Antara Hasrat Berkuasa dan Melayani
Restu Gunawan ; Sejarawan;
Penulis Buku: Gagalnya Sistem
Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa;
Sekarang bekerja di Ditjen
Kebudayaan, Kemendikbud
|
MEDIA INDONESIA,
01 April 2016
KONTESTASI menuju kursi Gubernur DKI masih 2017, tetapi suhu
politik di Jakarta sudah mulai memanas. Bahkan tidak jarang terjadi saling
sindir tentang kekurangan masing-masing bakal calon. Situasi politik Jakarta
ini, akan terus berkembang dan semakin keras sampai pelaksanaan pilkada
serentak 2017. Namun, dari pengamatan selintas, upaya dan pendekatan berbagai
bakal calon lebih menggambarkan hasrat ingin berkuasa ketimbang untuk
melayani dan mengajukan program-program yang lebih bermutu untuk Jakarta.
Berdasarkan pengalaman, pemilihan umum legislatif di Jakarta
sejak 1971 sampai 2014, selalu punya dinamika tersendiri. Bahkan sering kali
menunjukkan kejutan-kejutan. Pada 1971 yang diikuti 9 partai politik dengan
Golkar menjadi partai pemenang, sedangkan PNI dan PNU urutan kedua dan
ketiga. Hal ini berubah ketika Pemilu 1977 dan 1982, yang diikuti 2 partai
politik dan Golkar, PPP menjadi partai pesaing Golkar yang cukup andal,
selisih suara PPP dan Golkar berbeda tipis. Bahkan pada 1977 jumlah anggota
legislatif Golkar dan PPP sama, masing-masing 5 kursi. Pada Pemilu 1982, PPP
memperoleh 5 kursi, Golkar 6 kursi, PDI 2 kursi di DPR. Baru setelah pada
1987 sampai Pemilu 1997 Golkar berhasil menguasai Jakarta secara penuh.
Kondisi berbeda terjadi ketika Pemilu 1999 sampai 2014. Hasil
pemilu di Jakarta seolah sulit untuk diprediksi. Pemenang pemilu selalu
berubah tergantung isu dan kemampuan partai mengelola isu. Pada Pemilu 1999,
PDIP menjadi partai pemenang dengan raihan 39% suara. PDIP kala itu merupakan
simbol partainya wong cilik dan
simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Pemilu 2004, PKS menjadi partai
pemenang dengan perolehan suara sekitar 22%. PKS berhasil tampil sebagai
partai rakyat dengan kader-kader muda dan langsung turun ke masyarakat. Pada
Pemilu 2009, Partai Demokrat menjadi pemenang dengan memperoleh suara sekitar
35%. Tidak ada isu yang menonjol yang diusung Partai Demokrat.
Kemenangan Demokrat karena kemampuan SBY sebagai presiden yang
dianggap berhasil pada periode pertama. Hal berbeda terjadi ketika Pemilu
2014, PDIP menjadi partai pemenang karena masyarakat berharap adanya partai
yang bersih dari KKN. Sebagai partai di luar pemerintah, PDIP berhasil
membangun citra partai bersih dibandingkan dengan partai pendukung pemerintah
yang sebagian pejabatnya terlibat kasus korupsi.
Hal yang mirip juga terjadi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Pada 2007, pemilihan dimenangi pasangan Fauzi Bowo-Prijanto yang mengalahkan
Adang Dorodjatun-Dani Anwar. Koalisi partai gemuk berhasil mengalahkan
koalisi ramping PKS yang mengusung Adang-Dani. Keberhasilan koalisi gemuk
pada 2007 dicoba diulang pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli ketika melawan
pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diusung
PDIP dan Gerindra pada pemilihan gubernur tahap II 2012. Hasilnya Jokowi-Ahok
memenangi pertarungan dengan memperoleh 53,8% suara. Kemenangan Jokowi-Ahok
selain didukung kinerja mesin partai, tetapi yang tidak kalah penting adalah
militansi relawan dalam mengelola berbagai isu dan mengelola media.
Dilihat dari program kedua pasangan tidak berbeda jauh, karena
problem perkotaan sebenarnya sudah diketahui setiap calon gubernur.
Keberanian untuk memutuskan dan memulai proyek-proyek yang sudah direncanakan
itu yang diperlukan. Sementara yang jadi titik lemah Fauzi Bowo karena
dianggap tidak berani memutuskan dan memulai pelaksanaan proyek-proyek yang
sudah ditetapkan sejak lama. Jokowi-Ahok muncul sebagai simbol perubahan
menuju Jakarta lebih baik.
Kekuatan Ahok
Ahok salah satu pemimpin yang fenomenal. Gaya bicara yang
ceplas-ceplos, cenderung tanpa kompromi, bekerja keras dan berusaha berpegang
teguh pada aturan. Ini menjadi salah satu kekuatan tetapi juga kelemahan
Ahok. Sebagai Gubernur DKI yang melanjutkan kepemimpinan Jokowi, praktis Ahok
baru memimpin Jakarta belum genap 2 tahun. Tetapi, masalah dan capaian sudah
banyak ia dapatkan. Dari yang kontroversial ketika berani melawan DPRD,
penggusuran warga, bongkar pasang pejabat DKI, menata sistem transportasi
massal, dan pengendalian banjir Jakarta. Namun, semuanya masih berproses dan
rencana.
Khusus mengenai penanganan banjir harus akui dari masa
kepemimpinan Jokowi hingga Ahok, luasan wilayah banjir di Jakarta mengalami
pengurangan yang sangat signifikan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Tetapi, itu belum bisa menjadi ukuran kesuksesan dalam menangani
banjir Jakarta. Karena sejak 2012 sampai 2016, curah hujan di Jakarta tidak
mengalami perubahan yang cukup berarti tetapi selama masa itu juga tidak
terjadi rob di sekitar Jakarta. Jakarta akan mengalami banjir besar jika ada
perpaduan tiga hal yaitu curah hujan di wilayah Jakarta yang tinggi, air dari
wilayah atas yang cukup besar, dan terjadi rob dari air laut sehingga air
tidak bisa mengalir secara gravitasi ke laut. Selama 2012 sampai 2016, ketiga
hal tersebut tidak terjadi secara bersamaan. Jakarta masih terbantu cuaca
sehingga tidak terjadi banjir besar.
Gaya kepemimpinan
Harus pula diakui bahwa sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI,
pelibatan masyarakat sangat besar. Ketika terjadi banjir 2012, Jokowi mencoba
membagi tanggung jawab dengan masyarakat. Dengan mengatakan bahwa banjir di
Jakarta tidak hanya kesalahan pemerintah dalam menata wilayah, tetapi
masyarakat juga melakukan kesalahan besar. Misalnya dengan membuang sampah
dalam jumlah besar ke sungai mulai dari kasur, kulkas, dan lain-lain.
Begitu juga ketika terjadi banjir di Jalan MH Thamrin, Jokowi
turun dan langsung menginspeksi gorong-gorong. Pembangunan kampung deret
dengan melibatkan warga dan komunitas untuk merancang sendiri sesuai dengan
kondisi alamnya. Ini merupakan bentuk pelibatan publik yang sangat penting.
Kelenturan gaya bicara dan penghargaan kepada peran serta masyarakat inilah
yang membuat masyarakat bersimpati besar.
Hal ini berbeda dengan gaya kepemimpinan Ahok, yang terkesan
tanpa kompromi dan tegas. Hal ini tampak pada sikapnya bahwa masyarakat yang
menempati wilayah bantaran sungai dan ruang hijau harus dipindahkan. Sebagai
bentuk tanggung jawab, pemerintah menyediakan rumah susun. Tipe kepemimpinan
yang berani dan tegas memang sangat dibutuhkan di Jakarta, namun tetap
manusiawi. Karena jika Jakarta dipimpin gubernur yang lembek, sulit bagi
Jakarta menuju kota megapolitan yang sejajar dengan kota-kota lain di dunia.
Kini Ahok telah menyatakan diri akan maju sebagai Gubernur DKI
melalui jalur independen, suatu pilihan yang berani dan dilematis. Pernyataan
yang terlalu awal ini mengakibatkan Ahok harus bersiap-siap dikritik terus
sampai masa kerjanya selesai. Artinya, bahwa dalam sisa masa jabatannya bisa
saja Ahok akan disibukkan untuk menangkis serangan dari lawan-lawan
politiknya, sehingga kinerjanya akan melemah. Kedua, jurus keroyok dari
lawan-lawan politiknya. Meskipun sistem keroyokan tidak akan menjamin calon
akan menang, untuk melawan Ahok maka harus dicarikan lawan yang sudah teruji
kinerjanya sebagai pemimpin. Jika rekam jejaknya biasa-biasa saja, rakyat
Jakarta yang sangat cerdas dan demokratis ini sulit untuk menerimanya.
Akhirnya jika dalam sisa masa jabatannya Ahok mampu menunjukkan
hasrat melayaninya lebih tinggi ketimbang berkuasa, tidak ada alasan rakyat
untuk tidak memilihnya. Kita masih harus menanti
apakah Ahok tepat memilih 'bus kota' dengan jalur independen yang berisi
relawan militan dan punya idealisme atau 'bus kota' harus didorong, karena
mogok kelelahan melawan partai-partai yang sudah mapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar