Dari Sutherland ke Abu Sayyaf
Abdul Wahid ;
Wakil Direktur I Bidang
Akademik dan Kemahasiswaan
pada Program Pascasarjana Unisma
Malang
|
MEDIA IDONESIA, 02
April 2016
TERORIS terus
memberikan 'pelajaran' baru bagi Indonesia. Kali ini negara kita digegerkan
dengan penyanderaan sepuluh warga negara Indonesia oleh kelompok militan Abu
Sayyaf di perairan Filipina. Pernyataan resmi ini disampaikan oleh
Kementerian Luar Negeri melalui juru bicaranya.
Sebagaimana
disampaikan bahwa pada Senin (28/3), Kementerian Luar Negeri menerima
informasi awal dari sejumlah pihak mengenai adanya 2 kapal berbendera
Indonesia yang dibajak, dan 10 WNI awak kapal yang disandera di perairan
Filipina. Kelompok ini meminta tebusan kepada Indonesia 50 juta peso (senilai
Rp15 miliar). Meski belum menyetujui permintaan itu, pemerintah segera
melakukan koordinasi dengan Filipina.
Terlepas bagaimana
akhir cerita dari pembajakan tersebut, yang jelas teroris telah demikian
sering memberikan pelajaran pada bangsa ini, khususnya aparat keamanan. Kali
ini giliran kelompok Abu Sayyaf yang selama ini dikenal cukup membahayakan,
membuktikan dirinya mampu menunjukkan kekuatan.
Perlu kita ketahui,
bahwa berdasarkan informasi yang dihimpun dari National Counter Terrorism Center (NCTC) Amerika Serikat, Abu
Sayyaf merupakan kelompok militan Islam yang dibentuk pada 1990-an dengan
dana bantuan mantan pemimpin Al-Qaedah Usamah bin Ladin.
Kelompok Abu Sayyaf
itu bermarkas di Mindanao Barat atau Maluku besar, Filipina Selatan dan
mendeklarasikan Mindanao Barat sebagai negara Islam merdeka. Kelompok ini
memang dikenal dengan aksi brutalnya, seperti pengeboman, pembunuhan,
pemerasan, dan penyanderaan.
Kekejaman yang
dilakukan oleh teroris kelompok Abu Sayyaf memang identik dengan yang dilakukan
oleh Islamic State (IS). Tidak
salah jika ada yang menyebut bahwa Abu Sayyaf itu sejatinya kepanjangan
tangan dari IS. Akibat kekejaman kelompok Abu Sayyaf misalnya, pada 2014
pemerintah Filipina pernah menembak mati 12 anggota kelompok teroris ini di Pulau
Basilan, Filipina Selatan, (900 km di selatan ibu kota Manila). Serangan
dilakukan pemerintah Filipina guna menghabisi pemimpin kelompok Al-Qaedah
itu, yang beberapa waktu sebelumnya sudah menculik dan memenggal kepala
warga.
Filipina memang sudah
beberapa kali mendapatkan pelajaran dari kelompok Abu Sayyaf. Kondisi
mencekam dan penuh kekhawatiran pernah dialami Filipina akibat banyaknya
turis asing yang diculik teroris. Pada April 2000 kelompok militan ini
menculik 21 orang, 10 di antaranya warga negara Malaysia, di sebuah
penginapan di Filipina Selatan. Pada 2001 kelompok ini juga membunuh 3 warga
negara AS dan 17 warga Filipina di Palawan. Kelompok Abu Sayyaf ini juga
pernah menyandera salah seorang warga Australia selama 15 bulan.
Harga diri
Kendati rekam jejak
kelompok itu cukup ganas, pemerintah Indonesia optimistis mampu membebaskan
10 WNI. Memang soal pembayaran tebusan, masih terjadi pro-kontra. Ada pakar
menilai, terlalu rendah harga diri bangsa Indonesia jika memenuhi permintaan
tebusan kelompok militan Abu Sayyaf.
Kelompok yang menolak
pembayaran sandera ini bahkan memberikan contoh, Indonesia sudah banyak
pengalaman menangani penyanderaan, yang salah satunya ialah operasi Woyla
ketika pesawat Garuda Indonesia dibajak oleh kelompok teroris yang menyamar
sebagai penumpang.
Dari kelompok yang
menyetujui di antaranya berpendapat, apa artinya besaran jumlah uang yang
dikeluarkan negara dibandingkan dengan keselamatan atau hak hidup warga. Di
ranah ini, pemerintah dikritik keras oleh komunitas peduli HAM supaya tidak
mempertaruhkan nyawa warga negara hanya demi uang.
Di luar pro-kontra
mengenai uang tebusan demi sandera, apa yang dilakukan kelompok teroris Abu
Sayyaf, haruslah dijadikan pelajaran istimewa, khususnya kalangan aparat keamanan,
baik kepolisian (Densus 88) maupun TNI. Para teroris akan terus mengembangkan
pelajarannya atau keilmuannya untuk terus-menerus digunakan menguji bangsa
ini.
Di dunia ini, segala
aktivitas, termasuk kriminalitas ditentukan lewat proses pembelajaran.
Keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dievaluasi pada sisi kualitas
pembelajarannya.
Objek pembelajaran
Kriminolog kenamaan
Edwind Sutherland, yang menelorkan teori 'pembelajaran kriminal' mengingatkan
masyarakat bahwa terjadinya kejahatan di tengah masyarakat bukan disebabkan
faktor hereditas (keturunan), tetapi oleh kepintaran seseorang atau
sekelompok orang untuk menempatkan keadaan, sikap dan perilaku masyarakat
sebagai objek yang dipelajarinya.
Dalam ranah
'pembelajaran terorisme' seperti dari kelompok Abu Sayyaf, menjadi gayung
bersambut ketika objek yang hendak dikriminalisasikannya, ternyata memberikan
peluang anomali sehingga semakin memperlancar dan menyukseskan
pembelajarannya.
Itulah yang membuat
Sutherland tidak sepaham dengan kriminolog konvensional yang menyebut kalau
kejahatan di masyarakat berhubungan dengan problem kemiskinan atau
ketidakberdayaan ekonomi (economical
empowerless). Artinya, yang membuat kehidupan masyarakat berwajah
karut-marut oleh kriminalitas bukan disebabkan orang miskin, melainkan akibat
orang pintar yang berkeinginan mengaplikasikan kepintaran (kelicikan).
Sutherland tidak
menempatkan orang miskin sebagai ‘aktor’ kriminalitas. Sebaliknya kelompok
terpelajarlah yang diposisikan punya andil besar dalam mencetuskan dan
memproduksi kejahatan-kejahatan berat seperti terorisme. Kalau orang miskin
berbuat jahat, korbannya berstandar minimalis. Sementara kalau kelompok mapan
dan terpelajar yang berbuat jahat, akibatnya sangat makro bagi kehidupan
bangsa.
Dalam kasus terorisme
pun demikian, kalau aktor dalam kasus teroris tidaklah berasal seseorang atau
sekelompok orang terpelajar, terdidik, dan terlatih dengan baik, tentulah
tidak akan sampai teroris bisa menjalankan roda organisasinya dengan rapi
dan berkelanjutan.
Terbukti, meski di
satu tempat bisa dibongkar aktivitas terorisme, ternyata teroris muncul
dengan cara melakukan penyanderaan. Kepintaraan dan ‘uletnya’ teroris dalam
penggalian dana seperti dalam kasus penyanderaan ini, juga mengindikasikan
kalau sejatinya teroris sudah berhasil membentuk sel di mana-mana, atau
sukses merekrut dan mendidik kader dengan ‘pembelajaran’ segala modus
barunya.
Hasil penelitian
psikolog Sarlito Wirawan (2010) terhadap 44 tahanan dan narapidana perkara
teroris menyebutkan bahwa ideologi yang dianut mereka (teroris) sudah
terbilang ‘harga mati’. Prinsip ini khususnya dianut oleh napi/tahanan papan
atas dalam aktivitas gerakannya atau mantan napi terorisme atau siapa pun
yang jadi teroris ‘berharga mati’ sehingga saat berelasi dengan target,
mereka pantang surut.
Temuan itu setidaknya
mengingatkan kita tentang betapa militannya seseorang atau sekelompok teroris
dalam mempertahankan keyakinan, ideologi, atau kebenaran yang dipelajarinya.
Meski gerakannya dianggap sebagai kekuatan kiri dan subversif, yang berpola
menghancurkan dan menghadirkan atmosfer kaos serta penderitaan massal, tetapi
mereka tetap meyakini kalau gerakan radikalistik-destruktifnya berada di
jalur kebenaran. Dengan kondisi ini, seharusnya kita pun menempatkan gerakan
teroris ini sebagai objek pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar