Sesat Pikir Ketua DPR
Hikmat Gumelar ; Direktur
Institut Nalar Indonesia
|
KOMPAS, 15 April
2016
Rencana DPR membangun
perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara di Kompleks Parlemen, dengan anggaran
Rp 570 miliar, menggarisbawahi kinerjanya yang menyedihkan. Rencana dengan
model The Library of Congress di
Washington DC, Amerika Serikat, ini dilontarkan Ade Komarudin, Ketua DPR
pengganti Setya Novanto yang lengser karena terbelit kasus ”Papa Minta
Saham”.
”Perpustakaan ini akan dibangun untuk meluruskan jalan pikiran
anggota DPR yang sesat menjadi lurus sekaligus menjadi infrastruktur ilmu
pengetahuan bagi negara,” lontar Ade (Kompas, 27/3).
Saat bermunculan
penolakan, termasuk dari tujuh fraksi di DPR, Ade tak bergeser. ”Siapa pun yang menolak, saya siap
menghadapi. Baik dari dalam (DPR) maupun luar. Saya yakin fraksi-fraksi akan
setuju dan mendukung gagasan ini. Pemerintah juga saya yakin setuju. Sebab,
ini gagasan bagus, bukan gagasan konyol,” ujar politisi Golkar ini
(Kompas, 29/3). Ia begitu karena, menurut dia, ”perpustakaan yang lebih canggih dan lengkap akan membentuk mental
anggota dan masyarakat dalam menggemari buku.” Lebih tegas lagi di situ
dikatakannya, ”Bangsa ini harus dididik untuk mencintai buku supaya pintar.”
Apa-apa yang
dilontarkan Ade itu memang bagus. Namun, rencana membangun perpustakaan
terbesar se-Asia Tenggara muncul mendadak dan dari ruang tertutup. Saat Setya
Novanto menjabat ketua DPR, ada memang rencana membangun perpustakaan. Namun,
yang direncanakan saat itu adalah tujuh proyek; membangun ruang kerja anggota
dan staf ahli, pusat kajian legislasi, museum, pusat pengunjung, dan
integrasi kawasan tempat tinggal dan kantor anggota DPR. Jadi, membangun
perpustakaan cuma salah satunya. Itu pun bukan perpustakaan terbesar se-Asia
Tenggara.
Membangun perpustakaan
terbesar se-Asia Tenggara baru dimunculkan Ade setelah rapat dengan beberapa
ilmuwan dan sastrawan di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta,
Selasa (22/3). Pemunculannya cuma beberapa saat setelah rapat tertutup itu,
bukan berdasarkan kajian akademis mendalam, luas, dan jernih perihal korelasi
perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara di Kompleks Parlemen dengan
fungsi-fungsi DPR, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan, serta dengan
perkembangan bangsa dan negara.
Gagasan itu tak
disangga pemahaman tajam dan teruji ihwal kondisi keuangan pemerintah dan
keadaan bangsa. Padahal, menumbuhkan berbagai potensi bangsa melalui fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan adalah kewajiban DPR. Mengenali dan
menghayati kondisi obyektif bangsa adalah pemungkin fundamentalnya. Dan,
dengan anggaran dari pemerintah itu baru mungkin dilaksanakan. Maka,
mengetahui dan menyesuaikan dengan kemampuan keuangan pemerintah jadi
kemestian. Bahkan, jika pemerintah kesulitan keuangan, DPR bukan saja bisa,
tetapi mestilah ikut mengatasi.
Sekarang, untuk APBN
2016, pemerintah kekurangan sekitar Rp 290 triliun! Pembahasan RUU
Pengampunan Pajak terkatung-katung di DPR. Mengantisipasi kegagalan
dapatsumber pendapatan baru, pemerintah memotong dan menghemat anggaran
sejumlah kementerian dan lembaga, khususnya belanja program nonprioritas.
Kebijakan moratorium pembangunan gedung baru, termasuk pembangunan gedung
baru DPR, salah satu turunannya.
Ade tahu itu. Namun,
ia yakin anggaran pembangunan perpustakaan tak akan dipotong karena ”DPR akan
segera membahas RUU Pengampunan Pajak”. Ini berarti fungsi legislasi dikelola
secara transaksional, seperti berniaga dengan cara barter.
Kecuali itu, seperti
juga ditulis Kompas (2/4), dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA)
APBN 2016 Sekretariat Jenderal DPR, tak ada nomenklatur pembangunan
perpustakaan. Bahkan, DIPA itu tak mencantumkan secara jelas tujuan
pembangunan gedung dalam APBN 2016. Maka, anggaran gedung baru DPR sebesar Rp
570,9 miliar tak dapat dicairkan. Dan, Ade bilang, ”Belum mengetahui rincian
status alokasi anggaran pembangunan gedung baru DPR dalam DIPA APBN 2016
Setjen DPR.”
Banyak mudarat
Teranglah rencana
membangun perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara itu memperlihatkan fungsi
anggaran dan legislasi dikelola tak sebagaimana sewajibnya. Fungsi pengawasan
begitu pula. Tujuannya jauh dari kemaslahatan bangsa dan negara. Mekanismenya
jauh dari terbuka dan akuntabel, jauh dari ilmiah dan melibatkan rakyat,
serta tidak konsisten.
Maka, membangun
perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara amat mungkin lebih banyak mudaratnya
timbang manfaatnya. Peluang korupsi, misalnya, tampak besar di sana.
Pemanfaatannya pun patut disoal. Pasalnya, tak sampai separuh anggota DPR
yang suka ke perpustakaan DPR kini, yang terdiri dari tiga lantai dengan 105.
381 koleksi buku dan referensi, dari dalam dan luar negeri. ”Sehari-hari, perpustakaan itu cenderung
sepi. Furnitur dan buku-buku di perpustakaan itu tertata rapi, tetapi tidak
tampak pengunjung satu pun yang membaca atau memilih buku.” (Kompas, 27/3)
Kalau memang mau
”meluruskan jalan pikiran anggota DPR yang sesat”, membangun ”infrastruktur
ilmu pengetahuan bagi negara”, dan mendidik bangsa ”mencintai buku supaya
pintar”, hemat saya, langkah pertamanya ialah mengoptimalkan manfaat
perpustakaan DPR kini.
Ini bisa dicapai
dengan menumbuhkan minat baca semua anggota DPR.Untuknya, tak perlu sampai
membuat undang-undang jadi komoditas ratusan miliar rupiah, tetapi cukup
dengan menanamkan kesadaran pentingnya membaca seperti disampaikan Magniz
Suseno dalam Bukuku Kakiku
(Gramedia, 2004).
Di situ, Magniz menulis
bahwa ”membaca itu betul-betul menjadi surga bagi saya. Membaca itu tidak
hanya memperluas cakrawala,melainkan juga merupakan pelepasan emosional dan
membantu mengatasi kesulitan-kesulitan. Membaca juga berarti membiarkan diri
ditarik keluar dari penjara perhatian berlebihan pada diri sendiri, melihat
dunia, manusia, mengalami tantangan, terangsang dalam fantasi, bersemangat
untuk melakukan sesuatu”.
Kalau mau lebih jauh,
DPR dengan tiga fungsinya bisa mendorong pemerintah untuk benar-benar
mengembangkan Perpustakaan Nasional, yang kini jumlah, keragaman, dan
perawatan koleksinya, serta pelayanannya masih jauh dari memadai. Bisa juga
DPR sekaligus mendorong pemerintah membangun perpustakaan di seluruh sekolah
berbagai tingkatan, perguruan tinggi, serta desa dan kelurahan dengan
kuantitas dan kualitas sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat, dan
kemampuan keuangan pemerintah.
Ratusan miliar rupiah
mungkin diperlukan untuk mengayun langkah lebih jauh itu. Namun, itu bisa
dipastikan akan jauh lebih berfaedah bagi bangsa dan negara timbang membangun
perpustakaan dengan model The Library
of Congress yang kini peruntukannya lebih tampak mengarah pada
penggelembungan citra intelektual DPR dan Indonesia di Asia Tenggara, bahkan
pun pada membuka peluang untuk mencuri uang negara. Proyek demikian terang
sesat pikir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar