Pilkada Serentak Tanpa Otonomi Daerah
Andi Syafrani ;
Dosen UIN Jakarta dan Praktisi
Hukum
|
KORAN SINDO, 07 April
2016
Saat ini DPR sedang
membahas revisi Undang-Undang (UU) No 1/2015 dan No 8/2015 tentang pemilihan
gubernur, bupati, dan wali kota bersama pemerintah. Sebelum tahapan untuk
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak gelombang kedua pada 2017
dimulai, revisi ini sudah harus selesai agar tidak mengganggu tahapan pilkada
ke depan. Banyak persoalan teknis hukum dalam pengalaman Pilkada Serentak
2015 mendesak pembuat hukum segera melakukan perbaikan dua UU tersebut.
Selain itu, baru
setahun disahkan dan diberlakukan, daftar antrean pengujian dua UU tersebut
di Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah sangat banyak. Beberapa klausul
penting bahkan telah dinyatakan inkonstitusional oleh lembaga penegak
konstitusi tersebut.
Antara lain ketentuan
tentang dinasti politik, kewajiban mundur bagi anggota DPR/DPD/ DPRD yang
mencalonkan diri sebagai kepala dan wakil kepala daerah, serta ketentuan
patokan persentase pencalonan perseorangan. Perubahan teknis dan normatif UU
Pilkada sangat penting dengan pelbagai alasan yang telah mencuat di media
massa.
Namun, perubahan ini
akan sangat hambar dan kehilangan ruh esensialnya jika hanya dilakukan secara
parsial tanpa melakukan perubahan terhadap UU No 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda) yang mengatur pembagian kewenangan dan otonomi daerah
(otda).
Satu Paket
Pada akhir masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dipecah menjadi tiga bagian yaitu UU No 6/2014 tentang
Desa; UU No 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan UU
No 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dua UU terakhir
dibuatkan dalam satu paket paradigma: pemilihan kepala daerah secara tidak
langsung di mana gubernur diposisikan sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat. Karena penolakan yang sangat kuat terhadap pemilihan tidak langsung,
SBY setelah pulang dalam lawatannya dari luar negeri segera merespons dengan
mengeluarkan Perppu No 1/2014 yang mengganti UU No 22/2014, dan kemudian
diterima DPR dengan penerbitan UU No 1/2015.
Inti dari perppu yang
dijadikan UU tersebut adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah dan
wakilnya secara langsung oleh rakyat. Penggantian UU No 22/ 2014 sayangnya
tidak diiringi penggantian UU Pemda. Yang dilakukan pembuat hukum hanyalah
menyesuaikan secara parsial ketentuan UU Pemda dengan UU No 1/2015 dan UU No
8/2015 dengan mengeluarkan Perppu No 2/2014 yang kemudian menjadi UU No
2/2015 dan UU No 9/2015.
Penyesuaian hanya
dilakukan pada aspek teknis terkait perubahan model pemilihan secara langsung
kepala daerah dan wakilnya, tidak menyentuh pada perubahan paradigma yang
utuh yakni keterkaitan pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung
dengan pemberian otda seluas-luasnya kepada daerah.
Akibat itu, terdapat
dua kutub pandangan yang sangat jauh berhadapan. Di satu sisi UU Pilkada
tetap mempertahankan aspek otonomi daerah (otda) dengan memberikan kesempatan
kepada rakyat secara langsung memilih pemimpinnya dalam pilkada.
Di sisi lain UU Pemda
masih dalam norma yang sangat kaku membatasi kewenangan bupati/wali kota dan
menempatkan gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Singkatnya,
otda yang dimanifestasikan melalui pemilihan langsung dalam UU Pilkada
”bertabrakan” dengan paradigma sentralisme pemerintahan dalam UU Pemda.
Sentralisme UU Pemda
Sejatinya, pilkada
langsung adalah manifestasi konkret dan pintu awal pelaksanaan otda. Dengan
dukungan dan legitimasi rakyat secara langsung, kepala daerah bertanggung
jawab penuh terhadap rakyat daerahnya untuk mengembangkan dan mengelola
pemerintahan daerah untuk kemakmuran rakyatnya.
Reward and punishment terhadap kepala daerah juga dilakukan secara
langsung oleh rakyat melalui pemilihan. Jika dianggap berhasil dan sukses,
kepala daerah tersebut akan dipilih lagi untuk periode berikutnya.
Sebaliknya, jika gagal, akan ditinggalkan dan akan dipilih lawannya yang
dianggap lebih berpotensi memimpin dan membangun daerah.
Dukungan rakyat secara
langsung tersebut menjadi modal utama setiap pemimpin daerah untuk
melaksanakan fungsi dan tugasnya yang diatur oleh konstitusi dan UU. UU Pemda
mengambil posisi berikutnya sebagai dasar hukum pelaksanaan mandat rakyat
tersebut. Di sinilah muncul problematika ketatanegaraan yang serius.
Mandat rakyat secara
langsung itu tak bisa diimplementasikan karena kewenangan kepala daerah,
khususnya bupati/wali kota, diikat dan dikerangkeng oleh norma sentralisme
kekuasaan pemerintah pusat. Seluruh kewenangan kepala daerah otonom tingkat
kabupaten/kota telah dibonsai dengan perangkat hukum yang mengharuskan mereka
tunduk dan hanya menjalankan ”perintah” pemerintah pusat.
Konsep sentralistik UU
Pemda ini secara eksplisit ditetapkan dalam ketentuan Pasal 9 yang membagi
tiga urusan pemerintahan: absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerintahan
absolut merupakan hasil kompromi kenegaraan yang terjadi sejak masa
reformasi, dan ditegaskan dalam Pasal 10 (1), untuk menetapkan ada enam
wilayah yang secara mutlak dikendalikan oleh pusat yakni politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Selain itu, dalam
sejarah UU Pemda pascareformasi diserahkan kepada daerah otonom. Inilah yang
disebut dengan teori residu dalam pelaksanaan otda pada masa sebelum
kelahiran UU Pemda 2014. Kini konsep residu telah dihapus pembuat UU dengan
menambahkan kewenangan umum dan konkuren.
Dua kewenangan ini
hakikatnya adalah kewenangan yang bersumber dari pusat. Kewenangan umum
berasal dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, sedangkan konkuren
bersumber dari pembagian kekuasaan yang diberikan pusat kepada daerah. Dengan
demikian, secara konseptual, tidak ada lagi kewenangan otonom daerah secara
langsung yang mutlak dimiliki daerah.
Semua bersumber dari
pemberian pusat. Penghapusan otda untuk daerah otonom kabupaten/kota semakin
jelas dengan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria urusan konkuren
yang ditetapkan pemerintah pusat. Tanpa ketentuan ini saja saat ini,
kewenangan pemda kabupaten/kota sangat sempit dan kecil sebagaimana dapat
dilihat dari Lampiran Matrik Pembagian Urusan Pemerintahan yang merupakan
satu kesatuan dari UU Pemda.
Di antara persoalan
penerapan UU Pemda yang telah mengemuka saat ini dan menjadi ketegangan
antara pemda kabupaten/ kota dengan provinsi adalah mengenai pengelolaan
sumber daya alam di daerah. Bertabrakan dengan beberapa UU khusus yang
mengatur tentang sumber daya alam seperti UU No 4/ 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara, UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, dan UU No 41/
1999 tentang Kehutanan yang masih menyediakan ruang bagi pemda kabupaten/kota
untuk mengelola sumber daya daerahnya.
UU Pemda secara telak
menegasikan peran pemda kabupaten/ kota dalam urusan-urusan tersebut. Semua
kewenangan pengelolaan sumber daya alam ditarik ke pusat, kemudian diserahkan
kepada gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat kecuali hanya untuk
urusan panas bumi dan hutan kota.
Padahal, rakyat yang
paling terkena dampak dari kerusakan lingkungan adalah rakyat di wilayah
daerah pengelolaan sumber daya alam tersebut, yang secara geografis tentu
berada di wilayah kabupaten/kota. Secara perlahan, kekuasaan dan dinamika pembangunan
daerah semakin bergantung dan didikte oleh pusat yang dijalankan oleh
instansi vertikal seperti kementerian negara, yang tidak secara langsung
dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat melalui pemilihan langsung.
Kursi Kosong
Suara protes dan aksi
penolakan pemda kabupaten/kota terhadap situasi hukum ini sebenarnya telah
bermunculan. Para bupati/wali kota yang baru kemarin terpilih dalam Pilkada
Serentak 2015 mulai sadar dengan kosongnya isi kursi yang diperebutkannya
mati-matian dalam kontestasi pilkada, apalagi bupati/wali kota yang masih
menjabat.
Beberapa kepala daerah
kabupaten dalam diskusi informal dengan penulis telah menyampaikan curhatnya
untuk menolak surat edaran mendagri untuk menarik dan menetapkan urusan
Dukcapil ke pusat. Demikian juga mereka menolak keinginan mendagri
menyerahkan aset pendidikan atas kepada provinsi.
”Perampasan”
kewenangan daerah otonom kabupaten/kota ini telah memosisikan seorang
bupati/wali kota tidak lebih seperti seorang camat. Dalam bahasa yang agak
sarkastik, bupati/wali kota disebut sebagai ”penjaga kebun” pusat. Fenomena
ini akan terus berlangsung dan semakin kuat seiring pelaksanaan ketentuan UU
Pemda.
Apalagi, tahun ini
batas waktu akhir yang diberikan UU bagi pusat untuk membuat dan mengeluarkan
seluruh peraturan teknis pelaksanaan UU Pemda melalui peraturan pemerintah,
peraturan presiden, atau peraturan menteri. Jika para pembuat UU hanya
melakukan perubahan terhadap UU Pilkada, tanpa mengubah secara total
paradigma UU Pemda dalam satu pandangan mengenai pemberian kewenangan kepada
daerah, khususnya tingkat kabupaten/kota, rakyat di daerah hanya akan memilih
pemimpin yang akan didudukkan di atas kursi kosong.
Mungkin saja ke depan,
dengan kesadaran politik yang kuat terhadap ketiadaan kekuasaan menjadi
bupati/ wali kota, fenomena calon tunggal atau bahkan ketiadaan calon yang
mau mendaftar sebagai pasangan calon bupati/wali kota semakin marak dalam
etape pilkada serentak pada masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar