Penyelamatan WNI yang Disandera
Prayitno Ramelan ;
Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net
|
KORAN SINDO, 02 April
2016
Beberapa bulan
terakhir serangan terorisme terus menjadi headline media. Setelah serangan
teror sensasional di Paris di mana 129 tewas, disusul dengan pemboman di
bandara dan stasiun kereta api di Brussel, Belgia kemudian terjadi pemboman
sebuah pasar di Lahore, Pakistan.
Kini Indonesia menjadi
sasaran aksi teror berupa pembajakan dua kapal dan disanderanya 10 awak kapal
berbendera Indonesia di perairan Filipina. Dua kapal yang dibajak adalah
kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu
bara dari Banjarmasin ke Filipina. Secara teori, aksi teror dilatarbelakangi
dengan motif ideologi atau kriminal.
Serangan teror di
Paris dilakukan oleh jaringan ISIS pada 13 November 2016 berlatar belakang
ideologi. Bom Brussel pada Selasa (22/3/2016) juga serangan dengan latar
belakang ideologi, pelaku melaksanakan aksi teror sebagai instrumen
penghukuman/balas dendam, di mana situs daring Aamaq (media ISIS) menyatakan
serangan ke Belgia itu dilakukan karena negara itu terlibat dalam koalisi
melawan kelompok ISIS.
Serangan kemudian
terjadi pada Minggu (27/3/2016), berupa bom bunuh diri yang mengguncang taman
publik di Lahore, korban tewas mencapai 72 jiwa, sebagian besar wanita dan
anak-anak. Kelompok faksi Taliban, Jamaat-ul-Ahrar adalah pendukung ISIS,
mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri itu. ”Target itu
warga Kristen,” kata juru bicara faksi, Ehsanullah Ehsan.
”Kami ingin mengirim
pesan ini kepada Perdana Menteri Nawaz Sharif bahwa kita telah memasuki
Lahore,” katanya melalui Twitter.. Kasus pembajakan kapal berbendera
Indonesia pada Sabtu (26/3/2016) itu dilakukan milisi Abu Sayyaf Filipina
yang diketahui juga sudah menjadi bagian ISIS.
Sebanyak 10 awak kapal
dan seluruh muatan batu bara dibawa penyandera ke tempat persembunyian mereka
di salah satu pulau di sekitar Kepulauan Sulu. Para pembajak mengajukan
tuntutan kepada pemilik kapal uang tebusan sebesar 50 juta Pesos (sekitar
Rp14,3 miliar).
Karakter Kelompok Teror
Dalam menangani sebuah
serangan teror, penindak (counter
terrorism) sebaiknya memahami karakter dari sebuah kelompok teror. Dari
karakter tersebut, langkah-langkah penindakan dan pelibatan siapa yang
menangani akan lebih sukses dibandingkandengandilakukan serangan tanpa
pemahaman siapa yang dihadapi.
Karakter dari kelompok
teror secara umum di antaranya terorisme extraordinary
crime, mendasarkan tindakan pada motivasi ideologis atau bisa juga
kriminal. Terorisme bisa memilih sasaran sipil maupun sasaran nonsipil,
ditujukan untuk mengintimidasi atau memengaruhi kebijakan pemerintahan dan
menciptakan perasaan tidak aman dan merupakan tekanan psikologis untuk
masyarakat ataupun dalam rangka meninggalkan pesan.
Terorisme tidak
menghormati hukum internasional atau etika internasional. Tujuan jangka
pendeknya adalah menarik perhatian media massa dan juga untuk menarik
perhatian publik. Karakter kelompok teroris di satu daerah atau negara jelas
dan bisa berbeda satu sama lain walau secara umum sama.
Dari karakter secara
umum, tim penindak/negosiator perlu dibekali dengan pengetahuan dasar (basic descriptive intelligence)
kelompok tersebut. Nah, dari data-data the past, apabila digabungkan dengan
data masa kini, analis bisa membuat perkiraan apa yang akan mereka lakukan
selanjutnya dan bagaimana langkah antisipasinya.
Kelompok Abu Sayyaf
Kelompok penyandera
adalah Abu Sayyaf yang merupakan kelompok muslim di Filipina. Kondisi saat
ini warga penganut muslim hanya menjadi mayoritas di kawasan otonomi The
Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM). ARMM di bawah kepemimpinan
Misuari mencakup wilayah Maguindanao, Lanao del Sur, Sulu, dan Tawi-Tawi.
ARMM dibentuk oleh
Pemerintah Filipina pada 1989 sebagai daerah otonomi di Filipina Selatan,
sebagai hasil kesepakatan damai antara MNLF dan pemerintah pusat Filipina.
Ketika itu penduduk boleh menyatakan pilihannya untuk bergabung dalam wilayah
otonomi muslim dan hasilnya empat wilayah tersebut memilih untuk bergabung.
Kesepakatan itu ternyata tidak memuaskan sebagian dari pejuang-pejuang muslim
sehingga muncullah Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan kelompok Abu Sayyaf.
Kelompok ini bersumpah
untuk menentang dan memboikot ARMM dan tetap memperjuangkan kemerdekaannya
sendiri. Dalam perkembangannya, MILF kemudian bersedia menerima otonomi
dengan syarat wilayah otonomi ARMM diperluas dengan ditambahkan beberapa
provinsi lagi. Sementara kelompok Abu Sayyaf yang disebut juga Grupong Abu
Sayyaf tetap menolak.
Kelompok ini menguasai
basis di dan sekitar Jolo serta Pulau Basilan (bagian barat daya Filipina).
Laporan intelijen menyampaikan pada 2012 kelompok itu diperkirakan memiliki
kekuatan di antara 200 hingga 400 anggota, di mana pada 2000 jumlahnya 1.250
orang. Abu Sayyaf didirikan dan dipimpin oleh Abdurajik Abubakar Janjalani.
Setelah tewas pada
1998, ia digantikan oleh adiknya, Khadaffy Janjalani, yang juga tewas pada
2007. Pada 23 Juli 2014 Abu Sayyaf dipimpin oleh Isnilon Hapilon Totoni yang
telah menyatakan bersumpah kesetiaan (berbaiat) kepada pimpinan ISIS Abu Bakr
al-Baghdadi. Kemampuan tempur Abu Sayyaf sebagian besar terlihat dari improvisasi
penyerangan berupa serangan dengan perangkat peledak, senjata mortir, dan
senapan serbu otomatis.
Selama lebih dari
empat dekade, kelompok ini dianggap sangat kejam, bertanggung jawab atas
serangan teror kejam seperti pemboman super-ferry pada 2004, yang menewaskan
116 orang. Sejak awal 1991 kelompok ini telah melakukan pemboman, pembunuhan,
dan pemerasan dalam apa yang mereka gambarkan sebagai perjuangan mereka untuk
provinsi Islam di Filipina.
Mereka menerapkan aksi
teror walaupun tujuannya adalah insurgency, kemampuan lainnya adalah perang
gerilya. Di bawah kepemimpinan Hapilon Totoni, sejak September 2014, Abu
Sayyaf mulai melakukan penculikan orang untuk menuntut uang tebusan dengan
mengatasnamakan ISIS.
Sejak September 2014
Abu Sayyaf mulai aktif melakukan penculikan orang untuk mendapatkan uang
tebusan dengan mengatasnamakan ISIS. Kelompok ini telah ditetapkan sebagai
kelompok teroris oleh PBB, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Uni Emirat Arab, dan Inggris.
Awalnya kelompok Abu
Sayyaf terkenal karena melakukan pemboman. Kini kelompok ini menjadi lebih
terkenal karena melakukan penculikan dan meminta uang tebusan. Menculik
adalah modus operandi mereka dengan tujuan sederhana, mendanai perjuangan
bagi provinsi Islam independen.
Beberapa kasus
penculikan, sandera akhirnya dilepaskan setelah uang tebusan dibayar.
Beberapa kasus sandera ditahan lama hingga 15 bulan, di mana ada sandera yang
dieksekusi karena tuntutan tidak dipenuhi. Tuntutan mereka umumnya tinggi,
tetapi dapat dinegosiasikan pada batas bawah.
Intelijen sebagai Negosiator
Dari fakta-fakta di
atas, khusus dalam penanganan kasus penyanderaan 10 WNI yang kini ditahan Abu
Sayyaf, menurut penulis, lebih tepat apabila ditangani melalui jalur negosiasi
aparat intelijen. Intelijen memahami karakter kelompok teror seperti Abu
Sayyaf. Dari basic descriptive
intelligence terlihat bahwa kelompok ini labil dan mudah terpengaruh.
Karena modus mereka
menculik untuk mendapatkan uang, negosiasi diarahkan kepada pembicaraan uang
tebusan. Opsi diplomatik jelas akan sangat membantu agen intelijen dalam
pulbaket lebih lanjut, terlebih bahwa Pemerintah Filipina jelas menolak bila
TNI akan membantu melakukan opsi militer, Amerika Serikat sebagai sekutu lama
juga mereka tolak dalam melakukan operasi tempur.
Selain itu, pada
wilayah rantai kekuasaan Abu Sayyaf di Basilan, Jolo, dan Tawi-Tawi, menurut
Profesor Mark Turner dari University of NSW, Canberra, di wilayah tersebut
terdapat cukup banyak kelompok (faksi) dari Abu Sayyaf dan banyak dilengkapi
senjata. Karena itu, opsi pengerahan kekuatan militer dinilai akan menjumpai
banyak hambatan dan tantangan. Informasi intelijen bahkan menyebutkan mereka
mampu membuat sniper dengan kaliber 12,7.
Kesimpulan; negosiasi
sebaiknya dilakukan oleh aparat intelijen, dan apabila militer Filipina tidak
berhasil melepaskan sandera, perusahaan kapal yang disandera memberi mandat
kepada agen untuk melakukan negosiasi bawah. Yang terpenting, jangan sampai
pemerintah yang membayar uang tebusan, tetapi dibayarkan oleh pemilik kapal
atau perusahaan asuransi (bila dijamin).
Kemungkinan besar
mereka akan menerima setengah dari tuntutan tersebut. Pemerintah sebaiknya
mengutamakan lepasnya para sandera. Tidak perlu mengutamakan gengsi, kasus
ini terjadi di wilayah Filipina, di mana Pemerintah AS sejak 2002 saja tidak
berhasil meyakinkan Filipina untuk menyerang habis Abu Sayyaf.
Jelas kasus ini
berbeda dengan penyanderaan kapal Sinar Kudus di perairan internasional
Somalia yang sukses diserbu pasukan khusus TNI. Apabila kasus Abu Sayyaf ini
terjadi di perairan internasional, opsi militer bisa menjadi alternatif
pertama.
Sebuah catatan,
apabila para sandera telah bebas, untuk menghindari terjadi pembajakan dan
penyanderaan lebih lanjut, Pemerintah Indonesia mengeluarkan peringatan waspada
(red notice) bagi kapal-kapal
Indonesia untuk menghindari wilayah Jolo, Tawi-Tawi, dan Basilan. Semoga
bermanfaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar