Berbagi Rasa Merdeka
Nirwan Ahmad Arsuka ;
Pemikir Kebudayaan dan Anggota
Pustaka Bergerak
|
KOMPAS, 17 Mei 2016
Di
era revolusi teknologi dan informasi ini, listrik dan buku adalah dua tanda
kemerdekaan. Keduanya membantu manusia membebaskan diri dari cengkeraman
kegelapan: kegelapan lahir dan batin.
Dengan
listrik, kekuatan indera dan otot manusia mengalami peningkatan pesat
sehingga dalam waktu singkat bisa membalik arus air, memindahkan gunung,
menandingi matahari. Dengan buku, kekuatan kognitif manusia mengalami
metamorfosis yang mungkin pelan tetapi akhirnya membuatnya sanggup bahkan
untuk membayangkan dan—sampai batas tertentu—mewujudkan sendiri alam semesta
yang lain, yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Buku
yang bagus memang bisa jadi sejenis jalur hipotetis lubang cacing (worm hole) yang bisa membawa
pembacanya tersedot masuk berpindah ke ruang dan waktu yang lain. Jika pun
pembacanya tak beranjak dari tempatnya, dunia dan zaman yang ada di buku itu
dapat hadir menjelmakan diri merengkuh si pembaca.
Alberto
Manguel, penulis dan penjelajah, merangkai sebuah buku populer yang pantas
menjadi bagian koleksi wajib di semua perpustakaan, History of Reading. Buku
ini melacak aneka bentuk tindak membaca, dan pengaruh sang pembaca, sejak
ditemukannya tulisan di Sumeria hingga datangnya gelombang digital yang kini
menggemuruh di mana-mana.
Meskipun
tak ada bab khusus tentang pengaruh tindak membaca pada revolusi, kita bisa
dengan mudah menarik kesimpulan bahwa laku membacalah—dan menulis—yang
mengubah makhluk pramanusia menjadi manusia, mengikat serakan menjadi bangsa,
mengangkat naluri bertahan hidup naik menjadi peradaban. Pustaka
Bergerak—sebuah aktivitas nirlaba yang digagas sejumlah anak muda—yang
memburu pembacanya adalah tindakan aktif untuk ikut menjangkau yang terserak
dan terpencil, dan menautkannya kembali ke dalam ikatan yang lebih luas dan
hangat.
Memburu pembaca
Sejak
ditemukannya simbol dan aksara hingga hari ini, sebagian besar pustaka di
dunia ini adalah pustaka tak bergerak. Pustaka bergeming ini, sampai batas
tertentu, selalu memancarkan sejenis aura kuasa dan pengetahuan. Sejak
munculnya peradaban, pustaka yang bisa dianggap lengkap hanya mungkin
dibangun oleh penguasa yang sangat istimewa. Hanya raja atau ratu yang
benar-benar berkuasa, dan yang lebih penting: tercerahkan, yang sanggup
membangun pustaka. Ada ribuan, bahkan mungkin jutaan, penguasa yang kaya,
tetapi karena tak cukup tercerahkan mereka tak mampu membangun pustaka dan
tak sempat mewariskan khazanah.
Kegiatan
membangun pustaka memang kegiatan yang sangat mahal dan makan banyak tenaga.
Pengetahuan lisan yang terserak-serak harus dihimpun dulu lalu ditulis
menjadi kitab. Sebelum mesin cetak ditemukan dan digunakan luas, para
penyalin yang tekun bekerja untuk menggandakan kitab itu. Tak aneh jika
pustaka menjadi benda yang sangat berharga, yang disimpan di tempat yang
istimewa, bahkan terlindung seperti benteng. Mereka yang memerlukan pustaka
itu harus datang ke tempat pustaka itu dijaga, dan harus tunduk pada sejumlah
aturan yang tak jarang menimbulkan rasa berjarak buat mereka yang pertama
kali berkunjung.
Hari-hari
ini kita melihat bahwa pustaka bisa juga dibangun oleh orang-orang yang tak
punya kuasa dan kedudukan. Mereka jelas tercerahkan meskipun mereka mungkin
tak punya kuasa yang menundukkan. Mereka itu bisa jadi adalah tukang tambal
ban, pengasuh kuda, penjual jamu, pedagang tahu, tukang foto keliling, tukang
video yang meninggalkan kerja tetapnya di sebuah kantor media, seniman yang
memboyong keluarganya kembali ke kampung halamannya, atlet yang menganggur,
hingga guru di daerah terpencil. Pustaka bergerak yang mereka bangun tidak
berusaha terutama untuk punya koleksi sebanyak-banyaknya, tetapi untuk
memburu dan mendapat pembaca sebanyak-banyaknya.
Para
pembangun pustaka ini terus bergerak antara lain karena kehadiran mereka
ditunggu dengan tak sabar oleh anak-anak yang mulai menghafal jadwal
kunjungan dan jalur perjalanan mereka, anak-anak yang meninggalkan kebiasaan
menonton atau main pada jam tertentu karena tahu bahwa pada jam tersebut,
satu kendaraan pustaka akan melintas.
Mereka
terus bergerak karena ketidakhadiran mereka akan menimbulkan tanda tanya
bahkan kegelisahan dari para pembacanya, dan tak jarang kegelisahan itu
dibereskan dengan mendatangi tempat tinggal sang penggerak yang mungkin
sedang terbaring sakit dan susah bergerak. Para pengunjung itu, terutama
anak-anak, datang menjenguk mungkin bukan karena mereka benar-benar peduli
pada kesehatan si penggerak. Mereka jelas datang karena mereka tak tahan lagi
dengan rasa lapar mereka pada bacaan, rasa lapar yang mungkin menahun, yang
membuat mereka selalu ingin melahap buku apa saja, termasuk buku-buku bekas.
Jaringan dendam
Tak
banyak anak di Indonesia yang beruntung memiliki orang yang bersedia
meluangkan waktu menemani mereka membaca, dan mau bergerak memburu anak-anak
sekalipun suplai bacaan masih sangat terbatas. Jumlah pemburu memang belum
banyak, tetapi kehadiran dan kerja mereka itu nyata.
Mereka
muncul di berbagai sudut, tak jarang mereka bekerja secara mandiri, dengan
modal sendiri. Mereka bergerak membangun budaya baca-tulis dengan menggunakan
sepeda, kuda, becak, motor, bendi, perahu, atau bahkan kaki mereka sendiri.
Sebagian besar dari mereka ini tak punya penghasilan tetap, tetapi bersedia
menyumbangkan sebagian pendapatannya untuk mengurangi rasa lapar anak- anak
pada bacaan yang baik. Agar mendapatkan bacaan yang cukup layak, ada
penggerak yang tak ragu berburu sampai ke sarang pengepul barang rongsokan.
Ada
juga penggerak yang terus berjalan kaki memanggul noken mencari dan membujuk
anak-anak membaca, sekalipun anak-anak yang belum mengenalnya kerap
menghindar sebelum akhirnya teryakinkan. Untuk mencapai anak-anak di pulau
yang kekurangan buku, ada penggerak yang tak keberatan melaut dan
meninggalkan keluarganya berhari-hari. Semua bergerak dengan sejenis dendam
agar jangan sampai masa kanak-kanak mereka yang paceklik buku terus berulang
sampai ke generasi berikut: cukup para penggerak itu sajalah yang tak beruntung
karena bacaan yang tak memadai.
Meski
tak selalu terungkap jelas, dendam itu menyertai langkah para penggerak yang
beraneka ragam ini, dari kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah hingga Pantai
Pambusuang di Sulawesi Barat, dari Danau Toba di Sumatera Utara hingga Teluk
Cenderawasih di Papua. Tanpa gembar-gembor mereka terus mendatangi pembaca,
menyodorkan dan mengenalkan sejumput nikmat membaca, setitik rasa merdeka.
Pustaka Bergerak memang belum bisa membawa listrik ke tempat-tempat yang
jauh, hanya negara dan perusahaan besar yang sanggup melakukan itu. Namun,
dengan pustaka yang bergerak, rakyat kecil pun bisa menunjukkan bahwa mereka
juga sanggup berbagi rasa merdeka kepada sesama.
Selain
oleh para penggerak yang tercerahkan, pustaka pemburu pembaca dan pembagi
rasa merdeka itu bisa terus tumbuh karena andil para penyumbang buku. Para
dermawan ini datang dari berbagai latar belakang, dan menunjukkan bahwa
semangat berbagi di negeri ini sebenarnya cukup kuat, dan harus terus
ditumbuhkan. Salah satu penghambat meluasnya semangat berbagi itu adalah
biaya pengiriman yang mendebarkan. Semakin jauh dan terpencil sebuah alamat
yang hendak dituju, makin tinggi pula biaya pengiriman ini, begitu tingginya
sehingga jatuhnya bahkan bisa lebih mahal daripada harga buku yang ingin
dikirim.
Kalau
saja ongkos pengiriman buku nonkomersial ke seluruh pelosok bisa ditekan,
jika saja biaya berbagi rasa merdeka itu bisa digratiskan, maka akan semakin
banyak orang yang dengan senang hati mengumpulkan buku bekasnya dan mengirimkannya
ke pojok terjauh di negeri ini. Di republik di mana masih banyak desa belum
sepenuhnya merdeka karena belum mengalami masuknya aliran buku dan listrik,
ada banyak manusia berdedikasi yang menghabiskan separuh hidupnya di tapal
batas itu. Mereka akan gembira membangun pustaka pemburu pembaca asalkan
buku-buku bisa datang secara agak pasti. Mereka akan sungguh-sungguh
menggerakkan pustaka itu karena mereka menyaksikan bagaimana anak-anak desa
terpencil harus adu nyawa tiap hari hanya untuk mendapatkan pendidikan dasar.
Pembaca semesta
Dipermudah
oleh internet dan media sosial, kerja sama antara relawan pemburu pembaca dan
dermawan penyumbang buku, dengan aneka kelompok warga yang turut mendorong
penyebaran pengetahuan secara murah, akan mempermudah penyebaran rasa merdeka
ke seluruh penjuru negeri.
Kita
berharap kerja sama ini akan terus menguat dan masyarakat mulai merangkul
gagasan bahwa menyembelih hewan serentak di hari suci itu tentu tetap boleh,
tetapi lebih baik lagi jika dana pembelian hewan itu dialihkan ke pengadaan
buku yang akan dikirim ke sesama umat yang sangat membutuhkan. Bahwa setelah umrah
dan haji pertama, maka tindakan terbaik adalah membelanjakan dana untuk umrah
kedua dan seterusnya buat mendukung antara lain jaringan pustaka pemburu
pembaca. Upacara-upacara adat yang mahal mungkin akan tetap
dilaksanakan, tetapi masyarakat juga bisa menyimpulkan bahwa memuliakan dunia
dan mereka yang masih hidup adalah bentuk ibadah yang tak kalah tinggi
nilainya. Manusia beramal, bersedekah, bukan agar dirinya sendiri masuk surga,
melainkan agar orang lain yang mungkin tak akan ia kenal bisa menikmati
firdaus dan menghargai berkah yang terbentang di mana-mana.
Yang
jelas, dengan
gerakan berbagi buku dan memburu pembaca, kita akan punya anak-anak yang
fasih membicarakan sejarah kampungnya dan kebudayaan yang menghidupinya, yang
percaya diri menghadapi orang-orang asing dan ide-ide ganjil. Anak-anak ini
akan lebih siap untuk mengikatkan diri secara produktif dalam pertautan besar
yang kita sebut bangsa, dan mampu membaca buku raksasa alam semesta, menanti
dengan bergairah datangnya pesan yang dikirim oleh langit yang lain yang
mungkin belum mencapai dunia hari ini. Anak-anak yang sanggup mengolah
dan membalas pesan dari langit yang lain ini tentu akan butuh pustaka jenis
lain yang koleksinya mungkin sudah mencapai jutaan, dan menyimpan bukan hanya
memori kolektif dua benua dan memori genetik semua spesies.
Namun,
untuk sementara, jaringan pustaka bergerak dengan koleksinya yang mungkin
hanya ribuan, dengan dukungan warga penyumbang yang terus meluas dan dengan
kerja sama berbagai prakarsa masyarakat yang muncul di mana-mana, sedikit
banyak akan ikut mengantar generasi itu menyiapkan diri jadi warga dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar