Minggu, 06 Maret 2016

Menulis untuk Menyehatkan Diri

Menulis untuk Menyehatkan Diri

Kristi Poerwandari ;   Penulis Kolom “PSIKOLOGI’ Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika membaca berita tentang seorang polisi memutilasi dua anaknya, diduga karena ia mengidap skizofrenia, kita terbayang mengenai betapa sangat sulitnya situasi psikologis yang dihadapi sang ibu/istri. Ada cukup banyak dari warga masyarakat yang mungkin juga pernah mengalami kejadian sangat traumatik, terperangkap dalam situasi serba tidak berdaya dan mungkin dihantui penyesalan seumur hidup.

“Seandainya saya saat itu tidak tidur, pasti anak saya masih hidup"; "Seandainya saya lebih sabar sedikit, anak saya akan pulang dan tidak mengalami kecelakaan"; "Harusnya saya bisa menjaga ibu saya yang sudah sepuh"; "Ini kesalahanku karena.", dan banyak penyesalan lain.

Meski yang terjadi sesungguhnya bukan kesalahan diri, penyesalan mungkin terus berkecamuk di batin, tanpa dapat diolah dengan baik. Individu sulit atau tidak berani bercerita tentang perasaannya karena takut disalahkan atau ditanggapi secara tidak menyenangkan. Yang lain, meski sebenarnya ada dalam lingkungan terdekat yang suportif, mungkin tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya.

Efek menulis

Saya menemukan satu laporan penelitian sangat penting, yang ditulis oleh Pennebaker dan Seagal (1999), bercerita mengenai beberapa penelitian tentang efek positif dari menulis.

Kesimpulan singkatnya: menulis pengalaman personal secara afektif-emosional itu dapat meningkatkan kesehatan mental dan kesehatan fisik. Jadi, apabila kita bingung mengenai bagaimana bercerita kepada orang lain tentang suatu pengalaman yang sangat menyakitkan dan mengganggu dalam hidup, dan merasa orang mungkin tidak akan memberikan tanggapan secara positif, kita tidak harus memaksa diri bercerita. Tetapi, penting untuk menuliskan pengalaman itu.

Pennebaker melakukan penelitian eksperimental sederhana. Mahasiswa diberi instruksi untuk menulis suatu topik khusus tertentu, selama 4 hari berturut-turut, 15 menit setiap harinya. Mereka diyakinkan bahwa tulisannya akan dirahasiakan dan bahwa mereka tidak akan memperoleh evaluasi dan umpan balik apa pun untuk tulisannya. Mereka juga diminta untuk terus menulis, tanpa memedulikan tata bahasa, struktur kalimat, ataupun pengejaan. Partisipan lalu secara acak dimasukkan dalam kelompok eksperimen atau kelompok kontrol.

Yang masuk kelompok eksperimen memperoleh tugas untuk menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mengenai pengalaman paling traumatik yang pernah terjadi dalam hidupnya. Mereka boleh mengaitkannya dengan relasi dengan siapa pun, misalnya orangtua, pacar, teman; dengan masa lalu, masa kini dan masa depan. Mereka boleh menulis pengalaman yang sama selama 4 hari itu, atau menuliskan pengalaman traumatik yang berbeda-beda.

Sementara itu, yang masuk kelompok kontrol memperoleh tugas menulis topik non-emosional selama waktu yang sama. Misalnya, mendeskripsikan ruang laboratorium atau rumahnya sendiri.

Partisipan kelompok eksperimen hampir semua melapor bahwa tugas menulis itu sangat bermakna bagi mereka, dan dengan senang hati akan ikut serta lagi apabila ada eksperimen serupa. Mahasiswa yang kebanyakan dari kelas menengah atas itu bercerita mengenai pengalaman yang tragis seperti kekerasan dalam rumah tangga, menjadi korban pemerkosaan, sempat mencoba bunuh diri, atau terlibat penyalahgunaan obat.

Menulis pengalaman traumatik mungkin membuat individu merasa tertekan beberapa jam setelah menulis, tetapi efek jangka panjangnya positif. Peneliti mengecek kunjungan rawat jalan dari mahasiswa ke pusat kesehatan universitas sebulan sebelum dan setelah tugas menulis. Mengherankan, yang menuliskan pengalaman traumatik menurun drastis kunjungan rawat jalannya. Penelitian-penelitian serupa pada kelompok lain seperti pada korban tindak kriminal, orang yang sakit kronis, laki-laki yang baru di-PHK, dan perempuan yang baru saja melahirkan ternyata juga menunjukkan hasil yang sama. Pengukuran pada fungsi imun dalam darah juga menunjukkan efek positif, sementara studi lain melaporkan berkurangnya rasa sakit dan penggunaan obat.

Rekonstruksi trauma

Apabila menulis memungkinkan individu mengekspresikan dirinya, apakah ekspresi dalam bentuk lain seperti menari dan gerak tubuh juga akan meningkatkan kesehatan? Eksperimen dari Krantz dan Pennebaker (1995) menemukan bahwa gabungan ekspresi dalam menari, gerak tubuh, dan menulis adalah yang memberikan efek kesehatan paling besar daripada hanya ekspresi lewat gerak dan tari. Penjelasannya, mungkin pengalaman memang dapat diekspresikan lewat berbagai cara, tetapi dapat dimaknai lebih utuh melalui bahasa.

Penjelasan lain yang dicoba diajukan adalah tindakan memindahkan emosi dan bayangan visual mengenai kejadian traumatik dalam kata-kata sekaligus mengubah cara individu mengorganisasi dan memaknai pengalamannya. Individu yang lebih banyak menggunakan kata-kata bernuansa emosi positif lebih terlihat kemajuan kondisi kesehatannya. Yang menggunakan kata-kata bernuansa emosi negatif secara moderat juga tampil lebih positif daripada mereka yang menggunakan terlalu banyak ataupun terlalu sedikit emosi negatif.

Mengapa? Dugaannya, yang terlalu banyak menggunakan kata bernuansa emosi negatif ada dalam kondisi kelelahan terlalu banyak mengeluh, tanpa menemukan penyelesaian positif. Sementara itu, yang hampir tidak menggunakan kata-kata negatif mungkin juga kurang positif kemajuan kondisi kesehatannya karena gagal mengidentifikasi dan mengakui emosi mereka.

Menarik, bahwa sejalan dengan waktu, individu menulis dengan cara berbeda mengenai pengalaman yang sama, seolah makin lama makin menemukan pemahaman yang lebih utuh dan positif mengenai kejadian. Kita manusia tampaknya memerlukan penjelasan yang lebih utuh mengenai dunia, mengenai apa yang terjadi, apalagi tentang hal-hal penting yang langsung terkait dengan diri kita.

Apabila kita tidak dapat bercerita, tidak perlu memaksa diri melakukannya. Cukuplah kita menulis bagi diri sendiri, untuk dapat memaknai kembali pengalaman menyakitkan menjadi proses yang menumbuhkan. Dan proses menulis itu sendiri, semoga menyehatkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar