Profesor Jangkung Pembina Ahli Indonesia
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 28 Maret
2016
Pulang dari nonton F1 di Melbourne, saya mampir ke Perth. Ada
urusan bisnis dan kangen-kangenan.
Kangen bertemu teman lama: orang-orang ahli tentang Indonesia di
sana. Terutama Prof David T. Hill. Saya ingin banyak mendengar: apa katanya
tentang Indonesia saat ini.
Begitu urusan bisnis di Perth selesai, saya langsung ke
Fremantle. Kota kecil di pinggir pantai yang terkenal itu. Terutama sejak
film Windrider (1986) yang dibintangi Nicole Kidman sukses di masa lalu.
Diskusi di Fremantle pun asyik. Lima orang makan malam bersama.
Di resto Italia. Semua minta hanya boleh menggunakan bahasa Indonesia.
Saya sudah lama kenal Prof Hill. Saat saya ke Perth 30 tahun
lalu. Jadi pembicara seminar media di salah satu universitas di sana.
Lalu, beberapa kali lagi bertemu di Surabaya. Saat dia sering ke
Indonesia. Melakukan penelitian bidang media. Saya sering jadi narasumber
penelitiannya.
Terakhir ketemu Prof Hill lima tahun lalu. Di Darwin, Australia
Utara. Saat saya mendampingi Presiden SBY bertemu Perdana Menteri Australia
Julia Gillard (perempuan).
Kini Prof Hill mengaku sudah pensiun. Tidak mengajar lagi. Hanya
membimbing calon-calon doktor. Khususnya calon doktor yang disertasinya
tentang media atau Indonesia.
Misalnya dua perempuan yang ikut makan malam itu. Yang seorang
perempuan campuran: ibu Dayak Sarawak, ayah Australia.
Disertasinya mengenai polisi di Indonesia. Tentu sebuah
disertasi yang bisa membuat malu untuk dibaca. Di samping membuat bangga.
Yang satu lagi juga perempuan unik: ayah-ibu Jerman, tinggal
lama di Indonesia dan segera kawin dengan orang India dari Gujarat.
Disertasinya hampir selesai. Mengenai Bulog gate yang membuat Presiden Gus
Dur lengser.
Khususnya dari sudut bagaimana media disalahgunakan menjadi
senjata politik dalam kasus tersebut. Itu juga akan membuat malu. Khususnya
bagi orang media.
Prof Hill sebenarnya tidak bisa pensiun. Dia terus gigih
berjuang untuk membuat anak muda Australia tertarik kepada Indonesia. Sampai
hari ini, sudah lebih dari 2.000 mahasiswa yang pernah belajar di Indonesia.
Terutama yang ambil program pendek.
Suatu saat dia menulis surat kepada semua anggota parlemen
Australia. Indonesia punya empat menteri lulusan Australia.
”Tidak satu pun menteri atau anggota parlemen yang bisa
berbahasa Indonesia,” tulisnya.
”Bagaimana Australia bisa memahami Indonesia?”
Berkat suratnya itu, seorang tokoh Partai Buruh kini belajar
bahasa Indonesia. Bahkan, sudah berani mencoba pidato dengan bahasa barunya
tersebut.
Prof Hill berharap Partai Buruh bisa menang di pemilu yang
tiba-tiba nanti. Tokoh itu pasti jadi menteri penting.
Waktu saya di Melbourne, PM Australia dari Partai Liberal saat
ini, Malcolm Turnbull, memang lagi bikin kejutan. Dia putuskan mempercepat
pemilu serentak untuk DPR dan MPR: 2 Juli depan. Sebab, dia marah.
Keinginannya untuk mengubah dua undang-undang (UU) dihambat
parlemen. UU Perburuhan dan UU Infrastruktur. Yang dianggap kurang mendukung
ekonomi negara. Keputusan itu menghebohkan. Sudah 30 tahun peluang kecil
konstitusi itu tidak pernah lagi digunakan.
Prof Hill juga masih
terus ke Indonesia. Perkembangan terbaru apa pun dia tahu. Termasuk
perkembangan di bidang sastra.
Kini dia lagi membaca novel yang juga kebetulan lagi saya baca: Lelaki Harimau. Edisi bahasa
Inggris-nya berjudul Man Tiger.
Karya sastrawan muda asal Pangandaran, pantai selatan Jabar: Eka Kurniawan.
Novel Lelaki Harimau
dipandang sangat bermutu. Bahkan untuk kelas dunia. Masuk daftar 100 buku
terbaik dunia The New York Times.
Juga baru mendapat penghargaan internasional Global Thinkers of 2015. Hanya sedikit di bawah Nobel.
Itulah novel pertama karya sastrawan Indonesia yang memperoleh
penghargaan internasional setinggi itu.
Eka juga diakui sebagai sastrawan langka. Sejak Pramoedya Ananta
Toer, belum pernah lahir sastrawan sekelas itu. Baru 70 tahun kemudian, lahir
Eka Kurniawan ini.
Novelnya yang lain, yang berjudul Cantik Itu Luka, menyusul dapat penghargaan internasional. World Readers Award 2016. Minggu lalu.
Edisi bahasa Inggris-nya berjudul Beauty
Is a Wound. Ada juga terjemahan bahasa Jepang-nya. Dan 23 bahasa lain.
Prof David Hill dengan kumis dan jenggot berewoknya tetap
jangkung dan langsing. Seperti 30 tahun lalu. Hanya sedikit guratan tuanya.
Dia memang kuat berjalan kaki.
Tahun lalu dia berjalan kaki 700 km. Dari perbatasan Prancis ke
Santiago de Compostela. Di ujung barat Spanyol. Menapaki perjalanan suci kaum
Katolik.
Saya bisa memahami perjalanan 35 hari itu. Ada novel yang
menceritakannya dengan magis. Karya novelis terkemuka Brasil yang tinggal di
Paris: Paulo Coelho. Judulnya The
Pilgrimage. Saya membaca hampir semua novel karya Coelho.
Bulan depan Prof Hill di usianya yang 60 tahun akan berjalan
kaki lagi ke Santiago. Kali ini dari arah Lisbon, ibu kota Portugal. Sejauh
700 km.
Dia mendesak saya untuk ikut perjalanan itu. Mungkin karena
melihat saya masih juga menggunakan sepatu kets. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar