Menulis untuk Menyehatkan Diri
Kristi Poerwandari ;
Penulis Kolom “PSIKOLOGI’
Kompas Minggu
|
KOMPAS, 05 Maret
2016
Ketika membaca berita
tentang seorang polisi memutilasi dua anaknya, diduga karena ia mengidap
skizofrenia, kita terbayang mengenai betapa sangat sulitnya situasi
psikologis yang dihadapi sang ibu/istri. Ada cukup banyak dari warga
masyarakat yang mungkin juga pernah mengalami kejadian sangat traumatik,
terperangkap dalam situasi serba tidak berdaya dan mungkin dihantui penyesalan
seumur hidup.
“Seandainya saya saat
itu tidak tidur, pasti anak saya masih hidup"; "Seandainya saya
lebih sabar sedikit, anak saya akan pulang dan tidak mengalami
kecelakaan"; "Harusnya saya bisa menjaga ibu saya yang sudah
sepuh"; "Ini kesalahanku karena.", dan banyak penyesalan lain.
Meski yang terjadi
sesungguhnya bukan kesalahan diri, penyesalan mungkin terus berkecamuk di
batin, tanpa dapat diolah dengan baik. Individu sulit atau tidak berani
bercerita tentang perasaannya karena takut disalahkan atau ditanggapi secara
tidak menyenangkan. Yang lain, meski sebenarnya ada dalam lingkungan terdekat
yang suportif, mungkin tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya.
Efek menulis
Saya menemukan satu
laporan penelitian sangat penting, yang ditulis oleh Pennebaker dan Seagal
(1999), bercerita mengenai beberapa penelitian tentang efek positif dari
menulis.
Kesimpulan singkatnya:
menulis pengalaman personal secara afektif-emosional itu dapat meningkatkan
kesehatan mental dan kesehatan fisik. Jadi, apabila kita bingung mengenai
bagaimana bercerita kepada orang lain tentang suatu pengalaman yang sangat
menyakitkan dan mengganggu dalam hidup, dan merasa orang mungkin tidak akan
memberikan tanggapan secara positif, kita tidak harus memaksa diri bercerita.
Tetapi, penting untuk menuliskan pengalaman itu.
Pennebaker melakukan
penelitian eksperimental sederhana. Mahasiswa diberi instruksi untuk menulis
suatu topik khusus tertentu, selama 4 hari berturut-turut, 15 menit setiap
harinya. Mereka diyakinkan bahwa tulisannya akan dirahasiakan dan bahwa
mereka tidak akan memperoleh evaluasi dan umpan balik apa pun untuk
tulisannya. Mereka juga diminta untuk terus menulis, tanpa memedulikan tata
bahasa, struktur kalimat, ataupun pengejaan. Partisipan lalu secara acak
dimasukkan dalam kelompok eksperimen atau kelompok kontrol.
Yang masuk kelompok
eksperimen memperoleh tugas untuk menuliskan pikiran dan perasaan terdalam
mengenai pengalaman paling traumatik yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Mereka boleh mengaitkannya dengan relasi dengan siapa pun, misalnya orangtua,
pacar, teman; dengan masa lalu, masa kini dan masa depan. Mereka boleh
menulis pengalaman yang sama selama 4 hari itu, atau menuliskan pengalaman
traumatik yang berbeda-beda.
Sementara itu, yang
masuk kelompok kontrol memperoleh tugas menulis topik non-emosional selama
waktu yang sama. Misalnya, mendeskripsikan ruang laboratorium atau rumahnya
sendiri.
Partisipan kelompok
eksperimen hampir semua melapor bahwa tugas menulis itu sangat bermakna bagi
mereka, dan dengan senang hati akan ikut serta lagi apabila ada eksperimen
serupa. Mahasiswa yang kebanyakan dari kelas menengah atas itu bercerita
mengenai pengalaman yang tragis seperti kekerasan dalam rumah tangga, menjadi
korban pemerkosaan, sempat mencoba bunuh diri, atau terlibat penyalahgunaan
obat.
Menulis pengalaman
traumatik mungkin membuat individu merasa tertekan beberapa jam setelah
menulis, tetapi efek jangka panjangnya positif. Peneliti mengecek kunjungan
rawat jalan dari mahasiswa ke pusat kesehatan universitas sebulan sebelum dan
setelah tugas menulis. Mengherankan, yang menuliskan pengalaman traumatik
menurun drastis kunjungan rawat jalannya. Penelitian-penelitian serupa pada
kelompok lain seperti pada korban tindak kriminal, orang yang sakit kronis,
laki-laki yang baru di-PHK, dan perempuan yang baru saja melahirkan ternyata
juga menunjukkan hasil yang sama. Pengukuran pada fungsi imun dalam darah
juga menunjukkan efek positif, sementara studi lain melaporkan berkurangnya
rasa sakit dan penggunaan obat.
Rekonstruksi trauma
Apabila menulis
memungkinkan individu mengekspresikan dirinya, apakah ekspresi dalam bentuk
lain seperti menari dan gerak tubuh juga akan meningkatkan kesehatan?
Eksperimen dari Krantz dan Pennebaker (1995) menemukan bahwa gabungan
ekspresi dalam menari, gerak tubuh, dan menulis adalah yang memberikan efek
kesehatan paling besar daripada hanya ekspresi lewat gerak dan tari.
Penjelasannya, mungkin pengalaman memang dapat diekspresikan lewat berbagai
cara, tetapi dapat dimaknai lebih utuh melalui bahasa.
Penjelasan lain yang
dicoba diajukan adalah tindakan memindahkan emosi dan bayangan visual
mengenai kejadian traumatik dalam kata-kata sekaligus mengubah cara individu
mengorganisasi dan memaknai pengalamannya. Individu yang lebih banyak
menggunakan kata-kata bernuansa emosi positif lebih terlihat kemajuan kondisi
kesehatannya. Yang menggunakan kata-kata bernuansa emosi negatif secara
moderat juga tampil lebih positif daripada mereka yang menggunakan terlalu
banyak ataupun terlalu sedikit emosi negatif.
Mengapa? Dugaannya,
yang terlalu banyak menggunakan kata bernuansa emosi negatif ada dalam
kondisi kelelahan terlalu banyak mengeluh, tanpa menemukan penyelesaian
positif. Sementara itu, yang hampir tidak menggunakan kata-kata negatif
mungkin juga kurang positif kemajuan kondisi kesehatannya karena gagal
mengidentifikasi dan mengakui emosi mereka.
Menarik, bahwa sejalan
dengan waktu, individu menulis dengan cara berbeda mengenai pengalaman yang
sama, seolah makin lama makin menemukan pemahaman yang lebih utuh dan positif
mengenai kejadian. Kita manusia tampaknya memerlukan penjelasan yang lebih
utuh mengenai dunia, mengenai apa yang terjadi, apalagi tentang hal-hal
penting yang langsung terkait dengan diri kita.
Apabila kita tidak
dapat bercerita, tidak perlu memaksa diri melakukannya. Cukuplah kita menulis
bagi diri sendiri, untuk dapat memaknai kembali pengalaman menyakitkan
menjadi proses yang menumbuhkan. Dan proses menulis itu sendiri, semoga
menyehatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar