Ujian Nasional dan Matinya Kreativitas
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA IDONESIA, 04
April 2016
DUNIA pendidikan sudah
masuk ke fase digital yang menuntut orangtua, guru, dan sekolah dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung keinginan anak untuk terus berkembang
melampaui imajinasi mereka sendiri. Meskipun efek negatif dari teknologi
informasi bisa jauh lebih berbahaya daripada kecanduan narkoba, dunia
pendidikan tak mungkin menghindar dari kenyataan ini dan harus terus
menemukan cara secara kreatif agar proses belajar-mengajar menjadi lebih
menarik. Artinya belajar dan mengajar
di era digital ini memerlukan model pendekatan baru yang mampu melihat
kreativitas anak berdasarkan kebutuhan dan kemampuannya.
Kebutuhan dan
kemampuan anak yang beragam dan tak terbatas itu tak boleh dibatasi
keseragaman jenis pengujian semacam ujian nasional (UN). Negara selalu menjadi peneror kelas atas
ketika kebijakan UN ini terus digulirkan dan dijalankan karena jelas-jelas
tak menguntungkan proses belajar-mengajar yang telah dilakukan selama di
sekolah.
Strategi pendidikan
yang baru dan dinamis membutuhkan kebebasan dalam proses belajar dan mengajar
sehingga pada akhirnya akan menumbuhkan semangat belajar siswa dan guru. Assessment terhadap keseluruhan proses
belajar-mengajar memang selalu dibutuhkan, tetapi bukan model evaluasi jenis
high-stakes semacam UN yang malah mematikan kreativitas siswa dan guru.
Hasil riset
Banyak hasil riset
menunjukkan jenis evaluasi yang mematikan kreativitas seperti UN malah sama
sekali tidak mendukung tumbuhnya perekonomian sebuah negara. Lingkungan
pendidikan yang dinamis dan kreatif memiliki hubungan yang kuat dengan
bertumbuhnya dunia industri modern, di saat hampir semua negara yang maju dan
kuat di aspek industri didukung sistem pendidikan yang kreatif. Sekolah
diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mendesain model pembelajaran yang
disesuaikan dengan bakat dan minat siswa. Itu artinya harus ada model yang
lebih fleksibel dan sinergis antara dunia pendidikan dan dunia industri,
tidak menutup ide-ide kratif, serta memberikan kebebasan dalam mengelola
kelas berdasarkan kesepakatan siswa dan guru.
Mirjana
Radovic-Markovic dalam Creative
Education and New Learning as Means of Encouraging Creativity, Original
Thinking and Entrepreneurship (2014) menyebutkan setidaknya ada empat hal
yang bisa menggambarkan sebuah sistem pendidikan memiliki kebebasan dalam
proses belajar-mengajarnya. Pertama, bagaimana memastikan setiap siswa untuk
terlibat langsung dalam mengambil keputusan tentang keterampilan apa yang
mereka inginkan dan pelajari selama bersekolah.
Berkaca pada sistem
pendidikan yang berlangsung di Finlandia, misalnya, setiap siswa SMP dan SMA
diminta menentukan jenis keterampilan yang ingin mereka pelajari dan sekolah
menyediakan fasilitas belajarnya.
Karena itu, tak
mengherankan, meskipun bukan SMK, sudah menjadi keputusan pemerintah untuk
menempatkan kelas-kelas pertukangan, listrik, robotik, menjahit, bordir, dan
modeling pada setiap sekolah menengah pertama dan kedua.
Kedua, harus ada
kebebasan bagi para siswa untuk mengekspresikan opini dan kehendak untuk
belajar meskipun itu salah. Dalam konteks ini, cerita dari SMA Selamat Pagi
Indonesia mungkin bisa dijadikan contoh betapa anggaran untuk pelatihan guru
dan siswa lebih banyak untuk membeli alat peraga dan membiarkan para siswa
untuk membuat sendiri daftar keinginan yang mereka ingin buat meskipun pada
akhirnya salah.
Belajar dari kesalahan
sama sekali tak didapati dari proses UN karena siswa hanya diukur dari satu
sisi, yaitu kemampuan akademik semata tanpa menimbang bakat dan minat mereka.
Karena itu, prinsip kedua ini sangat jauh bertolak belakang dengan kebijakan
soal UN yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Ketiga, dalam proses
belajar-mengajar, para siswa memiliki kemampuan untuk mengenali potensi
mereka pada setiap kemampuan seperti kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Jika kemampuan akademis siswa hanya terbaca melalui kemampuan
mengelola kebun dan perpustakaan, tetapi lemah di bidang matematika dan
bahasa, sudah barang tentu mereka tak akan pernah bisa lulus UN karena
potensi siswa tersebut tak berkembang dan dikembangkan menurut kapasitasnya. Saya
teringat cerita salah seorang siswa kami asal Aceh Selatan, namanya Sammy,
setelah tiga tahun belajar, dia sama sekali tak paham rumus-rumus matematika
yang rumit dan komposisi bahasa yang memusingkan.
Akan tetapi,
kemampuannya dalam hal tanam-menanam membuat para siswa lain iri karena Sammy
selalu sukses menanam semangka, paria, cabai, dan tomat di kebun sekolah.
Terakhir, keempat,
setiap sekolah sepatutnya menjalankan fleksibilitas dalam proses
belajar-mengajar, terutama dalam hal ketentuan waktu dan tempat untuk
belajar. Jika berdasarkan assessment
terlihat seorang siswa tak mampu menyelesaikan masa belajar selama tiga
tahun, jenis tes yang harus dikembangkan ialah mengevaluasi kemampuan siswa
tersebut berdasarkan bakat dan minat yang selama ini diperdalam olehnya di
sekolah. Kembali pada contoh Sammy di atas, setelah tiga tahun di sekolah,
Sammy tetap dipaksa untuk ikut UN, hasilnya sudah bisa diduga, dia tidak
lulus karena semua mata ajar yang diujikan bukan merupakan mata ajar yang dia
sukai.
Setelah pada akhirnya
sekolah memberinya kesempatan untuk mengikuti ujian persamaan dengan titik
tekan pada potensi dan bakatnya, Sammy diberikan surat kelulusan yang
memungkinkan dia untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi (PT). Setamat
SMA Sammy tak malu untuk bekerja di kantin sekolah sebagai pencuci piring dan
pembersih kantin serta melayani adik-adik kelasnya.
Namun, semangatnya
untuk tetap kuliah pada fakultas yang dia dambakan, olahraga, menjadikan dia
tetap memiliki semangat untuk belajar. Lima tahun bekerja di kantin sekolah,
dengan honornya, dia tetap berkuliah dan berhasil menamatkan studinya di PT
dan lulus menjadi guru olahraga. Sekarang Sammy sudah mengajar dan bekerja di
daerah asalnya, Aceh selatan. Karena itu, terhadap UN ini, saya hanya bisa
berkata, dusta apalagi yang ingin dimainkan pemerintah melihat begitu
beragamnya kemampuan dan minat siswa yang sangat unik dan menarik?
Wallahu a'lam bishawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar