Kearifan Menyikapi Nonmuslim Masuk Masjid
Hasan Asy’ari ;
Alumnus Universitas Islam
Negeri Malang
|
KORAN SINDO, 02 Mei
2016
Dalam dinamika
kehidupan sosial pada dekade terakhir ini, kita dibangunkan kembali oleh
wacana yang sudah cukup lama terkubur. Yaitu, mempersoalkan kembali boleh dan
tidak seorang nonmuslim masuk dalam masjid. Wacana yang diprediksi akan
selalu muncul seiring makin berkembangnya kehidupan social-politik yang cukup
dinamis dan bahkan cenderung rasis dan provokatif, terlebih menjelang pesta pemilu
di negara kebangsaan kita ini, Indonesia.
Konstruksi wacana
tersebut didasarkan pada fakta bahwa Hary Tanoesoedibjo, CEO MNC Group dan ketua
umum Partai Perindo, menghadiri undangan beberapa pesantren. HT— biasa dia
dipanggil—diminta memberikan wawasan kewirausahaan atau lebih tepatnya
berbagi ilmu dan pengalaman, success
story terkait dengan berkembangnya usaha yang beliau rintis.
Jiwa usaha harus
dimiliki umat Islam untuk meningkatkan taraf hidup dan lebih memberikan
manfaat pada yang lain. Rasulullah SAW selalu mendorong umatnya untuk
berwirausaha atau dagang. “Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang
pria dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR Ahmad). So, What’s wrong? Apa yang salah dalam
proses tersebut?
Sebagai orang yang
haus akan pengetahuan dinamika bisnis, adalah hal yang sangat wajar jika
harus banyak belajar kepada ahlinya. HT adalah orang yang cukup sukses dalam
berbisnis, bahkan dia tergolong meniti bisnis dari nol.
Artinya, bukan
melanjutkan usaha dari orang tuanya. Salahkah belajar atau mengambil hikmah
dari perjalanan kesuksesan seseorang meski bukan muslim?
Rasulullah SAW, 15
abad yang lalu, menganjurkan umat-nya untuk menimba ilmu sampai ke negara
China (al-Hadits). Negara yang memiliki kultur, budaya, dan agama yang
berbeda dengan budaya dan agama yang dibangun Nabi pada saat itu. Bangsa Arab
yang telah mengalami transformasi sosial dari masa suram jahiliah ke era yang
lebih mengedepankan nilai kemanusiaan dan keadilan dengan sentuhan kenabian
Muhammad SAW. Pertanyaannya, kenapa pilihan ada pada negeri China?
Dengan kecerdasan dan
ketajaman mata batin, Rasulullah SAW mencandra ada hikmah yang perlu
dipelajari dalam kehidupansosialmasyarakat China. Jika ditarik dalam konteks
yang lebih luas, Hadits tersebut juga mendorong umat Islam untuk selalu
membaca, belajar, dan mengambil hikmah dari sumber atau negara mana pun, yang
terpenting tidak keluar dari prinsip dan nilai-nilai agama Islam.
Kearifan Rasulullah
Jika yang dipersoalkan
adalah personal nonmuslim dan yang menyifatinya, kafir karena tidak percaya
Allah, misalnya. Maka itu, kita harus lebih bijak menyikapinya berdasarkan
perjalanan Rasulullah SAW, sebagai tauladan kita, sehingga kita tidak
terjebak pada kepentingan yang akhirnya mengotori hati kita.
Nabi Muhammad SAW
pernah mengutus beberapa penunggang kuda ke arah Nejd, tiba-tiba utusan itu
kembali dengan membawa tawanan yang bernama Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku
daerah Yamamah. Mereka pun mengikatnya di salah satu tembok Masjid Nabawi.
Kemudian Nabi SAW mendekati Tsumamah, lalu beliau memerintahkan, “Lepaskan
Tsumamah.” Kemudian Tsumamah menuju kebun kurma dekat masjid, dia mandi lalu
masuk masjid, dan menyatakan masuk Islam dengan bersyahadat. Laa Ilaaha
Illallaah Muhammadur Rasulullah. (HR Bukhari 2422 dan Muslim 1764).
Dijelaskan bahwa Tsumamah bin Utsal bukan orang kitabi (ahli kitab, Yahudi
dan Nasrani), tapi benar-benar orang kafir. Artinya kualitas kekafirannya
lebih tinggi.
Pada riwayat yang lain
juga dikisahkan, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran
yang berjumlah 60 orang. Di antara 60 orang itu, terdapat 14 orang dari
kalangan pimpinan Kristen Najran. Mereka adalah Abdul Masih, Ayham, Abu
HaritsahibnAlqama, Aws, al-Harits, Zaid, Qays, Yazid, Nabih, Khuwaylid, Amr,
Khalid, Abdullah, dan Yuhannas. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham, dan
Abu Haritsah ibn Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang sangat
disegani karena kedalaman ilmunya dan konon karena beberapa karâmat yang
dimilikinya.
Menurut Muhammad ibn
Ja’far ibn al- Zubair, ketika rombongan sampai di Madinah, mereka langsung
menuju masjid saat Nabi sedang melaksanakan salat asar. Mereka memakai jubah
dan sorban. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun melakukannya di
dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. (Ibn Hisyam, al-Sîrat
al-Nabawiyat, Juz II, hlm. 426- 428).
Al-Khatib asy-Syarbini
menambahkan, terdapat riwayat yang sahih bahwa Rasulullah SAW memasukkan
orang kafir ke dalam masjid beliau dan itu terjadi setelah turun surat at-Taubah,
surat ini turun pada tahun 9 Hijriah. Sementara beliau menerima banyak tamu
pada tahun 10 Hijriah, dan di antara mereka ada orang Nasrani Najran. Mereka
suku pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi Muhammad SAW menyuruh mereka
singgah di dalam masjid dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang
Al-Masih dan yang lain. (Mughni al- Muhtaj, 6:68). Pertanyaannya, mengapa
Nabi menerima tamu nonmuslim di masjid, padahal sebelumnya diturunkan surah
yang memerintahkan memerangi kaum musyrikin?
Surah at-Taubah
berbicara tentang pengampunan. Dinamakan juga dengan Bara’ah yang berarti
berlepas diri. Berlepas diri di sini maksudnya adalah pernyataan pemutusan
perhubungan, pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin. Surah yang
pada permulaannya tidak terdapat ucapan karena surah ini adalah pernyataan
perang dengan arti bahwa segenap kaum muslimin dikerahkan untuk memerangi
seluruh kaum musyrikin, sedangkan basmalah bernafaskan perdamaian dan cinta
kasih Allah.
Kesamaan dalam Pro-Kontra
Gambaran di atas yang
dijadikan acuan pendapat yang rojih (tampak kuat dan benar) diperbolehkannya
nonmuslim masuk masjid asalkan membawa kemaslahatan atau kebaikan. Pendapat
yang banyak digunakan oleh ulama, terlebih dalam kehidupan di negara bangsa,
Indonesia, yang penuh dengan keanekaragaman suku, ras, maupun agama.
Imam Syafi’i
berpendapat yang sedikit berbeda. Nonmuslim boleh masuk masjid kecuali
Masjidilharam. Pendapat ini didasarkan pada ayat “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. Karena itu,
janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini (tahun 9 H).” (QS
at-Taubah: 28).
Menurut Imam Syafi’i,
seperti yang dikutip Qurthubi, ayat ini mencakup umum seluruh orang musyrik,
terutama ketika masuk Masjidilharam, dan mereka tidak dilarang untuk masuk
masjid lain. Karena itu, dia membolehkan orang Yahudi atau Nasrani masuk ke
masjid-masjid lain (Tafsir Al-Qurthubi, 8: 105). Namun, dengan seizin orang
Islam yang balig. Dengan demikian, pelarangan ini bersifat kontekstual
sehingga tak bisa dikatakan sebagai bersifat universal.
Pendapat lain yang
cukup berbeda adalah diharamkan nonmuslim masuk masjid tanpa terkecuali. Hal
ini didasarkan pada perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, jika orang muslim yang junub tidak boleh
masuk masjid, orang musyrik lebih layak dilarang masuk masjid karena mereka
najis. Namun, banyak ulama yang menafsirkan bahwa najis dan kotor mereka
bukan pada badan mereka, tetapi keyakinan kufur dan syirik mereka itulah yang
najis dan kotor.
Jadi pada dasarnya
nonmuslim diperbolehkan masuk masjid. Namun, jika masuk masjid dimaksudkan
untuk tujuan negatif misalnya untuk merusak dan menghinakan serta
merendahkannya seperti memakai pakaian yang kurang sopan dan kotor, siapa pun
tak bisa diperkenankan masuk masjid karena itu bentuk anarkisme dan kezaliman
serta bentuk kemungkaran. Itu semua dilarang oleh agama. Niat dan sikap orang
nonmuslim ketika masuk masjid menjadi dasar boleh dan tidak masuk masjid.
Dengan demikian, jika
semua itu disikapi dengan bijaksana tanpa kebencian, masjid akan memancarkan
sinar kedamaiannya, sejuk dan harmonis, serta lebih khusyuk bagi orang yang
beribadah di dalamnya. Jika masjid digunakan sebagai media untuk mencaci maki
dan memfitnah, tanpa disadari melancarkan fitnah dari dalam masjid, bisa jadi
masjid terjauhkan dari umat.
Hal yang termasuk
dalam ini adalah larangan memaki sesembahan umat agama lain. Allah berfirman
dalam Alquran: “Janganlah kalian memaki
sesembahan yang mereka sembah selain Allah, maka akibatnya mereka akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS al-An`âm [6]: 108). Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar