Monolog Kesendirian Tan Malaka
Aryo Wisanggeni G ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 27 Maret
2016
Riwayat Tan Malaka—seorang bapak bangsa Republik Indonesia yang
tersisih dari percaturan politik pada masa Perang Revolusi—digubah penyair
Ahda Imran menjadi sebuah monolog kesendirian Tan Malaka. Lurus dan
hitam-putihnya Tan Malaka sukar diterima zamannya, tetapi berharga.
Sesosok tubuh berjalan pelan, naik dari salah satu sisi panggung
kecil nan gelap yang dikelilingi para penonton. Perlahan, cahaya lampu
menerang, memunculkan sosok lelaki itu, samar terlihat ia memunggungi arena
panggung, menghadap penonton.
Tangannya memegang secarik kertas, ia membaca isinya tanpa
bersuara. Lalu matanya menatap lurus-lurus ke kejauhan. Juga suaranya yang
lirih, seperti ujaran gelisah kepada diri sendiri.
”Nama saya Tan Malaka. Saya lahir di surau kecil di sebuah
nagari di Minangkabau…,” kata Tan Malaka.
Gurat wajahya muram dan lelah menggenapi gerak-gerik yang serba
perlahan. ”Sebentar lagi saya entah berada di mana. Dan bila benar kelak ada
kehidupan berikutnya setelah kehidupan di alam dunia ini, maka orang pertama
yang ingin saya temui adalah ayah dan ibu saya. Saya ingin meminta ampun dan
maaf karena saya tak pernah menziarahi kubur mereka…,” ujar Tan, lirih.
Tan Malaka membalik tubuhnya, tetap berdiri di tempatnya.
”Tan Malaka. Nama yang hanya mengingatkan saya kepada
orang-orang yang membenci dan memburu saya. Nama yang hanya mengingatkan saya
pada derit pintu penjara,” katanya.
Tragedi
Hidup dalam pelarian, Tan Malaka punya terlalu banyak nama. Di
Jakarta, ia adalah Ilyas Husein. Di Filipina, ia adalah Ellias Fuentes, atau
Estahislau Rivera, atau Alisio Rivera. Di Hongkong, ia adalah Ong Song Lee.
Di Myanmar, ia adalah Tan Ming Sion. Di Tiongkok, ia adalah Cheng Kuan Tat
atau Howard Lee, dan di Singapura, ia adalah Hasan Gozali.
Di Institut Francais Indonesia (IFI) di Bandung, ia menyebut
diri Tan Malaka, bersaksi di sebuah panggung berukuran 3 meter x 5 meter yang
berisi 2 buku, 1 gelas kaleng, 1 buah tas, dan 3 kubus. Salah satu sudut
panggung memerah oleh tali-tali yang menegang tegak seperti jeruji penjara.
Pementasan itu bertumpu pada kemampuan Joind Bayuwinanda
melakonkan ”kesaksian terakhir” Tan Malaka. Penulis naskah Ahda Imran
menggubah kesaksian itu dengan menukil karya Tan Malaka, khususnya buku Dari
Penjara ke Penjara. Tafsir Ahda atas situasi Indonesia hari ini menjadi
penapis sekaligus benang merahnya.
Joind antara lain menutur kesaksian Tan Malaka yang menolak
gagasan M Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama Indonesia, untuk
membiarkan para penanam modal Eropa mengambil kembali perkebunan di
Indonesia.
”Alangkah malangnya kedaulatan sebuah negara apabila bank,
perkebunan, pertambangan, perhubungan, minyak bumi, atau lembaga-lembaga perdagangan
berada dalam kekuasaan tuan-tuan kapitalis. Kemerdekaan politik tanpa
kedaulatan ekonomi di suatu negara, dalam paham saya, adalah lelucon yang
sangat menyedihkan,” ujar Tan.
Joind berhasil membawakan kekecewaan sang guru revolusi. Tahun
1925, Tan Malaka menggagas republik federasi Indonesia—ia tuangkan dalam
bukunya, Naar de Republiek Indonesia.
Dua puluh tahun kemudian, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia tanpa Tan Malaka. Republik Indonesia lahir tanpa disaksikan
penggagasnya. ”Saya merasa ditinggalkan. Berpuluh-puluh tahun saya mencarinya
ke berbagai negeri dan penjara. Mungkin karena saya mencarinya sebagai orang
buangan dan pelarian, sejarah selalu mengelak dari tubuh saya,” kata Tan
lirih, duduk terbungkuk, menunduk dalam-dalam.
Tragedi kini
Tragedi Tan Malaka itu digenapi Indonesia dengan sebuah ”teater”
yang menjadi prolog tragis bagi pentas monolog Tan Malaka. Beberapa
organisasi kemasyarakatan menurunkan massa, menentang pementasan monolog Tan
Malaka, Saya Rusa Berbulu Merah, pada Rabu (23/3). Puluhan polisi tidak
berseragam gagal mencegah massa penentang pentas memasuki IFI Bandung.
Atas nama tafsir bahwa Tan Malaka ”hanya” seorang komunis
belaka, massa merangsek calon penonton, berteriak mengancam aksi kekerasan jika
monolog dipentaskan. Upaya meriwayatkan seorang penggagas Republik Indonesia
diharamkan atas nama ”Republik Indonesia”.
Itulah Indonesia kini, negara yang konstitusinya menjamin
kemerdekaan warga negara berekspresi, tetapi janji itu tak selalu terpenuhi.
Sejak Joko Widodo berkuasa, sedikitnya ada tujuh kasus pembatalan paksa
kegiatan seni budaya di sejumlah kota. Modusnya mirip, polisi membujuk
penyelenggara agar kegiatan dibatalkan dengan alasan adanya ancaman
demonstrasi dari suatu kelompok.
Berkat keterbukaan berdialog Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, 200
polisi akhirnya mau datang mengamankan penonton dan awak Mainteater di IFI Bandung pada Kamis (24/3). Terlepas dari porsi
peran Wali Kota, Ridwan Kamil menjadi representasi negara dalam memenuhi janji
konstitusi.
Di panggung, Tan Malaka duduk, berbicara tenang, mengisahkan
sebuah hari ketika di perkebunan tempatnya bekerja dikunjungi dua pesohor
bawaan penguasa Jepang. Kepada kedua pesohor itu, Tan Malaka berkata tegas
tentang hakikat kemerdekaan Indonesia.
”Saya insaf benar akan perlunya memperjuangkan kemerdekaan, pun
kalau kemerdekaan itu sekarang diberikan kepada kita.... Semangat rakyat
membela kemerdekaan akan naik dengan adanya hak nyata di tangan kita sebagai
manusia. Kita akan membela mati-matian...” kata Tan Malaka lantang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar