Martabat "Bebek Nungging"
Saifur Rohman ; Pengajar
Filsafat Program Doktor di UNJ
|
KOMPAS, 04 April
2016
Setelah
dua minggu berlalu, ketika sejumlah lembaga swadaya masyarakat mencabut
tuntutan, seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah masih tetap bermaksud
melanjutkan kasus penghinaan simbol negara ke pengadilan.
Kendati
sudah menyampaikan permintaan maaf, menurutnya, negara ini berdasarkan hukum
dan bukan atas dasar maaf. Sebelumnya memang seorang penyanyi dangdut telah
dilaporkan ke polisi oleh lembaga swadaya masyarakat (17/3). Dalam acara di
satu stasiun televisi, Selasa (15/3),
pelaku menyatakan bahwa tanggal kemerdekaan Indonesia adalah "23
Agustus" dan lambang sila kelima Pancasila adalah "bebek
nungging".
Ketika
persoalan tersebut didudukkan di dalam ranah hukum positif, pantaskah pelaku
dihukum 5 tahun penjara atau denda Rp 500 juta, sebagaimana termaktub dalam
UU? Sebaliknya, apabila tidak terkait dengan wacana etis, bagaimana ekses
tindakan tersebut terhadap praktik komunikasi massa untuk membangun panji
kebangsaan?
Harga diri harga mati
Simbol
selama ini dianggap sebagai "benda keramat" dalam sebuah kelompok
sosial. Di alam pikir masyarakat telah hidup berbagai simbol sebagai upaya
mengenalkan, melestarikan, dan mengawetkan
identitas, sistem gagasan, serta kebijakan-kebijakan praktis. Itulah
kenapa simbol dimengerti sebagai bentuk yang tak boleh diusik-usik karena
sudah menyangkut identitas. Kata lainnya: ciri subyek, kebesaran, martabat,
dan harga diri.
Secara
formal, setelah dirumuskan dalam UUD, pemerintah kemudian membakukan
"harga diri" itu dalam produk perundang-undangan. Setidaknya hal
itu terbaca di UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang
Negara. Produk hukum ini menjelaskan secara eksplisit tentang kedudukan,
arti, fungsi, pemanfaatan simbol-simbol negara.
Jika
direfleksikan dalam kasus yang terjadi, pelaku dilaporkan karena dua hal.
Pertama, diduga telah menyebutkan secara salah "tanggal lahir
negara". Padahal, tanggal tersebut selama ini diasumsikan sangat dikenal
semua warga negara sehingga "tidak mungkin salah". Kedua, perihal
lambang, pelaku diduga sengaja menyebutkan lambang sila kelima adalah bebek
nungging, sementara dalam UU No 24/2009 Pasal 48 huruf e berbuyi: "Dasar
Keadilan Sosial dari Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan
padi."
Ketika
kasus ini didudukkan dalam praktik komunikasi, tindakan "salah
sebut" itu dapat dimasukkan dalam teknik pelesetan agar menghasilkan
efek kelucuan. Teknik pelesetan itu dalam wacana dialog lazim digunakan
sebagai penyampai pesan lain dari yang diucapkan secara eksplisit.
Teknik-teknik lain seperti parodi, pastisch
(penghargaan), camp (menceracau),
hingga kitsch (estetika sampah).
Praktik
"salah sebut" tak sulit dicari padanannya dalam kasus "salah
letak", "salah syair", maupun "salah posisi" dalam
praktik komunikasi massa. Jika kesalahan itu dinamakan penghinaan, penghinaan
simbol-simbol negara juga banyak dilakukan oleh masyarakat karena tidak
mendudukkan fungsinya sesuai kaidah perundang-undangan.
Contoh,
penggunaan bendera sebagai ganti penutup kepala dalam kerumunan pendukung
olahraga, lagu kebangsaan yang dinyanyikan dengan tidak sebagaimana mestinya,
hingga praktik-praktik kebebasan berpendapat di muka umum. Dalam ekonomi
produksi, lambang-lambang yang digunakan lembaga pemerintahan pun sering
digunakan di kaos, gelas, serta perlengkapan rumah tangga lainnya. Padahal,
lambang tersebut berisi simbol-simbol sakral negara.
Dalam
UU No 24/2009 Pasal 68 disebutkan: "Setiap orang yang mencoret,
menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud
menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara dipidana dengan
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00." Mengacu pasal ini, tindakan yang dikategorikan pidana
adalah tindakan yang disertai maksud menodai, menghina, atau merendahkan.
Penggunaan
simbol negara yang "salah tempat" oleh para pengusaha itu tidak
dimaksudkan untuk menghina identitas negara, tetapi agar dibeli oleh suporter
olahraga. Demikian pula penggunaan lambang-lambang negara dalam sebuah kaos
secara tidak lazim, tentulah
dimaksudkan sebagai "kreativitas" untuk memperlaris barang
dagangan.
Investigasi maksud
Untunglah
kita mengenal teori tindak-tutur (speech-act)
yang dijelaskan oleh JL Austin. Menurut dia, maksud penutur atas sebuah
pernyataan itu bisa saja berbeda dengan yang ditangkap pendengar. Karena itu,
dari berbagai kemungkinan, maksud dari seseorang tak semata-mata bisa
ditangkap dari pernyataan saat itu juga. Jurgen Habermas menawarkan cara
untuk mengetahui maksud dengan tiga teknik. Pertama, teknik pengulangan untuk
memastikan kalimatnya. Kedua, teknik kesungguhan digunakan agar pelaku
menjelaskan arti dari kalimat awalnya. Ketiga teknik kebenaran, yakni
melakukan konfirmasi fakta-fakta dengan pernyataan awal.
Teknik
investigasi maksud dari satu pernyataan bisa diterapkan dalam kasus
"bebek nungging". Bila melihat konteks, pernyataan itu muncul pada
saat acara musik yang diselingi humor oleh para pengisi acara. Melihat
respons masyarakat yang melaporkan tuturannya ke polisi, pelaku pun meminta
maaf kepada rakyat Indonesia. Dia kembali meluruskan: pernyataannya
dimaksudkan sebagai hiburan semata. Melihat kenyataan itu, mestinya kita tak
perlu melakukan investigasi dari maksud penutur karena ia telah meluruskan
maksud dan meminta maaf. Bila argumentasi ini diterima, sangat tidak logis
ketika seorang anggota Dewan menutut agar pelaku diberi hukuman
seberat-beratnya agar mendapatkan efek jer.
Sebetulnya
kita memerlukan sebuah penghormatan terhadap identitas bangsa yang disertai
kesungguhan dan kebenaran. Sebab, penghormatan terhadap lambang negara, bendera, dan lagu kebangsaan tanpa disertai
niat yang sungguh-sungguh adalah bentuk lain dari penghinaan. Dan, penghinaan
paling hakiki terhadap bangsa ini bukanlah sekadar perkataan, tetapi tindakan
melawan hukum dan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar