Lebih Serius Melindungi Anak
Reza Indragiri Amriel ;
Alumnus Psikologi Forensik The
University of Melbourne; Berkhidmat di Komnas Perlindungan Anak
|
JAWA POS, 13 Mei
2016
PALU hakim pada
persidangan atas tujuh terdakwa berusia kanak-kanak dalam kasus Yuyun telah
diketuk. Mereka divonis bersalah serta dihukum 10 tahun penjara subsider 6
bulan pembinaan.
Berikutnya adalah giliran
para terdakwa dewasa yang akan diadili. Semua pihak berharap para terdakwa
dewasa tersebut akan diganjar hukuman seberat-beratnya. Bahkan, tidak sedikit
pihak yang ingin terdakwa dihukum mati. Namun, bagi jaksa dan polisi,
mengonstruksi dakwaan agar selaras dengan ekspektasi publik tampaknya bukan
pekerjaan enteng.
Kesulitan utama adalah
para terdakwa - sebagaimana pemberitaan media- disebut dalam keadaan mabuk
saat melancarkan aksi biadab mereka. Mabuk adalah persoalan pidana
sebagaimana tercantum dalam KUHP.
Tapi, kondisi mabuk itu
pula yang berpotensi menurunkan kualitas isi berkas acara pemeriksaan (BAP).
Apabila benar seluruh terdakwa menganiaya Yuyun dalam kondisi mabuk, pada
saat itu kesadaran mereka menurun. Fungsi berpikir juga terganggu. Begitu
pula fungsi memori mereka.
Anjloknya kondisi psikis
sedemikian rupa berlangsung manakala mereka melakukan kejahatan berikutnya
(setelah mengonsumsi miras), yakni menganiaya korban secara seksual.
Akibatnya, isi BAP yang disusun berdasar pengakuan dan ingatan para terdakwa
mabuk tersebut dikhawatirkan jauh dari valid.
Masalah yang bisa
ditimbulkan kondisi mabuk tersebut juga tidak terlepas dari momen munculnya
niat jahat terdakwa atas diri korban. Apabila niat sudah terbentuk sebelum
terdakwa masuk dalam kondisi mabuk, serta-merta terbangun gambaran kronologi
yang utuh antara niat dan perilaku jahat terdakwa. Sedangkan jika niat baru
terbit setelah terdakwa kehilangan kesadaran akibat pengaruh minuman keras,
pelik untuk diasumsikan terdakwa mempunyai pemahaman yang memadai. Yaitu
terhadap perilaku yang sedang ditampilkan terhadap korban pada saat itu.
Agar celah-celah hukum di
atas dapat disumbat, penting bagi polisi memastikan bahwa para terdakwa sudah
bersepakat melancarkan aksi jahat seksual sebelum mengalami penurunan
-apalagi hilangnya- kesadaran lantaran menenggak minuman keras. Selain itu,
dengan melalui pemeriksaan toksikologi, polisi perlu menakar durasi mabuk
yang dialami terdakwa. Durasi tersebut lantas dibandingkan dengan estimasi
waktu yang dihabiskan para terdakwa sejak mereka memulai hingga menuntaskan
tindak kejahatan terhadap korban.
Sebagai misal: apabila minuman
yang dikonsumsi terdakwa memunculkan efek mabuk selama setengah jam,
sedangkan tindak kejahatan sejak penganiayaan hingga membuang tubuh korban
berlangsung 45 menit, ada waktu selama 15 menit. Periode itu adalah waktu
saat terdakwa memiliki kondisi kesadaran yang memadai untuk memahami apa yang
baru saja mereka lakukan.
Ihwal kejahatan yang
dilakukan dalam keadaan mabuk bukan persoalan besar ketika yang duduk di
bangku terdakwa adalah orang-orang yang masih berumur kanak-kanak. Karena
belum memiliki age of consent, mereka terposisikan sebagai individu yang
belum berkehendak bebas sekaligus bertanggung jawab atas perbuatan mereka.
Kedudukan sebagai individu
tanpa age of consent sesungguhnya membuat status terdakwa (pelaku) bagi
anak-anak tersebut menjadi tidak tepat. Alih-alih mereka adalah korban. Atau
korban sekaligus pelaku. Apalagi jika anak-anak terse¬but kemudian mabuk
sehingga kehilangan kesadaran atas perbuatan mereka terhadap korban. Maka,
sekeji apa pun perilaku mereka, pengenaan status terdakwa (pelaku) terhadap
mereka kian problematis.
Berangkat dari gambaran
situasi di atas, korban dalam tragedi di Rejang Lebong ternyata bukan hanya
satu orang, yaitu Yuyun. Para terdakwa dewasa senyatanya juga telah
memviktimisasi anak-anak yang kadung ditetapkan sebagai terdakwa dan kemarin
divonis bersalah.
Keadilan
bagi Korban
Yang ironis adalah proses
penegakan hukum disibukkan dengan urusan menjatuhkan hukuman kepada pelaku
kejahatan, sedangkan nasib korban terkesampingkan. Tingginya tuntutan masyarakat
agar predator seksual dihukum seberat-beratnya terlihat bersimbiosis dengan
berseraknya pasal-pasal tentang hukuman bagi pelaku.
Pada kenyataannya, seperti
digarisbawahi sekian banyak ilmuwan, betapapun berbagai sanksi hukum yang
keras terhadap pelaku kejahatan seksual sudah diundang-undangkan dan
pendidikan untuk menangkal kejahatan semacam itu juga telah gencar diadakan,
tetap saja di masyarakat tidak terjadi perubahan perilaku dan budaya. Yaitu
berupa penolakan serta perlawanan terhadap kekerasan seksual (Seidman dan
Vickers, 2005).
Karena itu, bangunan hukum
nasional perlu diorientasi ke sisi korban kanak-kanak. Bukan pelaku. Hingga
kini perhatian kepada korban baru sebatas berupa penyelenggaraan
rehabilitasi. Baru ada satu peranti hukum nasional yang memuat ketentuan
tentang ganti rugi bagi korban kejahatan, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Kontras, KUHP maupun lex
specialis bernama Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) sekalipun sama
sekali tidak mengatur ihwal pemberian restitusi dari pelaku kepada korban
kejahatan seksual terhadap anak maupun keluarganya (jika anak meninggal
dunia). Pada aspek itulah revisi KUHP dan UU PA harus dilakukan.
Bahkan bukan sebatas
restitusi, yaitu ganti rugi dari pelaku kepada korban. Sebagai konsekuensi
penetapan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa
(terlepas dari tidak tepatnya parameter penentuan status luar biasa
tersebut), negara (c.q. pemerintah) pun patut dikenai kewajiban membayar
kompensasi kepada korban. Itu akibat kegagalannya menggerakkan
langkah-langkah luar biasa dalam rangka melindungi anak-anak Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar