Dimensi Agraria di Aceh
Mohamad Shohibuddin ; Kandidat
Doktor pada Universitas Amsterdam, Belanda
|
KOMPAS, 16 Maret
2016
Pada 9 Oktober 2014,
puluhan eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka di bawah pimpinan Din Minimi
melakukan perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah Provinsi Aceh. Yang
menarik, alasan yang dikemukakan kelompok ini ternyata kental dengan isu
agraria.
Mereka muak kepada
Pemerintah Provinsi Aceh yang gagal menyediakan lahan pertanian untuk eks
kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan korban konflik.
Sayangnya, kendati isu
agraria secara eksplisit disuarakan Din Minimi, isu itu langsung tenggelam
oleh operasi represif yang dilakukan aparat keamanan. Pun setelah kelompok
ini menyerahkan diri pada 29 Desember 2015, isu ini tetap absen. Perdebatan
yang mencuat melulu seputar topik amnesti. Lebih jauh, isu agraria ini
ternyata juga absen dalam diskusi mengenai sejarah siklus konflik di Aceh.
Tulisan ini, karena itu, dimaksudkan sebagai upaya awal untuk menguakkan
dimensi agraria pada dinamika konflik dan damai di Aceh.
Akar agraria pada konflik
Isu agraria jadi salah
satu pemicu konflik di Aceh tentu bukan baru pertama kali terjadi pada kasus
Din Minimi. Bukankah pemberontakan GAM itu sendiri antara lain dipicu
ketidakadilan pemerintah pusat dalam pembagian hasil kekayaan alam di Aceh?
Tidak heran jika kelahiran GAM beriringan dengan eksploitasi minyak dan gas
(migas) secara besar-besaran dari bumi Aceh pada pertengahan 1970-an.
Bahkan, dimensi
agraria di balik konflik di Aceh bisa ditelusuri hingga periode
pasca-kolonial. Di kebanyakan wilayah Indonesia lainnya, periode ini lebih
dicirikan oleh "revolusi nasional" yang digerakkan pemuda perkotaan
dan laskar rakyat. Namun, apa yang terjadi di Aceh adalah "revolusi
sosial" dalam arti sebenarnya dengan partisipasi luas dari kaum tani, di
mana aspirasi keagrariaan dan kemerdekaan berpadu satu sama lain.
Hal ini disebabkan ia
merefleksikan antagonisme dan keresahan agraria di aras lokal yang sudah
berlangsung lama. Dampaknya, selain berupa pergantian rezim politik dari
uleebalang ke Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), juga terlihat pada
perubahan drastis struktur agraria lokal. Secara masif terjadi aksi
pengambilalihan harta benda uleebalang, bahkan penculikan dan pembunuhan atas
sejumlah keluarga uleebalang.
Dampak keagrariaan
dari konflik ini menimbulkan konsekuensi hingga jauh ke depan. Meski revolusi
1946 berhasil menggulingkan kekuasaan bangsawan, ia tak melenyapkan-justru
mempertajam-antagonisme internal yang sudah lama bercokol. Sementara itu,
absennya pengungkapan sejarah, rekonsiliasi, dan restitusi properti secara
terbuka akibat gegap gempita revolusi membuat antagonisme tadi menjelma
sebagai "api dalam sekam". Hal ini akhirnya meledak dalam aksi
perlawanan Sayyid Ali Assegaf terhadap rezim PUSA pada Maret-November 1948.
Kendati aksi ini dapat
dipatahkan, dan abolisi umum diberikan oleh pemerintah pusat pada 21 Desember
1949 kepada dua pihak yang bertikai, tidak ada kebijakan spesifik untuk
mengatasi baik "akar keagrariaan" dari antagonisme sosial yang ada
maupun "dampak keagrariaan" dari revolusi sosial. Akibatnya,
dikotomi internal ini tetap membara dan segera menemukan ajang baru
konfrontasinya pada kontroversi status otonomi Aceh selama 1949-1950. Rezim
PUSA ngototmempertahankan status provinsi bagi Aceh. Para penentangnya-kini
berhimpun dalam Gerakan Badan Keinsyafan Rakyat (GBKR)-mendukung
pembubarannya yang otomatis berarti tumbangnya rezim PUSA.
Konfrontasi terakhir
ini akhirnya menjadi faktor risiko yang turut mendasari siklus konflik
berikutnya: pemberontakan Darul Islam (DI) yang diproklamasikan Tgk Daud
Beureueh pada 21 September 1953. Dengan demikian, selain dipicu ketegangan
pusat-daerah, pemberontakan DI sesungguhnya berakar pada dikotomi dalam
masyarakat Aceh sendiri, di mana aspek agraria cukup kental mewarnainya.
Isu agraria tidak
hanya membayangi siklus konflik di Aceh, juga menjadi elemen kunci dalam
penyelesaian konflik dan pemeliharaan perdamaian. Uniknya, kebijakan yang
diambil dalam rangka ini selalu sama, yaitu distribusi lahan pertanian.
Kebijakan ini pertama kali dijalankan Husen Yusuf, Komandan Divisi X/TNI,
untuk mengantisipasi program rasionalisasi tentara dari Kabinet Hatta pada
1948. Berkat alokasi lahan ini, tidak ada gejolak di Aceh seperti terjadi di
banyak tempat lain.
Kebijakan kompensasi
semacam ini kembali diterapkan untuk mengakhiri pemberontakan DI. Selain
penyelesaian politik (berupa pembentukan Provinsi Aceh pada 1957, dan
penetapannya sebagai "Daerah Istimewa Aceh" pada 1959), kebijakan
distribusi tanah juga diterapkan guna menampung pasukan DI yang turun gunung.
Sejumlah perkebunan milik pemerintah yang tersebar di Aceh, bahkan di
Sukabumi, dialokasikan untuk tujuan ini. Yang menarik, kebijakan ini juga
ditujukan kepada pihak TNI: Panglima Komando Daerah Militer Aceh Sjamaun
Gaharu mendapatkan 2.000 hektar tanah di Aceh Tengah.
Pemerintah juga
menempuh kebijakan agraria serupa untuk mengakhiri pemberontakan GAM.
Panglima militer GAM, Muzakir Manaf, ditawari Jusuf Kalla tanah perkebunan
PTPN I di Aceh, uang Rp 60 miliar, dan kompensasi lain asalkan Muzakir
menerima konsep perdamaian dari pemerintah. Penyelesaian konflik yang parsial
ini gagal karena tidak direspons oleh GAM.
Memutus siklus konflik
Akhirnya, saat
perundingan damai di Helsinki, 2005, kebijakan agraria yang komprehensif
berhasil disepakati. Bukan saja lahan pertanian disediakan untuk program
reintegrasi, kebijakan agraria yang lebih luas juga disepakati sebagai bagian
dari substansi otonomi khusus untuk Aceh. Hal ini mencakup kewenangan besar
Aceh dalam pengelolaan sumber-sumber agraria, proporsi bagi hasil migas yang
lebih menguntungkan Aceh, dan dana otonomi khusus yang melimpah hingga 2027.
Jika kebijakan agraria
sejak awal dilibatkan untuk perdamaian Aceh, mengapa siklus konflik terus
berulang? Pertama, meski aspek agraria sangat terkait dengan konflik di Aceh,
baik sebagai salah satu akar pemicunya maupun dampak yang ditimbulkannya,
tidak ada kebijakan agraria yang betul-betul didesain untuk menjawab dua aspek
dari isu agraria tersebut. Akibatnya, rantai keresahan agraria gagal
diputuskan sehingga ia terus menjadi "faktor risiko" bagi konflik
berikutnya.
Kedua, kebijakan
agraria yang diterapkan untuk pemeliharaan perdamaian ternyata lebih diwarnai
"pendekatan kompensasi" kepada pihak-pihak yang ditakutkan
menimbulkan atau melanggengkan konflik. Pendekatan kompensasi ini tidak bakal
menjawab masalah struktural keagrariaan yang mendasari konflik itu sendiri.
Ketiga, kendati Nota
Kesepahaman Helsinki menghasilkan kebijakan agraria yang komprehensif, tetapi
komplikasi politik di era pasca-konflik menciptakan banyak distorsi atas
kebijakan ini. Dalam kasus program reintegrasi, penyediaan lahan pertanian
dibatalkan sendiri oleh pimpinan GAM dan digantikan uang tunai. Pertimbangan
keamanan pihak GAM yang berusaha menyembunyikan jumlah riil kombatannya
membuat distorsi ini dapat terjadi.
Keempat, pembangunan
kebun sawit oleh Gubernur Irwandi untuk menutupi kegagalan program
reintegrasi justru menimbulkan banyak tumpang tindih dan sengketa lahan. Hal
ini terjadi karena penetapan lokasi mengabaikan dinamika perubahan agraria
selama konflik (pengungsian dan pembunuhan warga sipil, penelantaran kebun,
okupasi tanah oleh pihak lain, dan sebagainya). Pengabaian dampak agraria ini
telah membuat kebijakan agraria pasca-konflik jadi pemicu langsung terjadinya
konflik baru.
Lantas, apa pelajaran
yang bisa dipetik dari uraian di atas? Tanpa keadilan agraria, perdamaian
yang hakiki sulit diwujudkan di Aceh. Dan, tuntutan keadilan agraria ini
berlaku bukan hanya dalam konteks relasi pusat-daerah, melainkan juga-dan
terutama-di antara berbagai kelompok di Aceh sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar