Palestina: Menegakkan Benang Basah
Dian Wirengjurit ;
Diplomat; Pandangan Pribadi
|
KOMPAS, 14 Maret
2016
Meskipun untuk pertama
kalinya Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Ke-5 Organisasi Kerja Sama Islam
membahas isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif (Jerusalem) dan berhasil
menyepakati Deklarasi Jakarta, dampak perhelatan ini tampaknya masih
diragukan.
Meskipun dikatakan
mencapai kesepakatan konkret, dari sejak awal timing Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ini dinilai kurang pas mengingat dunia Islam sedang menghadapi
berbagai isu penting lain, seperti isu NIIS, situasi di Irak dan Suriah, dan
hubungan Arab Saudi dan Iran. Keraguan ini bisa dilihat dari berbagai aspek.
Pertama, pendekatannya
masih mengedepankan pola lama, yaitu mobilisasi negara (berkembang), seperti
Gerakan Nonblok (GNB), yang notabene tidak punya real power, baik politik,
ekonomi, apalagi finansial. Berapa banyak resolusi atau deklarasi mengenai
Palestina telah dihasilkan dalam berbagai pertemuan internasional, baik di dalam
maupun di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan, Dewan Keamanan (DK)
PBB, satu-satunya badan dengan kekuatan memaksa, dan sejak 1947 sampai saat
ini telah mengeluarkan lebih dari 300 resolusi yang tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Kedua, masih
mengesampingkan the real key player. Suka atau tidak, upaya apa pun untuk
menyelesaikan masalah Palestina harus melibatkan tripartit Palestina, Israel,
dan AS, dan/dengan anggota tetap DK PBB. Rusia dan Tiongkok mungkin
"tidak punya" kepentingan langsung; Perancis sudah muncul dengan
solusi two-state-nya; dan Inggris cenderung untuk mengikuti policy AS.
Dari resolusi yang dikeluarkan DK PBB,
terakhir resolusi 1860/2009 mengenai gencatan senjata di Gaza, sebagian besar di antaranya diveto AS, dan
mayoritas negara berkembang anggotanya tidak dapat berbuat apa-apa.
Ketiga, perpecahan
internal Palestina. Perbedaan pandangan, posisi, dan kebijakan di antara
kedua faksi utama, Fatah dan Hamas, sudah sangat lebar bahkan bertentangan.
Fatah yang didukung Arab Saudi, misalnya, sudah "mengakui" Israel
dan mengutamakan solusi damai (peaceful
solution); sementara Hamas, yang didukung Iran, tidak pernah mau mengakui
Israel dan tetap menggunakan segala cara.
Fatah dapat menerima
penyelesaian berdasarkan status wilayah 1967, sedangkan Hamas ingin kembali
ke status 1948. Lebih jauh, Fatah menghendaki Palestina yang multireligius,
sementara Hamas menginginkan negara Muslim. Belum lagi kenyataan di lapangan,
baik di dalam Fatah maupun Hamas terdapat puluhan faksi kecil lainnya.
Penyelesaian akhir tidak akan efektif tanpa adanya penyelesaian konflik
internal ini.
Keempat, isu
Palestina-Israel adalah konflik politik dan bukan agama. Pendekatan yang
dipakai juga tidak seharusnya mengedepankan aspek keagamaan. Sejauh ini, Organisasi
Kerja Sama Islam (OKI) sudah melaksanakan 12 KTT dan 5 KTT LB dan lebih
banyak lagi KTM. Meskipun dikatakan KTT ini khusus membahas isu Palestina,
kenyataannya semua pertemuan tersebut senantiasa menghasilkan deklarasi yang
memuat isu Palestina, yang isinya imbauan(!). Setelah itu, praktis tidak ada
kelanjutan, apalagi tindak lanjut yang nyata ke arah penyelesaian
komprehensif.
Kelima, OKI tidak
pernah solid. Konflik internal dan bahkan perseteruan dalam organisasi yang
mewakili lebih dari 1,3 miliar penduduk dunia ini sudah sangat akut. Dalam
konteks Israel, hampir 50 persen anggotanya telah mempunyai hubungan
diplomatik dengan negara Yahudi itu, termasuk Palestina(!).
Perpecahan semakin
nyata dan memburuk dengan putusnya hubungan diplomatik Arab Saudi dan Iran.
Senjata nuklir yang dimiliki Israel jarang disoroti OKI. Sementara program
nuklir Iran acap kali menjadi concern. Saat ini, perpecahan OKI kian terbuka
di kawasan hot-spot Asia Barat, di Irak dan Suriah, tempat Arab Saudi dan
Iran saling berhadapan, meski sebatas proxy.
Tak istimewa
Dikatakan bahwa KTT
ini telah menghasilkan langkah-langkah konkret dalam deklarasi yang berisi 23 poin. Kalau
mau jujur, sebenarnya tidak ada yang istimewa. Pembentukan Al-Quds
danAl-Aqsha Funds untuk menggalang dana juga diragukan efektivitasnya.
Sebagian negara OKI, khususnya di Afrika, masih dibantu Arab Saudi; sementara
mereka juga kerap menunggak iuran kepada PBB yang besarannya sekitar 0,00
sekian persen dari anggaran organisasi dunia itu. Selain itu, juga kecaman
dan desakan kepada Israel untuk mengakhiri pendudukannya selalu dianggap
"angin lalu", bahkan Zionis itu menganggap KTT ini tidak pernah
ada.
Untuk membuktikan
langkah nyata ini, Presiden Joko Widodo bahkan menyerukan agar OKI memboikot
produk buatan Israel yang kini menjadi kontroversi. Entah apa dasar statement
ini mengingat sebagian negara OKI justru sudah menikmati hubungan dagang
dengan Israel, termasuk Indonesia(!), yang belum memiliki hubungan
diplomatik.
Berdasar data BPS,
pada 2015 impor Indonesia dari Israel bernilai 77,7 juta dollar AS, suatu
kenaikan signifikan dari 2014 yang sekitar 13,89 juta dollar AS. Bahkan,
menurut Emanuel Shahaf, pebisnis yang aktif di zaman Abdurrahman Wahid,
ekspor-impor Indonesia per tahun berkisar 400-500 juta dollar AS, dengan
impor Indonesia sekitar 20 persen. Nilai perdagangan Malaysia-Israel
diperkirakan 1 miliar dollar AS; belum lagi dengan Jordania dan Mesir.
Kita tampaknya masih
tetap belum bisa realistis dan pragmatis dalam memainkan perannya. Kita
tampaknya masih happy dengan pola lama, mengadakan perhelatan internasional
yang justru menjauhi niat awal untuk "kerja, kerja, dan kerja" dan
"dagang, dagang, dan dagang". Setelah selesai perhelatan, suasana
kembali tenang tanpa ada evaluasi terhadap implementasi dan efektivitasnya.
Sebenarnya, sebagai
negara demokrasi ketiga dan "Muslim" terbesar, Indonesia memiliki
leverage yang bagus. Abdurrahman Wahid telah merintis kontak dan dialog
dengan Israel; pejabat-pejabat Indonesia juga secara informal telah
mengadakan pertemuan dengan mitra Israel-nya. Intinya, Israel siap melibatkan
Indonesia dalam upaya damai sebagai another key player dengan satu syarat:
mengakui negara Israel! Tampaknya kita selalu lupa, dalam politik/hubungan
internasional, yang berlaku adalah "doktrin" Harold Lasswell: who
gets what, when and how. Ini berlaku bagi semua negara, termasuk Palestina
dan Israel. Pilihan ada di kita.
Dengan demikian, KTT
LB ini pun tidak lebih dari KTT
reguler yang hasilnya juga biasa-biasa saja. Upaya melalui OKI adalah upaya
setengah hati mengingat setengah anggotanya sudah punya hubungan diplomatik
dengan Israel. Melakukan mobilisasi untuk menekan Israel melalui OKI akan
"jauh panggang dari api" atau seperti nama acara di salah satu stasiun
TV "Mimpi Kali Yee". Atau mungkin juga bisa berhasil kalau saja
para pakar sudah bisa inovatif menemukan teknologi (baca: cara) untuk
menegakkan benang basah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar