Logika Teologis Membangun Toleransi
Asmadji AS Muchtar ; Wakil Rektor III Universitas Sains Alquran
Wonosobo, Jateng
|
JAWA
POS, 28 Oktober 2015
GUS Dur pernah
menyatakan: Tuhan tidak perlu dibela. Pernyataan tersebut sangat populer dan sulit
dibantah karena berdasar logika teologis. Apa itu?
Logika
teologis adalah cara berpikir untuk memahami Tuhan sebagai Yang Maha Esa atau
yang serbahebat dibanding semua ciptaannya. Dalam hal ini, esa tidak hanya
berarti satu, tapi juga satu-satunya atau tidak ada duanya dan tidak ada
persamaannya.
Maka, jika
suatu saat ada pihak yang membentangkan spanduk bertulisan ”Tuhan tidak adil”
atau ”Tuhan telah mati”, hal itu sulit disebut sebagai menghina Tuhan. Sebab,
jika bisa disebut demikian, bisa muncul pertanyaan: mungkinkah Tuhan begitu
naif sehingga merasa terhina oleh spanduk tersebut?
Logika
teologis perlu dipelajari semua pihak agar mengerti bahwa kemampuan manusia
dalam memuja atau menghina Tuhan sangat terbatas. Dalam hal ini, manusia
terlalu lemah untuk ”mengangkat” Tuhan dengan puja-puji atau sebaliknya
”membanting” Tuhan dengan hinaan.
Dengan kata
lain, andai semua manusia di muka bumi ini menghina Tuhan, mustahil Tuhan
menjadi hina. Maka, jika ada yang membela Tuhan, karena menganggap Tuhan
telah dihina, pembelaannya jangan sampai justru layak dianggap menghina Tuhan
karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia atau bahkan dengan
kebrutalan.
Dua Komunikasi
Sebagai
manusia beragama, selayaknya mengerti bahwa ada dua komunikasi yang didasari
logika teologis dan etika. Pertama, komunikasi vertikal atau hubungan manusia
dengan Tuhan yang harus berlangsung dengan baik. Kedua, komunikasi horizontal
atau hubungan antarmanusia atau antarmakhluk di alam semesta ini yang
selayaknya juga berlangsung dengan baik.
Data empiris
membuktikan betapa pentingnya logika teologis dan etika dalam dua hubungan
tersebut. Jika ada pihak yang melanggar, lazimnya akan menyulut protes yang
bisa berkembang menjadi kemelut dan bahkan konflik dahsyat.
Karena itu,
banyak pihak yang banyak belajar logika teologis dan etika yang sering
memberi nasihat agar anak-anak bangsa mengutamakan etika dalam dua hubungan
tersebut. Dan jika ada yang mencoba melanggar, segera dinasihati dengan etika
pula.
Masalahnya,
sering dua hubungan itu mengalami kemelut karena ada pihak yang suka
melanggar etika dan tidak mau menerima nasihat yang diberikan dengan etika.
Bahkan justru menghina pihak yang tidak layak dihina. Pada titik itu, konflik
horizontal berlangsung dahsyat karena masing-masing pihak tak lagi peduli
etika dan tidak menggunakan logika teologis.
Membangun Toleransi
Data empiris
menunjukkan, tidak jarang muncul sekelompok orang yang katanya membela Tuhan
dan agama, tapi sangat brutal terhadap sesama manusia. Dalam hal ini, hukum
positif diperlukan untuk menghentikannya agar tidak menelan banyak korban.
Jangan sampai hukum positif sebagai implementasi kehadiran negara dalam
melindungi rakyat dikalahkan kelompok-kelompok yang suka berbuat brutal.
Jika
dicermati, pangkal kebrutalan tersebut adalah tidak adanya logika teologis
untuk membangun toleransi dalam urusan yang berkaitan dengan komunikasi
horizontal. Karena itu, logika teologis dan etika perlu diajarkan sejak dini
kepada anak-anak bangsa. Harapannya, mereka bisa membangun toleransi sebelum
menjadi dewasa dan bergaul secara luas di tengah masyarakat plural atau
membentuk kelompok-kelompok yang bersifat sektarian dan primordial.
Untuk konteks
Indonesia, masih seringnya terjadi konflik di antara umat yang berbeda agama
dan keyakinan menunjukkan bahwa pelajaran agama di sekolah dan kampus selama
ini perlu diperkaya lagi dengan pelajaran tentang logika teologis dan etika.
Dalam hal ini, negara (pemerintah) harus mengajak pemuka semua agama duduk
bersama merumuskan kesepakatan sebagai dasar penyusunan buku pelajaran agama
yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat dasar hingga
perguruan tinggi.
Jika telah belajar logika
teologis dan etika, tentu semua pihak tidak mudah terjebak dalam perilaku
emosional sebagai makhluk sosial yang beragama. Pun tidak mudah keliru
memilih ungkapan untuk nama kelompok dan memilih jargon-jargon aksi yang
berpotensi menimbulkan salah paham serta permusuhan yang berujung pamer
kebrutalan sehingga menimbulkan kesan biadab dalam beragama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar