besar kerelawanan politik
itu. Inilah yang sering diabaikan dan dikecilkan orang partai, yang hidup
dengan "logika gorong-gorong" partai dan sulit mengakui besarnya
energi independensi dan kerelawanan di luar partai.
Maka,
mungkin kita perlu bersiap-siap dengan lonjakan energi independensi elektoral
dan kerelawanan politik. Bahkan, juga andaikan kualitas partai membaik,
semoga independensi dan kerelawanan politik tidak menyurut. Bukan karena
partai politik tidak lagi penting, melainkan karena independensi dan
kerelawanan ikut menjaga "kewarasan" politik. Maksudnya,
independensi dan kerelawanan menjadi penjaga tetap hidupnya ruang kemungkinan
bagi "yang baik" (the good)
dalam kehidupan politik di luar dikte partai. Bisa dibayangkan orang-orang partai
tidak suka hal ini, tetapi pokok ini tetaplah perlu dikatakan, entah disukai
atau tidak disukai orang partai.
Apakah
keutamaan independensi dan kerelawanan politik begitu luhurnya? Ini
pertanyaan menggelikan. Ambillah contoh energi besar independensi dan kerelawanan
politik para "relawan Ahok". Energi dan gerakan mereka sangat
mengesankan, tetapi mungkin juga mudah terpeleset ke rabun-politik. Pertama,
kecenderungan menganggap setiap kritik kepada kepemimpinan Ahok sebagai
penolakan terhadapnya. Padahal, mendukung tanpa kritik adalah resep menuju
tribalisme politik. Kedua, para relawan tak perlu kaget dengan gejala sindrom
kekuasaan ini. Orang yang mendapat kuasa, seenggan apa pun awalnya, mudah
dirasuki lupa-daratan.
Kekuasaan itu
obat-kuat sekaligus racun, membuat orang percaya-diri, tetapi juga self-centred, dengan kecenderungan
besar melanggar kepatutan dan aturan lewat manipulasi.
Saya tidak mengatakan patologi itulah yang terjadi pada Ahok, tetapi cara-cara
menggusur warga miskin Jakarta yang kini sedang ia lakukan tak perlu dibela
mati-matian.
Dan
seperti dalam beberapa tahun ini, jika nanti para relawan segera bubar dan
berebut jatah jabatan, kita tak perlu heran. Itu tidak mengurangi urgensi
kerelawanan dalam kebusukan politik dewasa ini. Sebab, kerelawanan
tetap cita-cita kemilau di depan sana. Tatkala partai memecah warga ke dalam
kubu "kami" lawan "mereka", kemungkinan mengalami
"kita" dan "kepentingan bersama" menjadi semakin langka. Etos kerelawanan memang sering perlu menempuh jalan partisan.
Namun, mesti dicamkan bahwa kerelawanan mengemban misi menerobos kebuntuan
hidup yang makin tersekat-sekat agar bangsa atau kota ini pelan-pelan sanggup
mengalami suasana inklusif sebagai 'kita'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar