Senin, 02 November 2015

Konstruksi Sosial Pemimpin

Konstruksi Sosial Pemimpin

Ignas Kleden  ;  Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
                                                       KOMPAS, 29 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah menjadi tradisi baru dalam politik Indonesia, bahwa presiden terpilih dievaluasi dari waktu ke waktu, khususnya pada tahun pertama pemerintahannya. Hal yang sama berlaku juga untuk para menteri kabinet. Pada 100 hari pertama dievaluasi apa yang sudah tercapai, sejauh mana janji-janji kampanye direalisasikan, dan apa yang belum terwujud atau belum mendapat perhatian pemerintah. Seterusnya ada penilaian kembali pada setiap kuartal, yang didukung oleh hasil survei lembaga-lembaga penelitian.

Pada hari-hari ini perhatian publik terpusat pada apa yang sudah atau belum tercapai dalam satu tahun pemerintahan Joko Widodo bersama kabinetnya.

Kesimpulan umum dari berbagai evaluasi menyatakan bahwa dalam bidang politik konsolidasi dan stabilitas politik berjalan aman, sedangkan ekonomi memperlihatkan banyak kesulitan akibat menurunnya angka pertumbuhan, meningkatnya harga kebutuhan pokok, dan naiknya angka pengangguran sebagai konsekuensinya. Data yang dimuat Kompas, misalnya, memperlihatkan bahwa dalam kuartal pertama dan kedua 2015, laju pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen dan 4,67 persen. Angka-angka itu berada jauh di bawah laju pertumbuhan yang ditetapkan dalam APBN, yaitu 5,7 persen. Sementara itu, pengangguran terbuka telah menimpa 7,45 juta orang pada Februari 2015 (Kompas, 20/10).

Politik dan ekonomi selalu berhubungan erat. Asumsi tentang pentingnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagai prasyarat bagi stabilitas politik, masih dianut oleh para eksekutif tinggi, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya. Anggapan ini berbeda dari anggapan yang dianut dalam pemerintahan Presiden Soeharto, karena pada masa itu politik yang stabil dianggap jaminan bagi pertumbuhan ekonomi yang tak terganggu. Jadi, bukan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang menjadi jaminan bagi stabilitas politik, melainkan sebaliknya, stabilitas politiklah yang menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi, sedangkan stabilitas politik dianggap dibentuk oleh syarat-syarat dalam bidang politik sendiri, seperti penyederhanaan partai politik, pembatasan partisipasi politik, dihapuskannya oposisi politik, penerapan asas kebebasan yang bertanggung jawab bagi pers serta penciptaan massa mengambang pada tingkat di bawah kecamatan.

Kinerja tahun pertama

Dalam masa pemerintahan Jokowi, pengaruh politik terhadap ekonomi, khususnya ekonomi uang menjadi lebih langsung, karena turun-naiknya nilai saham dan ada-tidaknya investasi ditentukan secara langsung oleh persepsi tentang keadaan politik, yaitu oleh tanggapan pasar. Kalau pasar merasa bahwa kepastian hukum dalam politik amat goyah, atau pemerintah sendiri tidak berani mengambil keputusan dalam keadaan kritis, atau tidak menunjukkan komitmen yang bisa dipegang terhadap apa yang diputuskannya, maka para investor akan ragu dan mungkin menarik diri, dan enggan melakukan investasi, sementara nilai saham turun dengan cepat. Sebaliknya, keyakinan bahwa Pemerintah Indonesia kuat dan dapat menguasai keadaan kritis, akan menaikkan segera nilai saham, dan memberi dorongan pada investor untuk mulai melakukan investasi. Dalam ekonomi uang, perilaku ekonomi ditentukan persepsi.

Namun demikian, turunnya angka pertumbuhan dalam kuartal akhir pemerintahan Jokowi, tidak semata-mata disebabkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah, tetapi juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi global, khususnya setelah Tiongkok melakukan devaluasi mata uangnya, yang memukul ekonomi banyak negara. Rupiah segera melemah terhadap dollar AS dan mencapai titik terendah pada 29 September ketika 1 dollar AS bernilai sama dengan Rp 14.726 meskipun pada saat ini rupiah semakin menguat menjadi kurang-lebih Rp 13.000 per dollar AS.

Dalam pada itu muncul perdebatan semantik antara Presiden Jokowi dan para pengritiknya, apakah ini suatu krisis dalam ekonomi Indonesia atau suatu pelambatan saja. Seperti kita tahu, hingga saat ini pun Presiden tetap menolak bahwa ada krisis. Rupiah selamat dari ancaman yang lebih besar, seperti pada 1998, ketika nilai rupiah jatuh ke jurang terdalam menjadi Rp 15.250 per dollar AS pada 17 Juni 1998 (Kompas, 21/10/1998).

Kesulitan ekonomi yang dihadapi menjadi sasaran kritik utama atas prestasi pemerintahan Jokowi. Kritik mungkin masih berdatangan, tetapi yang lebih penting adalah sikap pemerintah menghadapi berbagai kritik itu. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun TV di Jakarta pada 19 Oktober, Presiden Jokowi berkata: "Memang tugas rakyat menilai kinerja kabinet, kinerja pemerintah. Tugas kami memperbaiki". Presiden menyadari bahwa beberapa kebijakannya seperti mencabut subsidi BBM bukanlah kebijakan yang populer dan menyenangkan, meski pun harus dilakukan. Apalagi tujuan terjauh yang hendak dicapai adalah mengubah fundamental ekonomi Indonesia, dari ekonomi yang mengandalkan konsumsi ke ekonomi berbasis produksi dan investasi.

Selain masalah ekonomi-politik, ada juga berbagai masalah sosial-politik yang belum seluruhnya diselesaikan secara memuaskan. Masalah sosial ini pada intinya bersinggungan dengan hubungan demokratis dalam kehidupan sehari-hari. Selama Orde Baru masalah sosial lebih berat ke sosial-politik dengan jalur vertikal, antara masyarakat dan negara, yaitu antara rakyat dan pemerintah. Pembatasan partisipasi politik selama Orde Baru, menyebabkan rakyat tidak dapat mengembangkan dirinya, karena kebebasan mereka banyak dibatasi, sementara berbagai ekspresi politik yang tidak sejalan dengan keinginan penguasa dihadapi secara represif. Dalam pemerintahan setelah Reformasi 1998, dan khususnya dalam pemerintahan Presiden Jokowi, masalah sosial-politik itu berubah sifat menjadi masalah sosial-budaya dengan jalur horizontal, yaitu hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat, baik kelompok etnis maupun kelompok agama.

Hubungan antar-etnik kadang kala meruncing di daerah, bersamaan dengan penerapan pilkada secara langsung, meski pun diberlakukannya otonomi daerah sejak 2001 yang dilaksanakan tidak selalu secara bijaksana, cenderung meningkatkan provinsialisme. Ryaas Rasyid, yang ketika menjadi menteri kabinet menggagas dan memberlakukan otonomi daerah, mengatakan dalam sebuah diskusi pada 16 Oktober lalu, bahwa pemilihan presiden hampir tidak mempunyai implikasi dalam hubungan antarkelompok.

Presiden terpilih segera dilantik, dan calon yang kalah, meski pun melakukan protes, akan bekerja seperti biasa tanpa beban rasa malu yang berlebihan. Tetapi, seorang calon bupati di daerah yang kalah dalam pilkada, akan kehilangan muka kalau berhadapan dengan para pendukung atau lawan politiknya. Masalah politikpilkada mudah sekali menjelma menjadi ketegangan dalam hubungan keluarga, hubungan kekerabatan, dan hubungan antarkelompok karena orang-orang saling mengenal secara pribadi, dan belum terbiasa melihat masalah politik sebagai sesuatu yang terpisah dari hubungan pribadi. Kekalahan politik masih dipandang aib pribadi atau kelompok.

Selain itu hubungan antarkelompok agama juga mengandung sensitivitas yang dapat menimbulkan konflik dan kekerasan. Selain faktor-faktor luar yang menyulut konflik, ada sesuatu dalam watak agama-agama itu sendiri yang potensial menimbulkan ketegangan, meski pun tiap agama melarang permusuhan dan kekerasan. Di satu pihak agama dapat dihayati sebagai jalan bagi tiap orang untuk mencapai kesempurnaan hidup, sementara di pihak lain agama juga berfungsi sebagai identitas suatu kelompok sosial. Sebagai jalan kepada kesempurnaan yang dapat dicapai oleh tiap orang dengan metode-metode tertentu, kegiatan seseorang dalam agamanya dapat berpuncak pada kontemplasi dan kehidupan mistik.

Agama benar-benar menjadi urusan pribadi. Sebaliknya, sebagai atribut identitas suatu kelompok, agama terlibat dalam pergolakan sosial, berupa persaingan suatu kelompok dengan kelompok lain. Apalagi pada masa sekarang semakin menguat identity politics, yang mengandung dua tema utama, yaitu perjuangan politik untuk mendapat pengakuan terhadap identitas suatu kelompok, serta penonjolan identitas sebagai atribut representasi politik. Kalau agama menjadi atribut identitas, dan identitas menjadi atribut representasi politik, agama dapat mengalami politisasi dari waktu ke waktu.

Konflik vertikal antara masyarakat dan negara pada masa sekarang berubah bentuk menjadi konflik antara ranah publik dan ranah privat dalam administrasi pemerintahan. Korupsi yang masih merajalela adalah manifestasi kekacauan hubungan privat dan publik dalam keuangan negara, karena dana-dana publik yang dikuasai negara digunakan secara ilegal sebagai dana privat oleh pejabat-pejabat negara. Demikian pun keputusan-keputusan yang bersifat publik (yang menyangkut proyek-proyek yang dibiayai pemerintah) diusahakan dimenangkan secara privat melalui uang-uang suap yang diberikan oleh kalangan privat yang yang bermodal besar.

Sosok kepemimpinan Jokowi

Kiranya jelas dari uraian di atas bahwa penilaian terhadap prestasi seorang pemimpin seyogianya diimbangi dengan penilaian terhadap perilaku masyarakat yang dipimpinnya. Tidak ada kebebasan pribadi dalam masyarakat yang tidak bebas, dan tidak ada keadilan bagi seseorang dalam masyarakat yang tidak adil, begitu dalil filosof Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt. Perjuangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membasmi korupsi adalah usaha yang harus didukung sekuat tenaga oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menciptakan Indonesia sebagai negara dan masyarakat yang relatif adil, agar terbuka kemungkinan bagi tiap warga negara untuk mendapat keadilan di dalamnya. Pihak yang hendak memperlemah KPK dapat dianggap sebagai injustice collaborators, yang bertujuan melestarikan ketidakadilan dalam masyarakat, dan atas cara itu membuat keadilan untuk tiap warga negara menjadi mustahil.

Pemerintahan Jokowi selama satu tahun belum memuaskan. Tetapi, pertanyaan yang lebih penting adalah apakah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, kita dapat mencatat usahanya untuk menjadi pemimpin yang semakin hari semakin berkembang, semakin memahami tugasnya, dan berusaha melaksanakannya? Pertanyaan ini menjadi konkret, kalau kita juga bertanya apakah para pimpinan dan anggota DPR dalam setahun ini semakin berkembang dalam tugas mereka, dan sudah melampaui tahapan sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing dan bukan dengan urusan rakyat yang mereka wakili?

Nawacita memang menjadi rujukan kritik dan penilaian. Tetapi, Nawacita adalah kerangka kerja atau framework untuk jangka panjang dan bukan untuk satu tahun kerja. Bahkan dalam lima tahun pemerintahan Jokowi pun beberapa agenda Nawacita sangat mungkin belum dapat direalisasikan seluruhnya. Lebih penting untuk dipertanyakan apakah sudah diambil langkah-langkah untuk meletakkan landasan bagi realisasi agenda Nawacita setahap demi setahap. Kemandirian ekonomi nasional, memang belum terwujud, tetapi sudah terlihat kesadaran dan tekad untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik. Komoditas yang bisa diproduksi di dalam negeri, tidak perlu diimpor. Kebiasaan mengimpor beras, kedelai, garam, dan gula dibatasi, dan didorong inisiatif untuk memproduksinya di dalam negeri. Presiden merujuk Badan Pusat Statistik bahwa produksi beras dalam negeri meningkat 5,5 juta ton, tetapi susah diketahui di mana stoknya.

Kita teringat dalil Amartya Sen, pemenang Nobel untuk Ilmu Ekonomi 1998, bahwa kelaparan tidak disebabkan oleh tidak adanya makanan, tetapi karena makanan yang ada itu tidak bisa diakses oleh mereka yang membutuhkan. Kelaparan diatasi dengan meningkatkan kemampuan mendatangkan makanan melalui cara-cara yang dibenarkan hukum. Tugas pemerintah adalah meningkatkan the ability to command food through legal means available in the society.

Satu hal sulit diragukan, yaitu perhatian Jokowi ke daerah-daerah, juga daerah di pinggiran. Mungkin baru sekali ini seorang presiden Indonesia mengunjungi 220 daerah dalam waktu satu tahun, atau rata-rata empat kali seminggu. Pembangunan jalan kereta api sudah direncanakan tahun depan, sedangkan bendungan sudah dibangun pula di beberapa daerah. Menggerakkan ekonomi dari pinggiran masih makan waktu, tetapi perhatian ke daerah pinggiran sudah nyata. Pada titik itu, kesulitan masyarakat yang ditanggapi dengan tindakan dan pengertian, akan membentuk sosok pemimpinnya menurut dalil sosiologi bahwa pemimpin adalah konstruksi sosial masyarakat yang dipimpinnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar