Paradoks Ekonomi Berbagi
A Prasetyantoko ; Ekonom
di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS, 04 April
2016
Ketika
terjadi aksi protes terhadap taksi dalam jaringan atau daring di Jakarta
beberapa waktu lalu, sempat ada insiden kecil di depan Kampus Unika Atma Jaya
Jakarta. Pasalnya, mahasiswa tidak rela ada taksi berpenumpang dirusak massa
yang berdemonstrasi. Kejadian ini menunjukkan kemajuan bisnis digital
berpotensi menimbulkan gejolak. Aksi anarkistis mengikuti tuntutan penutupan
Uber dan Grab Car juga menunjukkan kita belum siap dengan bisnis digital.
Sebenarnya,
penolakan tak hanya terjadi di sini. Banyak negara, seperti Amerika Serikat,
Inggris, Jepang, Taiwan, dan India, juga menolak Uber, perusahaan taksi
daring. Dengan kata lain, sedang terjadi kompromi dari berbagai kepentingan
menyikapi kemajuan bisnis digital pada level global.
Padahal,
praktik semacam ini diperkirakan akan terus bermunculan, sebagai implikasi
kelahiran revolusi industri keempat yang berhasil mempertemukan aspek fisik,
digital, dan biologi dalam melakukan inovasi. Kemajuan ini diperkirakan akan
mengubah cara orang menjalani kehidupan, bekerja, dan berinteraksi dengan
orang lain.
Salah
satu bentuk nyatanya adalah kemunculan praktik ekonomi berbagi. Praktik ini
sebenarnya tak sepenuhnya baru. Sudah sejak lama manusia berinteraksi dalam
kegiatan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi, dalam jaringan untuk saling
berbagi.
Melalui
kemajuan teknologi informasi, muncullah industri berbasis aplikasi yang mampu
mempertemukan penyedia dan pengguna secara cepat. Uber adalah perusahaan
penyedia layanan transportasi tanpa armada, sedangkan AirBnB menyediakan
penginapan tanpa hotel, apartemen, atau kamar. Melalui aplikasi teknologi
informasi, Uber bisa menghubungkan pemilik mobil menganggur dengan pengguna.
Adapun AirBnB menyediakan informasi kamar atau ruangan yang bisa disewa
pengguna dari pemilik, di seluruh dunia.
Di
satu sisi, para penyedia layanan mendapat penghasilan tambahan dari aset yang
menganggur, sementara konsumen bisa menikmati layanan dengan harga lebih
murah. Dalam kasus Uber, para pengemudi bukan karyawan, melainkan pegawai
lepas. Oleh karena itu, di satu sisi mereka tak perlu membayar pajak karena
muncul dari kegiatan informal. Di sisi lain, mereka tak mendapatkan jaminan
kerja yang memadai. Bagaimana jika terjadi kecelakaan atau risiko lain?
Konsumen juga tak mendapatkan perlindungan memadai.
Di
luar itu, ada satu kesalahan pandangan tentang konsep ekonomi berbagi.
Ekonomi berbagi tak sekadar mendekatkan pengguna dan penyedia barang atau
jasa secara langsung tanpa perantara. Di sini, ekonomi berbagi dipahami
sebatas memotong mata rantai nilai. Lebih jauh lagi, ekonomi berbagi
sebenarnya merupakan konsep sosio-ekonomi tentang proses penciptaan nilai
bersama (co-creation) terjadi,
mulai dari proses produksi (co-production),
distribusi, hingga konsumsi (co-consumption).
Terhadap
praktik ekonomi berbagi ini, laman the Guardian menyindir cukup telak, dengan
mengatakan, ilustrasi paling baik untuk menggambarkan ekonomi berbagi adalah
perusahaan raksasa yang tengah mengejar posisi monopolistik. Lalu, apa yang
mau dibagi? Uber adalah perusahaan taksi terbesar di dunia, sedangkan AirBnB
menjadi penginapan dengan jaringan paling luas. Benarkah mereka simbol
ekonomi berbagi?
Dalam
terminologi ekonomi, mereka adalah perusahaan yang memiliki margin biaya
mendekati nol. Artinya, tambahan keluaran produksi yang berimplikasi pada
pendapatan tidak memerlukan tambahan biaya berarti. Lalu, siapa yang menikmati
hasil paling besar? Di sinilah paradoks ekonomi berbagi mulai terjadi.
Ditambah
lagi fakta, dengan kemajuan teknologi dan dunia digital, di masa depan
kebutuhan tenaga kerja akan semakin kecil. Hanya orang yang memiliki
kompetensi tinggi serta punya akses pada teknologi informasi yang akan
menikmati, sedangkan sisanya tertinggal jauh ke belakang. Fenomena
ketimpangan global yang cenderung meningkat pasca krisis global bukannya
menyusut, melainkan justru meningkat dengan revolusi industri jilid IV ini.
Kemajuan
ekonomi berbagi berbasis digital melesat setelah krisis global 2008. Di sini
terbukti, krisis melahirkan berbagai inovasi. Saat paling baik melakukan
perubahan adalah pada saat terjadi krisis karena orang tak takut akan
perubahan. Karena itu, fenomena ini tak bisa diabaikan sepenuhnya. Berbagai
kompromi pasti dilakukan.
Jepang
yang semula menolak AirBnB perlahan mengizinkan dengan berbagai syarat. Uber
dan Grab Car pun boleh beroperasi di Indonesia dengan syarat tertentu,
misalnya bekerja sama dengan perusahaan penyewaan mobil atau perusahaan
taksi.
Paling
ideal, konsep ekonomi berbagi ini dikaitkan langsung dengan pengembangan
komunitas. Bisnis dikembangkan dalam konteks kepentingan komunal dan lokal,
atau sengaja diarahkan untuk menyelesaikan masalah sosial. Ini jenis
kewirausahaan sosial yang juga tengah berkembang.
Jika
kecanggihan digital bisa digabungkan dengan konsep kewirausahaan sosial dalam
mengembangkan praktik ekonomi berbagi, penyelesaian persoalan sosial bisa
lebih cepat. Selain mempercepat pembentukan ekosistem bisnis digital, ada
baiknya pemerintah mendorong kewirausahaan sosial berbasis digital. Dengan
begitu, makna ekonomi berbagi menemukan substansi yang sebenarnya. Bukan
sekadar gincu bagi praktik monopoli pemilik modal, kemampuan, dan akses yang
difasilitasi kemajuan digital. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar