Dilema Yuridis Amnesti Pajak
Artidjo Alkostar ;
Hakim Agung; Ketua Kamar Pidana
MA RI;
Dosen Fakultas Hukum UII
Yogyakarta
|
KOMPAS, 10 Mei 2016
Suatu aturan hukum
sejatinya berada dalam struktur rohaniah bangsa karena memandu apa yang benar
dan yang salah, yang pantas dan yang melawan hukum, hukum bukan sebatas
keinginan politik dan untuk memenuhi kebutuhan pragmatis. Untuk itu, hukum
dituntut untuk berisi nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Konsekuensi logisnya,
aturan hukum yang diberlakukan di bumi Indonesia harus memiliki tali sumbu
nilai dengan falsafah Pancasila. Setiap hukum dalam dirinya mengandung sistem
nilai sehingga postulat moral aturan hukum mengenai pengampunan pajak, apakah
itu berbentuk undang-undang atau peraturan pemerintah, tidak boleh terlepas
dari nilai persatuan bangsa, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Perangkat
hukum yang tidak memiliki sandaran nilai kebenaran dan keadilan akan
menimbulkan kekusutan moral (moral
hazard) dan mematikan akal sehat (the
death of common sense).
Legitimasi etis yuridis
Ideologi hukum
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasional atau pengampunan pajak
harus memiliki karakteristik ketaatan terhadap asas hukum dalam rangka
bernegara hukum yang baik. Identitas hukum di negara Pancasila akan berbeda
dengan watak hukum di negara kapitalis atau komunis. Setiap produk hukum yang
jelek akan menjadi peninggalan dosa politik suatu rezim pemerintahan. Untuk
itu, diperlukan dasar nilai logis yang membenarkan pemberian pengampunan
pajak sehingga secara yuridis ada sandaran kaidah yang menjustifikasi tidak
memberikan sanksi terhadap perbuatan yang dalam undang-undang pajak telah
nyata-nyata diancam pidana.
Dispensasi moral bagi
pelaku tindak pidana dengan sengaja menghindari pajak atau memanipulasi data
pajak akan menjadi paradoks penegakan hukum dan mencederai rasa keadilan
masyarakat yang berkesamaan di hadapan hukum. Apalagi, dana yang disimpan
baik di dalam maupun di luar negeri tersebut terkait dengan pencucian uang.
Sementara pencucian uang sebagai kejahatan tambahan (supplementary crime) memiliki berbagai jenis kejahatan asal (predicate crimes), antara lain tindak
pidana di bidang perbankan, pertambangan, kehutanan, perpajakan, korupsi,
terorisme, narkotika, dan perdagangan orang.
Setiap aturan hukum
merupakan bagian dari struktur rohaniah suatu masyarakat bangsa karena kaidah
hukum memberi gambaran tentang mana yang patut dan tidak patut, mana yang
benar dan yang salah, karena di atas hukum ada hukum, yaitu kepantasan, akal
semesta, the golden rule.
Kepantasan pemberian dispensasi yuridis bagi pemilik banyak uang yang
melakukan tindak pidana perpajakan akan menimbulkan kontroversi penegakan
hukum. Wajar jika Presiden Joko Widodo mengumpulkan penegak hukum untuk
membahas pengampunan pajak (Kompas, 27/4/2016), karena secara substansial
hukum pengampunan pajak mengandung dilema yuridis antara memberi amnesti atau
pengampunan pihak yang melanggar hukum perpajakan yang hal itu bertentangan
dengan tuntutan konsistensi penegakan hukum.
Diperlukan konstruksi
hipotetis aturan hukum yang memperjelas relevansi sosial ekonomi perlunya
pengampunan pajak sehingga produk hukum pengampunan pajak memiliki legitimasi
etis yuridis dalam praktik penerapannya.
Sejatinya pajak
merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan untuk keperluan negara dan untuk digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dengan demikian, prospek penerapan undang-undang
pengampunan pajak atau peraturan pemerintah harus dapat memberikan gambaran
dan indikator korelasinya dengan kesejahteraan rakyat. Dan bagaimana
efektivitas aturan hukum tersebut, menuntut adanya kredibilitas instansi dan
aparat pemungutan pajak, kewibawaan proses penegakan hukum, dan ketaatan para
wajib pajak yang menjadi sasaran pemberlakuan.
RUU Pengampunan memakai
dasar Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 amandemen terakhir tentang kewenangan
Presiden memberikan amnesti dan Pasal 23A UUD 1945 tentang pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa. Pada dasarnya ada perbedaan antara amnesti,
abolisi, dan grasi, karena grasi demi keadilan dan amnesti ada motif politik.
Upaya pengampunan pajak baik deklarasi maupun repatriasi melibatkan prosedur
dan substansi sehingga memerlukan alas hukum yang tepat pemberlakuannya.
Untuk itu, diperlukan struktur logis pertautan antara amnesti pajak,
repatriasi, pengampunan, penerimaan dana oleh pemerintah, dan relevansi
ekonomis bagi kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, akan terlihat
kemasukakalan kelahiran aturan pengampunan pajak (tax amnesty). Pada saat
yang sama akan menepis kesan bahwa aturan pengampunan pajak ini kurang
memiliki nalar yuridis yang kuat.
Undang-undang
perpajakan Indonesia, yaitu UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No 28 Tahun 2007 selain ada aturan ancaman sanksi
administrasi juga ada ancaman sanksi pidana, antara lain mengancam pidana
paling singkat enam tahun dan paling lama enam tahun bagi setiap orang yang
dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan nomor pokok wajib
pajak dan tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak.
Sementara dalam RUU
Pengampunan Nasional antara lain ditentukan, apabila orang pribadi atau badan
mendapat surat pengampunan nasional akan mendapat fasilitas antara lain
penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan pengampunan
sanksi pidana di bidang perpajakan. Juga tidak dilakukan penagihan pajak
dengan surat paksa, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan. Namun, ada
pengecualian bahwa orang pribadi atau badan yang memperoleh pengampunan
pidana, kecuali tindak pidana teroris, narkoba, dan perdagangan manusia.
Pertanyaan hukumnya,
mengapa hanya tiga tindak pidana tersebut yang dikecualikan, apakah karena
merupakan kejahatan luar biasa. Secara yuridis, kejahatan yang
dikualifikasikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes di
negara kita dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah kejahatan
hak asasi manusia yang menyangkut kejahatan kemanusiaan dan genosida yang berkualifikasi
sistemik dan meluas.
Kejahatan lain yang
secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa dalam UU No 31 Tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 adalah kejahatan
korupsi. Untuk itu, perlu penjelasan dalam UU pengampunan nasional yang akan
diberlakukan, apa kualifikasi yuridis pengecualian tiga tindak pidana itu dan
mengapa tindak pidana korupsi yang secara yuridis berkualifikasi kejahatan
luar biasa tidak termasuk yang dikecualikan. Untuk itu, diperlukan rumusan
kategoris mengenai tindak pidana yang patut diberi pengampunan.
Efektivitas dan ironi hukum
Keberadaan suatu
aturan hukum sejatinya harus menjadi minyak pelumas bagi mekanisme mesin
politik dan roda perekonomian. Menghidupkan potensi perekonomian negara dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional merupakan harapan segenap rakyat
Indonesia. Predikat negara hukum, menuntut adanya transparansi prosedur dan
ketaatan asas dalam membuat regulasi peningkatan pendapatan negara.
Fasilitas pengampunan
pajak dengan memberikan kelonggaran kepidanaan, seperti tertuang dalam RUU
Pengampunan Pajak, dipertanyakan keefektifan penerapannya. Hal ini juga akan
mengundang ironi hukum bagi pelaku tindak pidana yang miskin atau melakukan
pencurian karena kelaparan.
Pengalaman Pemerintah
Indonesia memberikan fasilitas pengampunan pajak pada 1964 dan 1984 yang
ternyata tidak efektif harus dijadikan pelajaran bagi upaya akan
memberlakukan aturan hukum pengampunan pada 2016.
Dalam RUU tentang tata
cara pemberian pengampunan yang antara lain menentukan adanya syarat membayar
uang tebusan, melunasi seluruh tunggakan pajak, memberikan surat kuasa kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk membuka akses atas seluruh rekening orang
pribadi atau badan yang berada di bank dalam negeri dan bank luar negeri
untuk transaksi setelah memperoleh pengampunan, surat pernyataan bahwa
seluruh hartanya baik yang berada di dalam maupun di luar negeri telah
dilaporkan berdasarkan nilai pasar wajar.
Dengan persyaratan
tersebut dari perspektif hukum pidana, apakah mungkin orang pribadi atau
badan yang notabene memiliki kesalahan akan dengan sukarela memberikan surat
kuasa yang begitu luas dan melaporkan seluruh hartanya. Apalagi jika harta
atau dana yang disimpan di luar negeri itu berasal dari korupsi, pencucian uang,
tindak pidana di bidang pertambangan, perikanan, perbankan, penanaman modal,
pembalakan liar, perjudian, dan kepabeanan. Kualitas produk hukum yang
mengatur pengampunan pajak ini harus terlihat konsistensi norma logis
vertikalnya, tidak mengandung paradoks horizontal sebagai aturan hukum.
Sampai di mana
kekuatan hukum dari surat keputusan pengampunan menghapuskan tindak pidana
dalam hubungannya dengan perolehan kekayaan yang tidak sah ini dalam
kaitannya dengan penegakan hukum pidana? Bagaimana status hukum orang pribadi
atau badan yang setelah memperoleh surat keputusan pengampunan ternyata masih
ditemukan adanya data atau informasi mengenai harta yang belum dilaporkan dan
terindikasi berkorelasi dengan tindak pidana? Apakah terhadap harta yang belum
dilaporkan tersebut pihak Kepolisian, Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dapat melakukan penyidikan dan penuntutan.
Rangkaian area kelabu
hukum itu harus terjawab dalam konstruksi hipotetis pasal ketentuan
undang-undang atau peraturan pemerintah mengenai pengampunan dimaksud. Para
pemilik dana yang disimpan di luar negeri tersebut juga ingin adanya
kepastian hukum dan tidak dilanggar hak dasar kemanusiaannya.
Di samping upaya
pengampunan pajak tersebut, sebagai negara demokrasi dan menjunjung tinggi
hukum, negara Indonesia dalam upaya menjaga hak kekayaan negara di luar
negeri perlu memaksimalkan kewenangan dan memperkuat peran antara KPK, PPATK,
Kepolisian, Kejaksaan, Direktorat Jenderal Pajak, aparat Intelijen, untuk
bersinergi secara proaktif mengembalikan dana milik orang Indonesia yang
disimpan di luar negeri.
Negara akan terkikis
kewibawaannya kalau kalah pintar dan berkompromi dengan para kriminal. Jika
kita jujur bertekad membangun negara Indonesia kuat dan bermartabat, harus
percaya diri dengan kemampuan penegak hukum yang kita miliki. Hukum pidana
Indonesia dan penegakannya yang konsisten merupakan penjaga marwah dan harga
diri negara Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar