"Ngelmu Kancil"
Indra Tranggono ; Pemerhati
Kebudayaan; Sastrawan
|
KOMPAS, 04 April
2016
Di
dalam jagat cerita rakyat, kancil tak ubahnya pesohor. Dia jagoan mengakali hewan lain dengan
kemampuan akalnya. Karena itulah, dia mampu bertahan dan hidup mukti,
mencapai kejayaan diri.
Kancil
selalu berpenampilan ramah, manis, dan sopan. Ia pun supel sehingga banyak
hewan senang bergaul dengannya.
Kelebihan
lain, kancil mempunyai otak sangat encer, cerdas, dan mampu memproduksi ide-ide
kreatif, terutama saat menghadapi persoalan. Lidahnya juga sangat terampil
dalam memainkan logika dan makna kata dan kalimat. Hewan lain pun tersihir
dan takluk.
Dalam
setiap kali mengalami masalah, kancil
selalu punya ide cemerlang untuk menyelamatkan diri. Ketika tertangkap
nyolong mentimun-dan akan disembelih oleh Pak Tani-kancil merayu,
memprovokasi anjing untuk mau menggantikan posisinya. Dikatakan, dia akan
dikawinkan dengan putri Pak Tani nan cantik.
Kontan
si anjing bersedia. Kancil pun lolos. Melarikan diri. Dia tertawa mendengar
jeritan anjing yang terkaing-kaing karena kepalanya dipalu Pak Tani.
Kisah
tragis anjing hanyalah salah satu contoh dalam deretan korban akibat
kelicikan sang kancil. Macan, gajah, dan hewan-hewan lain pun pernah mencicipi keculasan kancil.
Saat
sekolah dasar pada tahun 1970-an, saya mengenal kelicikan kancil dalam
berbagai dongeng yang dimuat dalam buku bacaan wajib di sekolah. Tak jelas,
apa motif Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu meloloskan dongeng
itu sebagai bacaan wajib. Mungkin karena muatan lokalnya yang dianggap
mengandung kearifan.
Mengidolai watak licik
Kearifan?
Apakah mengajarkan anak untuk mengidolai kancil, dan menjadikan watak
liciknya sebagai panutan itu arif? Tak ada protes, waktu itu. Dongeng
kancilnya pun melenggang di benak jutaan anak-anak sekolah dasar di seantero
negeri.
Hingga
kini, dongeng kancil terus direproduksi melalui berbagai media. Misalnya wayang (wayang kacil), langen carita (opera
anak-anak), komik dan film animasi. Kancil juga muncul di kaus-kaus dengan
teks yang berisi (tentang) pentingnya menyerap "ngelmu perkancilan"
untuk melakukan "terobosan kreatif".
Disadari
atau tidak, dongeng kancil telah turut ikut mendidik generasi bangsa kita.
Kelicikan dan keculasan diartikan sama dengan kecerdasan. Tipu daya
diidentikkan dengan kreativitas. Kebodohan orang lain bukannya diatasi,
tetapi malah dianggap kelemahan yang harus dieksploitasi, dimanfaatkan.
Alhasil,
keculasan (tidak lurus hati) dianggap sebagai keluhuran budi. Dan, ia pun
melahirkan banyak korban dianggap sebagai prestasi.
Melawan
"ngelmu" kancil
Ngelmu
kancil bisa diartikan semesta pengetahuan dan kecakapan teknis untuk
memengaruhi, mengelabui, dan melemahkan, serta menguasai pihak lain yang
dijadikan korban. Kini, banyak orang dan lembaga menggunakan ngelmu kancil.
Para anggota DPR layak disebut menggunakan ngelmu kancil ketika berniat
melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui upaya untuk merevisi
Undang-Undang KPK.
Sekilas,
tujuan revisi itu terkesan baik agar KPK bisa menjadi lembaga yang menjunjung
check and balances. Namun, secara esensial, revisi itu bertujuan menjadikan
KPK tidak lebih dari sekadar macan ompong, macan sirkus, atau bahkan macan
kertas yang tidak lagi powerful di
dalam menerkam para tikus berbaju penyelenggara negara dan pemerintahan.
Artinya,
DPR ingin mereduksi keberadaan KPK menjadi sekadar realitas simbolik, semacam
aksesori kekuasaan. KPK hendak dibikin tampak ada, tetapi sesungguhnya tiada
(baca kehilangan efektivitas peran dan fungsi). Tentu, jika KPK berhasil
dilemahkan, yang keplok keras adalah kaum pengerat, pembobol kekayaan
negara.
Kini,
"kawanan kancil" yang
berjumlah ribuan-bahkan mungkin jutaan-menguasai republik ini. Kaum kancil
itu menggunakan ngelmu-nya untuk mengakali legislasi, regulasi, dan berbagai
aturan agar bisa mendesakkan berbagai agenda kepentingannya. Ada yang
didorong pertimbangan politik, ekonomi, ada pula karena pertimbangan sosial
dan kultural.
Namun,
inti semuanya sama: menjadikan negeri ini sebagai koloni kepentingan personal
atau kelompok. Dengan ngelmu kancil plus uang dan kekuasaan, mereka ingin
terus berkuasa. Tak peduli rakyat jadi korban.
Ngelmu
kancil bisa dilawan dengan akal sehat, kecerdasan nurani dan keberanian bertindak. Akal sehat menuntun
kita pada kebenaran dan obyektivitas di dalam memahami realitas. Kecerdasan
nurani memungkinkan kita untuk memberi bobot nilai dan makna atas pilihan
tindakan. Dan, keberanian merupakan energi jiwa untuk memperjuangkan
cita-cita ideal jadi kenyataan. Mari kita "bunuh" kancilisme! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar