Guru Spiritual
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KOMPAS, 07
Februari 2016
Hampir setiap
antropolog Indonesia pernah membaca atau setidaknya mengetahui tentang
penelitian yang kemudian dibukukan oleh Profesor Clifford Geertz yang
berjudul The Religion of Java.
Penelitian yang
dilakukan di sekitar tahun 1950-an, di sebuah kota di Jawa yang bernama
Mojokuto (banyak yang menerka bahwa kota itu sebenarnya adalah Kediri, Jawa
Timur) itu menerangkan tentang agama-agama dan kepercayaan yang hidup di
sana. Intinya, Geertz membagi masyarakat Mojokuto ke dalam tiga golongan
yaitu priyayi, santri, dan abangan. Pembagian itu berdasarkan praktik
kepercayaan masing-masing golongan (walaupun semuanya mengaku Islam).
Golongan santri adalah
yang paling taat mempraktikkan Islam, mulai dari salat lima waktu, salat
Jumat, sampai ke puasa. Gelar haji merupakan tingkat yang paling top dari
keislaman mereka dan pusat budaya mereka adalah di pesantren atau madrasah.
Mereka kebanyakan adalah pedagang. Golongan priyayi adalah golongan
bangsawan, pejabat-pejabat pemerintah, dan para terpelajar. Mereka tidak
mempraktikkan Islam secara detail, tidak salat, boro-boro baca Alquran.
Sedangkan golongan
abangan terdiri atas petani dan pekerja, yang selain tidak mempraktikkan
rukun Islam, juga melakukan banyak upacara sesuai dengan kepercayaannya
sendiri seperti puasa mutih (hanya makan nasi dan garam), merayakan weton
(hari kelahiran), dan lainnya yang saya tidak ingat lagi. Priyayi dan abangan
ini secara kepercayaan lebih dekat satu sama lain daripada dengan golongan
santri.
Priyayi dan abangan
misalnya sama-sama menyukai wayang dan melaksanakan ritual-ritual seperti
slametan, babaran (ketika anak dilahirkan), layatan (jika ada yang
meninggal), dan lainnya. Tetapi, tiga golongan itu melebur jadi satu dalam
pergaulan sehari-hari, khususnya hari Lebaran, yang semuanya all out merayakannya, termasuk priyayi
dan abangan memenuhi lapangan untuk salat id. Satu lagi, tiga golongan itu
sama-sama percaya kepada ”dunia lain” seperti memedi (yang suka nakut-nakutin),
tuyul (hantu bocah), demit (penjaga tempat keramat), lelembut (makhluk
halus), dan sebagainya.
Ketika saya masih anak-anak
di Tegal (Jawa Tengah) di sekitar tahun 1950-an juga, saya merasakan
kehidupan seperti di Mojokuto itu. Ayah saya seorang dokter sehingga mestinya
tergolong priyayi. Tetapi, teman-teman saya di sekolah rakyat, campur dari
tiga golongan, bahkan ketika saya pindah ke sekolah Katolik, teman saya
bertambah dengan anak-anak keturunanTionghoa.
Di antara teman-teman
saya itu, yang paling akrab dengan saya adalah teman sekolah sejak SD sampai
SMP yang bernama Mulyarno (panggilan akrabnya: Nono), yang berasal dari
keluarga santri. Ayahnya seorang pedagang besi tua dan ibunya guru sekolah
rakyat (sekarang SD) yang pernah menjadi guru kelas kami berdua. Dari Nono
inilah saya mulai berkenalan dengan dunia band.
Waktu itu saya
bergabung dengan band bocah yang didirikannya yang diberi nama Orkes Melayu
Bulan Buana, yang hampir setiap hari Sabtu atau malam Minggu ditanggap untuk
main di kampung-kampung untuk merayakan sunatan atau bahkan perkawinan (kecil-kecil
sudah diajari kawin). Yang ingin saya ceritakan di sini, walaupun kami
berbeda ”golongan”, tidak ada rasa berbeda di antara kami. Khususnya dalam
soal-soal ritual dan kepercayaan keagamaan.
Ketika saya sedang
main atau latihan di rumah Nono, saya biasanya diajak ikut salat berjamaah
atau makan siang, ya saya ikut. Tetapi, kalau sedang mau manggung, sejak
persiapan sampai saat manggungnya, nabrak salat asar dan magrib, ya Nono
tenang-tenang aja, bantuin kawan-kawannya walaupun artinya dia tidak salat.
Artinya salat enggak salat dianggap biasa saja, dibawa santai saja. Lain
ceritanya zaman sekarang. Begitu datang waktu salat, langsung semuanya
berkemas untuk salat.
Kadang-kadang hampIr satu
lantai kantor kosong karena semuanya sedang salat, yang biasanya dilanjutkan
dengan makan siang sehingga tidak cukup waktu satu jam. Begitu juga puasa.
Pada zaman Mojokuto, orang mau puasa atau tidak, itu urusan masing-masing.
Tetapi, sekarang puasa adalah keharusan. Apalagi doa-doa, makin banyak dan
makin bervariasi. Ada doa mau berangkat kerja, doa mau ke kamar mandi, doa
mau makan, doa sesudah makan, dan masih banyak lagi.
Sementara dulu
semuanya cukup dengan Bismillah
atau Alhamdulillah saja. Juga yang
naik haji, aauzubillahi min zalik
bertambah banyaknya, sampai pun sekarang umrah sudah dijadikan alternatif
karena sulitnya dapat giliran naik haji. Pokoknya, sekarang terasa sekali
betapa orang merasakan kebutuhan spiritual. Orang berbondong-bondong mencari
guru-guru spiritual.
Ada yang membentuk
majelis-majelis taklim atau bergabung dengan majelis taklim yang ada dan
mengundang ustaz atau ustazah lokal sampai yang kondang, ada yang rajin
menyimak tausiyah-tausyiah oleh ustaz atau ustazah nasional di TV, dan
sebagainya. Sayangnya, ustaz atau ustazah ini tidak terkontrol kualitasnya.
Apa latar belakang pendidikan dan pelatihan mereka?
Apakah bisa seorang
yang pernah belajar mengaji pada masa kecilnya, dan jadi penyanyi rock dan suka mabuk pada masa
dewasanya, beralih halauan menjadi ustaz, dengan modal hafal ayat-ayat Alquran dan suara rocknya? Nyatanya banyak yang tertarik
pada ustaz yang seperti ini. Bahkan istri ustaz yang kebetulan berwajah
cantik, mantan selebritas dan lancar bicara, tiba-tiba menjadi ustazah,
dengan honor panggilan yang cukup tinggi.
Kalau begini caranya
(tanpa ada seleksi ketat), sangat mudah untuk ideologi-ideologi radikal
(termasuk yang menghalalkan darah orang-orang yang tidak segolongan) untuk
menyusup ke Indonesia dengan berbaju guru spiritual. Guru-guru spiritual
radikal ini bisa tiba-tiba tampil di mimbar Jumat sebagai khotib, atau
menguasai pesantren-pesantren, atau menjadi guru-guru agama di mana-mana
tanpa kontrol. AAuzubillahi min zalik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar