Buah Hati
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 15 Mei
2016
Dalam
ungkapan bahasa Melayu, anak adalah ”buah hati” bunda. Buah di mana-mana
tumbuh dari pohonnya, merupakan kepanjangan atau ekstensi dari pohon, setelah
melalui proses putik dan bunga. Ketika buah itu terlepas dari pohonnya pun,
identitasnya tidak terlepas dari pohon induknya. Pohon pepaya ya membuahkan
buah pepaya. Tidak ada pohon pepaya membuahkan pisang atau jambu, apalagi
durian.
Lain
hal dengan sebutan ”permata hati” atau ”pujaan hati”. Ungkapan seperti itu
bisa ditujukan kepada siapa saja, baik dari ibu terhadap anaknya, maupun dari
anak terhadap ibunya, atau ayahnya, bahkan pacarnya.
Seseorang
yang menganggap orang lain sebagai permata akan menilai orang lain itu
sesuatu yang indah, tak ternilai harganya, dan patut dipuja. Perasaan seperti
itu bisa terjadi pada diri siapa saja terhadap siapa saja. Biasanya yang
dijadikan permata itu dipuja, tetapi yang dipuja belum tentu dimaknai sebagai
permata hati. Misalnya, orang bisa memuja Tuhan tanpa harus membuat Tuhan itu
sebagai permata hatinya. Sebaliknya, seorang anak yang memandang ibunya
sebagai permata hatinya biasanya dengan sendirinya memuja ibunya itu.
Namun,
singkatnya, antara ”permata” dan ”pujaan” hati ada persamaan, yaitu keduanya
merupakan ekspresi dari emosiemosi positif terhadap sesuatu yang ada di luar
atau berasal dari luar diri kita sendiri. Sedangkan objek ”buah hati” adalah
bagian yang tumbuh dan berkembang (ekstensi) dari diri kita sendiri.
Ibaratnya orang menambah paviliun dari rumahnya, paviliun itu adalah ekstensi
dari rumah utama itu sendiri. Apa pun yang terjadi pada paviliun misalnya
atap bocor dan sebagainya secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh pada rumah utama.
Demikian
pula, kalau si buah hati (anak) sakit, atau sedang senang bermain, ibunya
juga ikut merasa sakit, atau bahagia. Lihat saja betapa seorang ibu sangat
menderita ketika mendampingi anaknya yang sedang tergolek di rumah sakit, dan
betapa lebar senyumnya ketika menemani anaknya sedang bermain perosotan di
taman.
Dalam
teori psikologi Kepribadian dari psikolog GW Allport (1897-1067), gejala
”buah hati” adalah salah satu simptom dari ”extension of the self”, yaitu
gejala pertumbuhan dan perkembangan dari diri (self ) yang tadinya terpusat
dari ego sendiri, kemudian disambungkan ke hal lain di luar dirinya.
Memang
waktu bayi baru dilahirkan, dia belum bisa membedakan mana yang dirinya mana
yang bukan dirinya. Tetapi, ketika dia berumur 1-2 tahun, yaitu pada saat dia
mulai bisa bilang ”tidak”, dia mulai sadar bahwa dirinya berbeda dari hal
lain di luar dirinya. Cobalah pada umur-umur 1-2 tahun, hadapkan seorang anak
ke cermin dengan noda (lipstik atau bedak) di hidung atau di pipinya.
Lihatlah reaksinya. Kalau dia masih tidak peduli, masih usrek sendiri di
depan cermin, dia belum bisa membedakan antara dirinya (wajahnya) dan bukan
dirinya (noda). Tetapi, kalau dia sudah memperhatikan noda itu, dan
menganggapnya sebagai benda asing, apalagi sudah mencoba menghapuskan noda
dengan tangannya, itulah tandanya dia mulai bisa membedakan mana yang
”diriku” dan mana yang ”bukan diriku”.
Untuk
beberapa tahun ke depan, sampai ia remaja atau masuk usia dewasa muda, anak
itu akan disibukkan dengan dirinya sendiri yang makin berbeda dari lingkungan
di luar dirinya. Tetapi, dirinya itu masih terbatas pada jasad dan jiwanya
sendiri saja. Dia belum bisa berbagi perasaan seperti seorang bunda dengan buah
hatinya.
Setakat
ini anak baru bisa menemukan ”permata” atau ”pujaan” hati. Ketika seseorang
menemukan sebuah permata yang dipujanya, ada perasaan ingin memiliki yang
bersifat egois (mementingkan pribadi sendiri). Perasaan takut akan kehilangan
permata yang dipuja itu akan berwujud misalnya dalam perilaku posesif seperti
waktu anak muda pacaran, ketika dia banyak menuntut, banyak melarang,
menelepon, atau SMS/WA tiap 30 menit untuk menanyakan, ”Kamu di mana?”, ”Lagi
ngapain ?”, ”Udah makan belum?”, ”Kamu bener tar ada yang jemput?” dan 1001
macam pertanyaan dan sapaan enggak penting lainnya yang isinya sebenarnya
adalah ikhtiar agar si pacar tetap dalam kontrol dia atau selalu jadi
miliknya.
Sebaliknya,
memperlakukan buah hati jauh dari egoisme, bahkan justru egonya si anak yang
lebih diperhatikan oleh orang tua. Kalau anak kedinginan misalnya ibu atau
ayah rela melepas jaketnya sendiri untuk menambah kehangatan si anak walaupun
si ayah atau si bunda sendiri kedinginan setengah mati. Menurut Allport,
ekstensi dariself atau sering juga disebut ego ini adalah salah satu tanda
dari kedewasaan (mature personality).
Pada
tahapan selanjutnya, ekstensi diri ini bisa berkembang bukan hanya kepada
anak sendiri, tetapi juga kepada alam sekitar, kepada anak yatim, kepada
organisasi, kampus atau perusahaan di mana dia bergabung atau bekerja, pada
kelompok teman yang sehobi atau seminat atau pada apa pun yang lain. Tanpa
ekstensi diri ini, menurut Allport, orang itu belum dewasa.
Tetapi,
hati-hati, suatu buah hati tidak otomatis selamanya menjadi buah hati. Pada
suatu saat seorang ibu bisa menginginkan anaknya masuk ranking 10 besar di
sekolah sehingga ibu ini memaksa anaknya les ini-itu sampai anaknya kelelahan
untuk mencapai ambisinya sendiri. Di sini si buah hati sudah berubah menjadi
permata hati. Namanya juga permata, tidak hanya untuk dimiliki, tetapi juga
untuk dipoles dan diproses sebegitu rupa sehingga tampak makin cantik dan
makin elok untuk dipuja. Nasib si permata sendiri tidak dipikirkan lagi oleh
si pemilik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar