DIRE dan Gairah Properti
Desmon Silitonga ;
Analis PT Capital Asset Management
|
KOMPAS, 11 April
2016
Sektor properti
merupakan salah satu yang dapat memberi efek pengganda terhadap perekonomian.
Geliat pembangunan properti akan ikut menggerakkan sektor lain, seperti
manufaktur, konstruksi, keuangan, perdagangan, atau konsumsi.
Bukan itu saja,
pembangunan properti juga efektif menyerap tenaga kerja sehingga dapat
berkontribusi menekan jumlah penganggur dan mendorong daya beli. Karena itu,
aktivitas sektor properti bisa dijadikan sebagai indikator mendeteksi siklus
ekonomi apakah sedang bergerak naik (ekspansi) atau turun (kontraksi).
Saat ini sektor
properti memberikan kontribusi Rp 329,8 triliun atau 2,9 persen terhadap
produk domestik bruto. Nilai ini masih relatif kecil dibandingkan dengan
kontribusi di negara lain, seperti Singapura, Hongkong, Australia, Tiongkok.
Artinya, prospek sektor properti Indonesia untuk tumbuh ke depan sangat
menjanjikan.
Setidaknya ada dua
faktor penarik yang mendukung prospek tersebut.
Pertama, akselerasi
pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah di berbagai kawasan dalam
lima tahun ke depan. Ketersediaan infrastruktur akan menghilangkan isolasi
antarwilayah yang berdampak pada lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
baru. Hal ini tentu akan berdampak positif terhadap permintaan akan properti.
Kedua, jumlah kelas
menengah yang terus tumbuh. Berdasarkan kajian dari McKinsey Institute
(2012), jumlah kelas menengah Indonesia pada tahun 2030 akan meningkat
menjadi 135 juta. Jumlah ini naik tiga kali lipat dari posisi 2012 sebanyak
45 juta.
Studi The Boston Consulting Group memproyeksi jumlah
kelas menengah Indonesia pada 2020 akan mencapai 141 juta atau tumbuh dua
kali lipat dari 2012 sebanyak 74 juta.
Kelas menengah ini
memiliki daya beli yang besar dengan gaya hidup modern. Biasanya mereka akan
menghabiskan akhir pekan di pusat-pusat
belanja dan membeli properti di pusat-pusat kota.
Pendanaan alternatif
Dengan faktor penarik
tersebut, sektor properti membutuhkan sumber pendanaan yang besar untuk
ekspansi. Sejauh ini ia masih dipenuhi dari kredit perbankan. Statistik
perbankan Indonesia (SPI) mencatat total kredit yang disalurkan ke sektor
properti sepanjang 2015 mencapai Rp 184,76 triliun atau tumbuh 11,4 persen
dari 2014.
Masalahnya, tingginya
ketergantungan sektor properti terhadap pendanaan dari sektor perbankan ini
dapat mengganggu stabilitas sektor keuangan ketika terjadi tekanan pada
perekonomian, baik yang disebabkan oleh tekanan harga minyak maupun nilai
tukar, inflasi, dan suku bunga, dan tekanan daya beli.
Gejolak ini akan
mendorong meningkatnya risiko mismatch perbankan. Risiko mismatch ini terjadi
karena sumber kredit perbankan berasal dari dana jangka pendek (deposito),
sementara proyek infrastruktur bersifat jangka panjang.
Ini pernah dialami
Indonesia pada 1997/1998 yang memicu krisis besar. Bukan itu saja, krisis di
Amerika Serikat (2008) dan krisis di Jepang (1990) juga dipicu kejatuhan
sektor properti. Hasil studi Reinhart dan Rogoff (2009) juga mengonfirmasi
hal yang sama, yaitu krisis yang terjadi di berbagai negara sering dipicu
oleh kejatuhan sektor properti. Karena itu, agar kondisi itu tidak terulang,
ketergantungan pendanaan sektor properti pada perbankan harus dikurangi
dengan menyediakan sumber pendanaan alternatif yang bersifat jangka panjang
dengan biaya dana yang murah.
Ini dapat dipenuhi
dari pasar modal. Sektor properti dapat memobilisasi dana jangka panjang dari
pasar modal, baik melalui IPO, right issue, dan penerbitan obligasi.
Masalahnya, saat ini
baru 48 perusahaan properti yang dapat mengakses pendanaan dari pasar modal
karena telah tercatat di lantai bursa. Padahal, masih ada ribuan perusahaan
properti skala kecil yang berharap dapat mengakses sumber dana alternatif
ini. Karena itu, kehadiran Dana Investasi Real Estat (DIRE) menjadi sangat
relevan memenuhi ketersediaan dana jangka panjang dan murah.
DIRE ini juga akan
menjadi sumber penerimaan negara, wadah investasi bagi pemodal, dan sekaligus
dapat mendorong pendalaman pasar keuangan. DIRE sendiri merupakan wadah yang
dipergunakan untuk menghimpun dana investor untuk selanjutnya diinvestasikan
pada aset dasar, berupa real estat
oleh manajer investasi. Dengan kata lain, DIRE ini sama dengan produk reksa
dana yang sudah dikenal selama ini.
Relatif tertinggal
Sayangnya,
perkembangan DIRE ini relatif tertinggal meskipun regulasi pendukungnya telah
ada sejak 2007. Bandingkan dengan negara lain, seperti Singapura (30 DIRE dengan nilai Rp 869
triliun), Malaysia (17 DIRE dengan nilai Rp 100 triliun, dan Jepang (53 DIRE
dengan nilai Rp 1.298 triliun). Di Indonesia baru satu DIRE dengan nilai Rp
560 miliar.
Salah satu penghambat
perkembangan DIRE ialah perpajakan. Selama ini perlakuan pajak DIRE adalah
pajak ganda dan nilainya sangat besar. Beban pajak sangat besar ini membuat
DIRE jadi tak menarik. Alhasil, perusahaan properti memilih menerbitkan DIRE
di negara lain karena pajak yang kecil.
Karena itu, kebijakan
pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi V dengan menghapus pajak ganda
dan paket kebijakan ekonomi XI yang memangkas nilai pajak dari 10 persen
menjadi 1,5 persen diharapkan bisa mendongkrak penerbitan DIRE di pasar modal
Indonesia. Alhasil, ini dapat mendorong gairah sektor properti.
Tentu ini tidak
berhenti sampai di situ. Otoritas Jasa Keuangan juga diharapkan dapat
merelaksasi peraturan terkait DIRE, seperti POJPOJK IX.M.1 dan POJK IX.M.2,
yang diharapkan dapat memfasilitasi perusahaan properti skala kecil tanpa
menghilangkan prinsip kehati-hatian. Terakhir, sosialisasi dan edukasi
terkait DIRE ini juga harus terus digalakkan supaya investor semakin paham
dan tertarik berinvestasi di DIRE sebagai instrumen investasi yang
menguntungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar