Kreativitas dan Pendidikan Kita
Agus Wibowo ;
Pemerhati Pendidikan; Dosen Universitas Negeri Jakarta
|
MEDIA IDONESIA, 04
April 2016
TEMUAN riset Richard
Florida dkk dalam The Global Creativity
Index 2015 (GCI, 2015) seakan menjadi 'kritik pedas' bagi pendidikan
kita.
Berdasarkan riset yang
dilakukan di 139 negara itu diketahui, posisi Indonesia sangat rendah, yaitu
peringkat ke-67. Indonesia masih kalah dari negara-negara satu kawasan di
Asia Tenggara seperti Singapura (7) dan Malaysia (24). Indonesia bahkan jauh
tertinggal dari dua negara 'bungsu' di Asia Tenggara, yaitu Vietnam (45) dan
Thailand (38). Negara-negara dengan indek GCI tertinggi ialah Korea Selatan
(1), Jepang (2), Israel (3), dan AS (4).
Riset terkait dengan
indeks GCI ini mengukur tiga aspek utama, yaitu technology, talent, dan
tolerance (3T). Aspek indeks teknologi diukur dengan menggunakan variabel
(1) global R&D investment, yaitu belanja R&D sebagai persentase dari
PDB; (2) global research atau peneliti profesional per satu juta orang
penduduk, dan (3) global innovation atau jumlah paten per kapita.
Aspek talent diukur
dengan dua variabel, yaitu (1) human
capital atau ukuran persentase warga negara yang masuk perguruan tinggi
(PT) sesuai dengan data UNESCO; dan (2) creative
class population atau porsi tenaga kerja beberapa profesi dengan tuntutan
penyelesaian masalah yang tinggi. Selanjutnya aspek tolerance diukur berdasarkan survei yang dilakukan Gallup Organization's World Poll terkait
dengan derajat toleransi sebuah negara terhadap kaum minoritas.
Pertanyaan yang muncul
kemudian, apa yang menjadi pemicu rendahnya indeks GCI Indonesia? Bagaimana
solusi pendidikan kita agar peringkat GCI bisa naik minimal terkoreksi? Pertanyaan
ini menjadi penting diajukan mengingat kreativitas dan inovasi merupakan
kunci, daya saing, dan kemajuan sebuah bangsa.
Kreativitas tersumbat
Rendahnya indeks GCI
mengisyaratkan ada yang keliru dalam proses pendidikan kita. Semua pakar
pendidikan sepakat pendidikan idealnya tidak sekadar transfer pengetahuan
dari guru ke anak didik. Lebih dari itu, pendidikan mestinya menginspirasi
sehingga memunculkan kreativitas dan inovasi anak didik. Sayangnya, alih-alih
menginspirasi, mendorong, bahkan menciptakan iklim yang membidani lahirnya
kreativitas, pendidikan kita justru menyumbat rapat.
Imajinasi terutama,
yang membidani kreativitas dan inovasi, bukan menjadi sesuatu yang penting
dalam pendidikan kita. Jika Suharsimi Arikunto (2008) dan Leurie Brady (1993)
mengibaratkan kurikulum sebagai jantung pendidikan, mestinya imajinasi hadir
di dalamnya.
Sayangnya, kurikulum
termutakhir sekalipun belum mampu menyediakan atmosfer bagi imajinasi itu. Padahal,
imajinasi, tulis Agus Wibowo (2010), tidak saja menjadi stimulus kreativitas
dan inovasi, tetapi juga mendorong anak didik untuk rakus membaca aneka buku
dan riset. Kurikulum kita sibuk mengurusi capaian-capaian portofolio dan
lebih mementingkan pengetahuan (kognitif). Kurikulum kita, kata Suyanto
(2000), belum berani bercengkerama atau setidaknya bersinggungan dengan
imajinasi dan kreativitas.
Benar kurikulum
mengalami perubahan dari tahun ke tahun, tetapi belum ada penanda signifikan
terangkulnya imajinasi dalam pendidikan. Kurikulum 1975, misalnya, lebih
memfokuskan hasil belajar. Pun dengan kurikulum 1984, 1994, hingga 2013,
meski sedikit menggeser orientasi belajar ke arah proses, tetap tidak
menyentuh apalagi mengembangkan kreativitas dan inovasi.
Kurikulum itu ternyata
berdampak pada cara mengajar guru. Karena dituntut menuntaskan hasil belajar,
guru pun menjadi mekanistis; ambil jadi, apa adanya dan miskin ide-ide yang
menggugah imajinasi anak didik.
Parahnya lagi, guru
justru sering menjadi penghambat imajinasi dan kreativitas anak. Misalnya
ketika ada anak didik yang berbeda pendapat dengan sang guru bukannya
dipuji--sebagai suatu kreavitas berpikir--melainkan malah mendapat ancaman.
Dan ujung-ujungnya nilai rapor yang jelek. Di bangku perkuliahan PT juga
setali tiga uang!
Apalagi, ketika ujian
nasional (UN) sudah dekat dilaksanakan, guru dipaksa memenuhi target capaian
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Guru berkejaran dengan jam
pelajaran agar semua topik yang di-UN-kan tersampaikan kepada siswa, meminjam
istilah Dianta Sebayang (2015), layaknya sopir bus Metromini kejar setoran. Akibatnya,
materi pelajaran lebih mengasah aspek kognitif. Siswa dipasung dengan tugas
harian tanpa sempat lagi bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Tugas pun
dikerjakan sesuai pakem. Padahal, kreativitas sejatinya sering kali melanggar
pakem yang ada. Lingkungan sosial budaya belum kondusif menularkan virus
kreativitas.
Ketika ada anggota
masyarakat memiliki ide kreatif yang mendobrak tatanan sosial, dianggap orang
aneh. Bisa dibayangkan kreativitas anak Indonesia manakala mereka tidak
mendapatkan ruang gerak melahirkan ide kreatif baik di sekolah maupun
lingkungan sosial. Belum lagi minimnya penghargaan bagi para pekerja seni
membuat industri kreatif tidak tumbuh. Pendidikan kreativitas minim diajarkan
dalam keluarga.
Perlakuan orangtua
dalam keluarga juga sering memasung kreativitas anak didik. Beberapa tipe
orangtua itu diantaranya, pertama, tipe orangtua yang suka mengancam jika
anak berbuat salah, gagal melakukan sesuatu. Kedua, tipe orangtua otoriter,
semua keputusan ditentukan orangtua. Ketiga, orangtua yang tidak toleran,
yakni melarang anaknya bermain atau bergaul dengan anak dari keluarga yang
berbeda paham, keyakinan, status sosialnya berbeda. Keempat, orangtua yang
terlalu ketat mengawasi anak sehingga sedikit-sedikit memberikan kritik yang
kurang membangun (Agus Wibowo, 2010).
Akibat sistem
pendidikan kita yang menyumbat kreativitas--yang sebelumnya didahului
imajinasi--anak didik menjadi frustrasi. Hal itu terjadi karena mereka
kehilangan kemampuan abstraksi sosialnya tatkala merumuskan ragam langkah
alternatif dalam mencari solusi atas hadirnya permasalahan ataupun tantangan
yang semakin hari semakin kompleks sekaligus kehilangan sensitivitas dan
kreativitasnya sewaktu melihat peluang cemerlang yang terpampang di masa
mendatang. Singkatnya, ketika sistem pendidikan kita memangkas dan memacetkan
kreativitas, bangsa ini menjadi sekumpulan manusia yang kering; dalam
imajinasi, pemahaman hidup, ide, dan kreativitasnya.
Ruang imajinasi
Jepang dan Korea
Selatan, sebagai negara dengan GCI tertinggi, menempatkan imajinasi begitu
penting. Jepang lewat Cool Japan, misalnya, sukses mengombinasikan talenta
imajinasi dengan kekayaan kulturalnya sehingga selain kreativitas anak didik
terpupuk dan terasah, mereka tidak tercerabut dari naungan budaya luhur lokal
yang turun-temurun. Demikian juga Korea Selatan lewat Korean Wave, memberikan
ruang imajinasi yang seluas-luasnya yang diawali dari ruang-ruang kelas
pengajaran.
Sebelum anak
didik--dalam lingkup luas bangsa ini--semakin miskin imajinasi, yang bermuara
pada rendahnya kreativitas dan inovasi, stakeholder pendidikan perlu
merumuskan strategi jitu. Salah satunya dengan memberikan ruang imajinasi di
kelas-kelas pengajaran dari tingkat dasar hingga PT. Ruang imajinasi yang
luas ini diakui Einstein dengan ungkapan terkenalnya, "Imagination is
more important than knowledge." Terlepas dari Einstain sebagai penggemar
berat puisi-puisi penyair Wordsworth atau Mary Shelley, yang jelas imajinasi
merupakan stimulus lahirnya kreativitas dan inovasi.
Sekali lagi, bila kita
menggunakan logika Einstein itu, teramat sia-sialah sistem pendidikan kita
jika terus mengejar pengetahuan semata, sementara mengabaikan imajinasi. Model
pendidikan seperti itu justru tidak akan berdaya hasil guna sekaligus tidak
akan berkorelasi positif bagi kehidupan anak didik. Maka, membuka ruang
imajinasi di setiap kelas pembelajaran ialah pilihan bijak dan tepat.
Tidak hanya di
pengajaran bahasa dan sastra, tetapi juga matematika, fisika, biologi,
ekonomi, manajemen, akuntansi, teknologi, sosial, sejarah, dan sebagainya. Guru
dituntut tidak sekadar menjadi pekerja kurikulum, tetapi juga pemicu
sekaligus penyedia ruang imajinasi yang menjadi stimulus kreativitas dan
inovasi anak didik.
Jika titik tengkar terpasungnya
kreativitas ada pada kurikulum, para pemangku kepentingan perlu duduk satu
meja membenahinya. Kebijakan gonta-ganti kurikulum tidak efektif jika ruang
imajinasi tersumbat rapat.
Kata kuncinya,
kurikulum menyediakan ruang imajinasi sehingga dari kelas-kelas akan muncul
kreativitas serta inovasi anak didik. Dengan jalan demikian, bukan hanya
peringkat GCI bisa terkoreksi, negara ini juga akan melesat dalam hal
kreativitas dan inovasi warganya. Tentu kita bisa jika mau mencoba! Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar