Jualan Kecap
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 12 Mei 2016
Presiden
Joko Widodo marah lagi. Lagi-lagi soal pencatutan nama presiden. Nama
Presiden Jokowi dicatut untuk dukung-mendukung calon Ketua Umum Partai
Golkar. Meskipun tidak semarah seperti pencatutan nama pada kasus "papa minta saham" PT
Freeport Indonesia pada akhir 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Selasa (10/5),
menggambarkan, "Presiden sangat
marah akibat dikatakan begitu." Ada dua alasan mengapa Jokowi marah.
Pertama, Jokowi bukan anggota Partai Golkar. Kedua, tidak ingin mengembalikan
lagi cara-cara Orde Baru dalam dukung-mendukung seseorang.
Seperti
pencatutan nama kasus "papa minta saham", nama-nama yang muncul
itu-itu juga. Ada kabar Setya Novanto yang kini bertarung merebut kursi nomor
satu Partai Golkar mendapat dukungan dari Istana. Nama Luhut Pandjaitan
(Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) muncul juga. Luhut
diisukan sebagai orang yang menyebut dukungan Istana itu. Namun, Luhut sudah
membantah soal dukungan pemerintah terhadap salah satu calon Ketua Umum
Partai Golkar itu.
Dukung-mendukung
adalah tradisi lama, warisan politik era Orde Baru. Memang dalam setiap munas
Golkar, Presiden Soeharto selalu memberi restu karena ia adalah Ketua Dewan
Pembina Golkar. Meskipun di dalam terminologi politik kita tidak dikenal the ruling party, faktanya selama 32
tahun Golkar menjadi "partai pemerintah".
Lalu
apa benar pemerintah (Istana) tidak memberi sinyal dukungan kepada kandidat
tertentu? Pemerintah, sih, menyatakan bersikap netral. Secara spekulatif,
kalau dikatakan pemerintah tak punya kepentingan dengan partai politik,
rasanya mustahil. Sebab, parpol adalah instrumen terpenting dalam politik
modern yang demokratis. Biasanya begini, pemerintah mengirim sinyal dukungan
kepada kandidat tertentu. Bisa jadi kandidat itu dianggap memiliki komunikasi
yang baik dengan pemerintah. Atau, jika pemerintah berniat menunjukkan
kuasanya, justru akan condong ke kandidat "bermasalah". Itulah
nantinya menjadi "kartu truf". Jadi, kalau ada parpol macam-macam,
kartu truf bisa dimainkan.
Dan,
Golkar walaupun bukan pemenang Pemilu 2014, sangat diperhitungkan. Kisah Golkar
memang selalu panas, tidak seperti fungsi pohon beringin yang seyogianya
menghadirkan keteduhan dan suasana dingin. Pertarungan antarkandidat makin
menarik dicermati dalam berebut kursi yang ditinggalkan Aburizal Bakrie pada
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada 13-17 Mei 2016.
Ada
delapan kandidat, yaitu Ade Komaruddin (nomor urut 1), Setya Novanto (2),
Airlangga Hartarto (3), Mahyudin (4), Priyo Budi Santoso (5), Aziz Syamsuddin
(6), Indra Bambang Utoyo (7), dan Syahrul Yasin Limpo (8). Menariknya, ada
semacam "tanda jadi" untuk bisa meraih tiket pencalonan. Semula
sekitar Rp 10 miliar, tetapi kemudian turun menjadi Rp 1 miliar. Padahal KPK
sudah mengingatkan tidak boleh ada uang dalam munaslub. Belakangan
disebutkan, bukan sebagai sumbangan wajib. Dua kandidat terakhir menolak
memberi sumbangan itu.
Karena
ingin menang, barangkali wajar saja jika para kandidat bergerilya, klaim
dukungan, atau manuver laten. Namanya juga "jualan kecap". Kecap
selalu nomor satu. Merasa paling acceptable
untuk mem-fait accompli saat
pemilihan. Ketika ada larangan, tetap saja ada tim kandidat yang bertemu
pemilik hak suara di hotel. Begitulah berpolitik, realitasnya lebih banyak
menampakkan perilaku Machiavellis yang menghalalkan segala cara. Jika merebut
kekuasaan tidak bisa bersikap jantan, ia akan bertindak seperti binatang:
singa yang buas atau rubah yang licik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar