Pariwisata dan Revolusi Industri Keempat
A Prasetyantoko ;
Ekonom di Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 14 Maret
2016
Tak kurang dari 10.000
wisatawan asing dan 100.000 wisatawan domestik menyaksikan gerhana matahari total
di penjuru Nusantara. Dua daerah terpopuler adalah Bangka Belitung dan
Halmahera sebagai lokasi paling ideal menyaksikan peristiwa alam langka
tersebut.
Fenomena pariwisata
gerhana mengajarkan, peristiwa alam bisa menjadi komoditas wisata. Selain mendatangkan
devisa, juga mendongkrak kegiatan ekonomi daerah. Inilah saatnya industri
pariwisata dikembangkan dengan pendekatan mutakhir.
Sejak pemerintahan
lalu, ekonomi kreatif menjadi perhatian penting. Pada periode pemerintahan
sekarang dibentuk Badan Ekonomi Kreatif yang mandiri dari Kementerian
Pariwisata. Sejatinya keduanya sangat erat hubungannya. Dengan ruang lingkup
yang lebih luas, koordinasi antarinstitusi menjadi sangat krusial, yaitu
menggabungkan aspek fisik dan dimensi kreativitas.
Kita hidup pada zaman
revolusi industri keempat. Begitu kata Klaus Schwab, pendiri Forum Ekonomi
Dunia, pada pertemuan tahunan di Davos, Swiss, Januari 2016. Revolusi
industri pertama ditandai penemuan uap air yang menggantikan tenaga manusia
dalam menggerakkan mesin. Revolusi kedua terjadi pada akhir abad ke-19,
dipicu penemuan listrik yang memunculkan berbagai kemajuan, mulai teknologi
pesawat terbang, mobil, hingga televisi. Revolusi ketiga dimulai pada 1960-an
saat perkembangan teknologi digital, dari komputer hingga internet.
Sejak itu, revolusi
industri keempat terjadi sebagai akumulasi kemajuan di bidang fisik, digital,
dan biologi yang memunculkan berbagai kemajuan mengagumkan di berbagai
bidang. Kemajuan itu, antara lain, mobil tanpa pengemudi, robot pandai,
hingga pencetak 3 dimensi. Semua ini mengubah cara manusia bekerja, berelasi,
hingga menjalani kehidupan sehari-hari.
Salah satu sektor
paling terpengaruh revolusi industri keempat ini adalah pariwisata. Kita bisa
menyaksikan, iklan destinasi wisata begitu menggiurkan sehingga minat
wisatawan meningkat. Malaysia, misalnya, kita kenal sebagai negara dengan
promosi pariwisata yang gencar, yang berdampak pada kedatangan turis yang
membanjir. Apakah situs wisata kita lebih buruk daripada Malaysia? Dengan penuh
percaya diri, sumber wisata alam dan budaya kita jauh lebih kaya. Lalu,
mengapa jumlah wisatawan asing yang ke Malaysia jauh lebih banyak?
Menurut perhitungan
Asosiasi Perjalanan Asia Pasifik (PATA), kunjungan wisatawan asing ke
Indonesia pada 2015 berjumlah 9,1 juta, sedangkan Malaysia 27,7 juta orang
dan Thailand 36 juta orang. Pada 2018, Indonesia diperkirakan akan kedatangan
10,7 juta wisatawan asing, sedangkan Malaysia 30,7 juta orang dan Thailand
79,6 juta.
Dalam Laporan Daya
Saing Perjalanan dan Wisata 2015 keluaran Forum Ekonomi Dunia, posisi daya
saing pariwisata kita memang jauh tertinggal. Jika Thailand berada pada
peringkat ke-35 dan Malaysia ke-25, kita masih berada pada posisi ke-50.
Padahal, dalam komponen kebijakan yang mendukung pariwisata, Indonesia ada di
posisi ke-9, jauh lebih baik dibandingkan dengan Thailand di posisi ke-49 dan
Malaysia pada posisi ke-24.
Sayangnya,
infrastruktur pendukung pariwisata kita ketinggalan. Indonesia di posisi
ke-75, Thailand ke-37, dan Malaysia ke-41. Adapun dalam lingkungan pendukung
pariwisata, posisi kita juga tertinggal, pada peringkat ke-80, sedangkan
Thailand ke-75 dan Malaysia ke-40.
Dalam hal kekayaan
alam, posisi Indonesia di peringkat ke-19, Thailand ke-16, dan Malaysia
ke-26. Dalam hal kekayaan kebudayaan, Indonesia di peringkat ke-25, sementara
Thailand ke-34 dan Malaysia ke-27.
Dibandingkan dengan
Malaysia, kekayaan alam dan budaya kita masih lebih baik. Begitu pula dengan
regulasi terkait pariwisata. Apalagi, kebijakan pemerintahan Joko Widodo
progresif menarik wisatawan asing, lewat kebijakan pembebasan visa. Sebagai
tindak lanjut penerbitan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015 tentang
Fasilitas Bebas Visa Kunjungan, pada 2016 ada tambahan 84 negara baru bebas
visa. Dengan demikian, ada 174 negara yang memiliki fasilitas bebas visa ke
Indonesia.
Meski begitu,
wisatawan asing tidak serta-merta membanjir mengalahkan Malaysia, apalagi
Thailand. Infrastruktur dan lingkungan pendukung yang masih sangat buruk
perlu ditingkatkan kapasitasnya. Indonesia yang kaya sumber daya alam dan
budaya tak akan terbantu tanpa perbaikan lingkungan fisik.
Dalam hal ini,
kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus menjadi menarik, melakukan akselerasi
pembangunan fisik terfokus pada daerah tertentu. Dengan demikian, kondisi
fisik dan lingkungan pendukung terkait pariwisata bisa diperbaiki secara
progresif tanpa menunggu pembangunan kawasan lain.
Selain itu, kemajuan
digital dan kreativitas yang dimiliki generasi muda kita juga bisa mendukung
perkembangan pariwisata. Kawasan Bangka Belitung menarik karena ada narasi
mengenai film Laskar Pelangi. Ada banyak potensi pengembangan di kawasan lain
yang memerlukan strategi dan pendekatan sistematis dan kreatif.
Konkretnya,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bisa mengumpulkan kementerian
terkait agar upaya peningkatan sektor pariwisata di daerah bisa lebih
terarah, baik dari sisi fisik, dukungan digital, maupun kreativitas
manusianya. Kita memiliki potensi sangat besar di bidang pariwisata. Saatnya
membangkitkan wisata dengan pendekatan revolusi industri keempat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar