"Quo Vadis" Pendidikan Pascasarjana?
Sulistyowati Irianto ;
Ketua Program Pascasarjana Multidisiplin
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 11 April
2016
Merespons Syamsul
Rizal (Kompas, 10/3), tulisan ini akan
menjawab mengapa "perlakuan khusus" yang diberikan kepada sejumlah
perguruan tinggi negeri tidak kunjung menempatkannya sebagai unggulan, bahkan di tingkat Asia sekalipun.
Masalahnya terletak pada bagaimanakah berbagai kebijakan pemerintah
memosisikan universitas terkait bidang akademik dan tata kelola.
Perlakuan khusus
kepada sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) harus dibaca dalam kerangka
otonomi universitas, bukan perbedaan perlakuan semata. Implementasi gagasan
otonomi memang dimulai dari mengidentifikasi PTN yang dipersyaratkan memiliki
kemampuan dan daya saing. Selanjutnya, secara bertahap, status PTN otonom
akan diberikan kepada universitas lain yang menyatakan kesiapan. Namun,
mengapa PTN dengan status otonom pun tak kunjung memperlihatkan prestasinya
yang spektakuler?
Bagian penting dari
universitas yang memiliki potensi dan kapasitas menghasilkan karya bermutu
adalah pendidikan pascasarjana. Universitas ternama di negara maju justru
lebih berkonsentrasi membesarkan pascasarjananya karena di sanalah para
profesor dan mahasiswa doktor memiliki kesempatan seluas-luasnya bekerja sama
menghasilkan riset dan produksi ilmu pengetahuan.
Tidak mengherankan,
intensitas artikel jurnal yang tinggi, temuan sains dan teknologi,
penghargaan bergengsi dan penting bagi kesejahteraan masyarakat lahir dari
sivitas pascasarjana. Pendanaan penelitian di pascasarjana berasal dari
negara ataupun industri yang berkepentingan mendapatkan temuan terbaik dari
universitas dalam bidang sains, teknologi, sosial, dan humaniora.
Di Indonesia,
prioritas pendidikan diletakkan pada S-1, termasuk subsidi pemerintah
(bantuan operasional PTN), hanya ditujukan bagi mahasiswa S-1. Kebijakan ini
diartikan pejabat universitas bahwa memang tugas utama universitas
otonom adalah menyelenggarakan S-1,
suatu anggapan keliru dalam menerjemahkan otonomi universitas.
Pembiaran terhadap
pascasarjana, "nirsubsidi",
menyebabkan pendidikan pascasarjana harus membiayai hidupnya sendiri.
Akibatnya, universitas "terpaksa" menjadikan pendidikan
pascasarjana sebagai komoditas, mendirikan cabang di kota lain, dan
mendapatkan mahasiswa yang mampu membayar.
Mahasiswa yang
bertujuan mencari gelar jauh lebih banyak daripada yang kasmaran kepada riset
dan produksi ilmu pengetahuan. Para dosen pun bertujuan sama: mendapatkan
tambahan penghasilan dengan mengajar di pascasarjana di waktu luang sesudah
mengajar S-1. Pendidikan pascasarjana tak ubahnya lapak untuk mencari uang
atau status bagi profesional yang mengajar cuma sesekali. Alhasil pendidikan
pascasarjana berhenti sebagai universitas pengajaran, bukan universitas
riset.
Paradoks
Di sisi lain,
pemerintah memilih cara yang paling gampang untuk mengatur pendidikan
pascasarjana atas nama jaminan mutu dan prestasi, yaitu membuat semakin
banyak peraturan.
Pertama, keharusan
berprestasi dengan ukuran satu-satunya produksi artikel jurnal terindeks
Scopus. Tanpa itu dosen tidak bisa naik pangkat atau jadi guru besar. Prestasi akademik dipahami
sebatas perintah administatif, bukan
hakikat terbangunnya budaya akademik dan penelitian.
Kedua, keharusan
memiliki dosen tetap yang berpangkal pada program studi (prodi). Setiap prodi
S-1, S-2, dan S-3 harus memiliki dosen tetapnya sendiri bergelar doktor atau
guru besar minimal enam orang.
Padahal, saat ini, universitas, fakultas, dan prodi mana pun di
Indonesia kekurangan doktor dan guru
besar. Ukuran mutu ditetapkan lebih pada ketersediaan kuantitas dosen tetap
di setiap prodi ketimbang prestasi dan capaian dosen di tingkat universitas.
Ketiga, setiap
universitas, demikian pula pascasarjana, memiliki identitas tradisi keilmuan
yang unik karena kesejarahan, konteks masyarakat, dan geografis yang beragam.
Dalam perspektif otonomi universitas seharusnya keragaman ini diakomodasi.
Namun, atas nama "jaminan
mutu" semuanya diseragamkan.
Rigiditas penilaian administratif ini diamini oleh pejabat
universitas, sungguh pun bisa mematikan pendidikan pascasarjana.
Otonomi semu
Kelemahan paling
serius adalah kebijakan pemerintah yang tidak memungkinkan universitas
memiliki basic research, yaitu
penelitian jangka panjang, dilakukan kolaboratif oleh ilmuwan lintas disiplin
ilmu, didukung dana hampir tidak terbatas, dan tidak dibebani urusan
administratif. Ketidakmampuan memberdayakan ilmuwan sendiri mengakibatkan
kita, konsumen, yang membeli produk
riset sains dan teknologi dari negara lain.
Ruang otonomi
universitas yang dijamin undang-undang itu dalam kenyataannya tidak terjadi.
Pemerintah sangat ketat meregulasi hampir semua sendi: nomenklatur dan batas
ilmu yang boleh diajarkan dan
bagaimana cara mengajar. Dalam penelitian, dosen lebih takut kepada urusan
kuitansi daripada kerja penelitiannya sendiri.
Konsekuensi otonomi
akademik adalah tata kelola universitas yang mensyaratkan transparansi dan
akuntabilitas. Namun, rezim keuangan negara
menyamakan universitas dengan kantor jawatan pemerintah.
Penyelenggaraan keseharian pendidikan terkendala administrasi. Pengadaan dan
pemeliharaan peralatan laboratorium, perpustakaan, dan berbagai kegiatan
ilmiah tak luput dari prosedur menjelimet karena takut audit BPK. Begitulah transparansi dan
akuntabilitas universitas dijalankan.
Ketika negara baru mampu membiayai sebagian kebutuhan universitas
dan melakukan pembiaran terhadap pendidikan pascasarjana, seketat itu
negara mengontrol, seolah-olah para akademisi bukan orang yang layak
dipercaya. Industri juga tak mendukung pendanaan universitas. Bukannya
membangun sinergi dengan universitas yang ada, banyak perusahaan malah membuat universitas
sendiri.
Ketika ilmuwan kita
masih berkutat dengan soal-soal administratif, repertoar ilmu pengetahuan
global sudah menghasilkan berbagai temuan spektakuler yang mengubah dunia dan
cara berpikir. Dari cara berilmu seperti itu, lahirlah banyak kreativitas,
inovasi, dan kemajuan peradaban manusia. Artikel terindeks Scopus dan peringkat dunia datang
dengan sendirinya.
Dalam situasi itu,
bagaimana para ilmuwan kita bisa berkarya menembus ranking dunia? Tampaknya
Revolusi Mental Joko Widodo harus
sampai kepada cara melihat universitas dan pendidikan pascasarjana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar