Langkah Sunyi Membungkam LGBT
Asrorun Niam Sholeh ;
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
|
REPUBLIKA, 21 Maret
2016
Setelah Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
mendeklarasikan gerakan LGBT sebagai bagian proxy war, isu tentang LGBT di
Tanah Air bisa dikatakan cenderung turun. Pernyataan petinggi militer
Indonesia itu sangat strategis untuk membungkam gerakan dan propaganda LGBT.
Selain itu, mengutip
dari media online, ada statement
menarik tokoh
LGBT Dede Oetomo tentang adanya kelompok-kelompok homo dan lesbi yang
menyediakan rumah perlindungan dan rencana evakuasi jika diperlukan. Pernyataan
pendiri Gaya Nusantara itu tidak lepas dari penilaiannya tahun ini
"kebencian" terhadap kelompok homo meningkat dan menjadi ketakutan
tersendiri bagi mereka. Entah ada kaitan atau tidak antara proxy war pimpinan
TNI dengan sikap Dede Oetomo. Tentu saja, turunnya tensi isu LGBT di Tanah
Air juga karena maraknya berbagai isu nasional lain yang tidak kalah menarik.
Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) memiliki kepentingan dengan isu LGBT, baik tensinya
sedang naik atau turun. Hal ini tidak lepas dari prinsip-prinsip perlindungan
anak. Dalam pandangan universal, anak merupakan kelompok masyarakat yang rentan
dari serangan orang dewasa, termasuk kelompok penyuka sesama jenis. Masih
segar dalam ingatan kita bagaimana seorang remaja laki-laki menjadi korban
pelecehan seksual seorang artis pria. Ini adalah salah satu bukti betapa
perilaku homoseks dan lesbi membahayakan tumbuh kembang anak.
Pada hakikatnya, KPAI
adalah watchdog atas prinsip
penyelenggaraan perlindungan anak di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, salah satu perlindungan khusus yang harus
diberikan kepada anak adalah perlindungan dari pemahaman yang salah.
Selain itu, anak juga
harus dilindungi dari perlakuan salah orang dewasa, orang tua, dan
lingkungan. Acuannya sangat jelas, yakni UUD 1945 dan produk hukum yang sudah
menjadi konsensus hukum di negara kita.
Anak harus diberi
pemahaman yang benar tentang hubungan seksualitas yang sesuai dengan kodrat
kemanusiaan. Sekaligus, anak juga harus diberi pemahaman bahwa hubungan cinta
sejenis
adalah melanggar kemanusiaan, di samping melanggar hukum agama, norma
kesusilaan dan hukum nasional.
Jika mengacu pada UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. UU kita tidak mengenal pernikahan sesama jenis, baik antarlelaki
atau antarperempuan. Ini adalah pemahaman yang benar yang harus diajarkan
kepada anak.
Perlindungan khusus
terhadap anak juga harus dilakukan dari perlakuan salah orang dewasa. Dalam
konteks LGBT, perlindungan tersebut tentu dari ancaman kelompok homo
penyuka anak kecil. Jika perlindungan ini tidak dilakukan, maka ini menjadi
ancaman bagi keberlangsungan masa depan bangsa dan negara. Tidak berlebihan
jika Menhan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
kemudian mewanti- wanti ancaman proxy war. Untuk menghancurkan Indonesia,
salah satunya adalah dengan menghancurkan anak-anak yang notabene adalah aset
bangsa dan negara.
Perilaku LGBT adalah
ancaman tersendiri yang harus senantiasa diwaspadai, baik itu ketika menjadi
isu nasional maupun tidak.
Aspek lain yang harus
diwaspadai adalah gerakan mengampanyekan, melanggengkan, dan melindungi LGBT di
Indonesia.
Tentu saja, KPAI berkepentingan dalam hal ini agar paparan LGBT tidak sampai
berpengaruh terhadap anak. Ketertularan atau terpapar orientasi seksual
menyimpang terhadap anak adalah suatu hal yang sangat berbahaya.
KPAI berupaya keras
bagaimana perilaku orang dewasa ini agar tidak memengaruhi cara pandang anak-anak
kita tentang seksualitas. Selain faktor agama yang menjadi barrier, langkah agar
penyimpangan ini tidak terpapar ke anak-anak adalah melalui langkah sunyi.
Mengapa disebut langkah sunyi?
KPAI meyakini
aktivitas kelompok LGBT masih berlangsung. Apalagi dengan terkuaknya bantuan
dana miliaran rupiah dari pendonor asing, sudah tentu kelompok homo dan para
pendukungnya tidak akan diam. Oleh sebab itu, komitmen perlindungan anak akan
terus berlangsung meski dilakukan dalam keadaan sunyi. KPAI mendesak semua
pihak untuk memikirkan strategi untuk menghadapi aktivitas LGBT yang sudah
demikian mengancam.
Secara umum, ada dua
yang harus dilakukan dalam upaya langkah sunyi, yakni rehabilitasi dan
roadmap regulasi. Rehabi litasi korban menjadi salah satu upaya yang bisa
dilakukan. Pengidap sesama jenis yang ingin kembali menjadi heteroseksual
bisa menemukan lembaga konseling dengan mudah. Berdasarkan dialog internal
KPAI dengan berbagai pihak, banyak pengidap homo yang ingin kembali menjadi
hetero namun mereka tidak tahu kemana harus mengadu.
Langkah sunyi kedua
adalah peta jalan (roadmap) RUU
Anti Penyimpangan Seksual yang saat ini sudah mulai dibicarakan di parlemen.
Penyimpangan perilaku seksual merupakan fakta yang tidak bisa dinafikan. Oleh
sebab itu, mekanisme regulasi menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak.
Regulasi ini bisa
becermin pada Undang-Undang Narkotika yang baru tentang rehabilitasi dan
pemulihan korban. Dalam logika rehabilitasi UU Narkotika, perbuatan mengonsumsi
narkoba merupakan perilaku yang melanggar hukum pidana. Akan tetapi, muncul
pengecualian jika mereka mau dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi.
Logika ini pun perlu
diterapkan untuk kaum LGBT. LGBT memiliki potensi menular di masyarakat. Jika
pembiaran ini diteruskan dan berubah menjadi propaganda dan gerakan masif,
perilaku LGBT bisa dianggap sebuah kejahatan. KPAI mendesak adanya regulasi
yang mengatur bahwa LGBT merupakan tindak pidana. Di dalam KUHP sudah dikenal
perilaku ini merupakan kejahatan kesusilaan yang terangkum dalam pasal 281. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar