Sabtu, 07 November 2015

Jika Ribuan Artefak Itu Kembali

Jika Ribuan Artefak Itu Kembali

Fadly Rahman  ;  Sejarawan; Alumnus Pascasarjana Sejarah UGM
                                                     KOMPAS, 07 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nusantara Museum di Delft, Belanda, berencana akan mengembalikan 14.000 artefak dari berbagai daerah di Indonesia ke Pemerintah Indonesia. Entah, apakah ini harus disikapi cukup dengan suka cita atau justru malah memunculkan dilema tersendiri.

Sebagaimana dilansir sejumlah media massa, alasan pengembalian ribuan artefak itu dikarenakan pihak museum menghadapi kesulitan dalam perawatan. Kesulitan ini terkait dengan masalah finansial yang dihadapi pihak museum beberapa tahun terakhir. Nusantara Museum sendiri terpaksa ditutup pada tahun 2013 terkait faktor kunjungan pengunjung yang kian sepi.

Pengurangan anggaran untuk berbagai bidang oleh pihak Kementerian Pendidikan Belanda diduga menjadi biang kemunduran lembaga-lembaga museum, perpustakaan, dan riset di Belanda. Penyebabnya tidak bisa dilepaskan dari krisis moneter yang menerpa Uni Eropa beberapa tahun silam.

”Angin segar” bagi siapa?

Pada April 2014, Nusantara Museum akhirnya mengumumkan akan mendistribusikan koleksi-koleksinya ke Prinsenhof Museum, Rijksmuseum Volkenkunde, dan museum-museum lain, termasuk ke Indonesia.

Itikad pengembalian 14.000 artefak itu tentu angin segar bagi Indonesia. Artinya, ini kelak akan menambah koleksi museum di berbagai daerah di Indonesia, mengingat artefak-artefak itu ada yang berasal dari Pulau Jawa, Bali, Nias, dan Nusa Tenggara.

Secara ideal, hal ini jelas bakal memperkaya khazanah pengetahuan sejarah dan budaya bangsa bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, selama ini banyak artefak (dan juga naskah kuno) dari Indonesia yang disimpan sebagai koleksi di berbagai museum di mancanegara. Maka, tidak heran, untuk keperluan riset sejarah Indonesia sendiri, tidak sedikit peneliti Indonesia yang mau tidak mau mesti menelusuri sumber primernya ke Belanda atau ke Inggris.

Selaku yang pernah berkuasa di Indonesia, wajar jika Belanda (selain juga Inggris) memboyong—bahkan menjarah—benda- benda sejarah dan budaya dari tanah jajahannya. Sebagian besar di antaranya kini tersimpan dan terawat baik di museum-museum di Eropa; tetapi tidak sedikit yang menjadi koleksi pribadi para kolektor.

Sepintas rencana pengembalian 14.000 artefak itu menjadi semacam ”angin segar” bagi Indonesia. Akan tetapi, jika menyimak kembali kasus-kasus tidak sedap seputar nasib benda-benda bersejarah di Indonesia, maka rencana itu kiranya perlu disikapi secara saksama dan antisipatif.

Kasus tidak sedap itu dapat dibuktikan dari sindikat penjualan harta karun peninggalan masa Dinasti Ming dari abad ke-10 Masehi yang ditemukan di perairan Cirebon pada 2010 silam. Koleksi museum pun tak luput raib karena aksi pencurian. Tengok saja kasus pencurian koleksi lima arca di Museum Radya Pustaka Surakarta (tahun 2007); dan juga pencurian koleksi empat artefak emas peninggalan masa Mataram Kuno (abad ke-10-11 Masehi) milik Museum Nasional Jakarta (tahun 2013).

Dugaan adanya skandal sindikat jual-beli koleksi museum yang beredar di pasar-pasar gelap benda kuno di dalam dan luar negeri hingga akhirnya jatuh ke tangan-tangan kolektor, tentu perlu diantisipasi secara lebih serius oleh pemerintah. Artinya, 14.000 artefak yang akan dikembalikan oleh pihak Belanda ke Indonesia itu jangan sampai malah justru memberi ”angin segar” bagi para sindikat jual-beli benda-benda kuno.

Lain Belanda, lain Inggris

Jika menilik konteks pengembalian 14.000 artefak itu, Belanda jelas lebih ”bermurah hati” daripada Inggris. Dalam kasus permohonan pengembalian naskah-naskah kuno Keraton Yogyakarta yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dan juga diupayakan langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X, pihak Inggris justru menunjukkan kesan alot. Mereka lebih memilih enggan untuk menyerahkan koleksi-koleksi naskah Keraton Yogyakarta ”hasil jarahan” Raffles, Crawfurd, dan Mackenzie pada 1812 yang di antaranya kini tersimpan baik di British Museum dan British Library.

Alasan mereka, Inggris khawatir pihak keraton tidak bisa mengurusnya. Melalui British Council, pihak keraton akhirnya hanya menerima naskah-naskah kuno itu dalam format mikrofilm dan dalam bentuk fotokopi untuk disimpan sebagai koleksi perpustakaan keraton.

Dalam Konvensi UNESCO Tahun 1970 memang ditetapkan aturan bahwa setiap artefak atau naskah yang didapatkan sebelum 1970, maka kebijakan pengembaliannya dikembalikan ke pihak pemilik. Belanda sebagai pihak pemilik, tentu memiliki hak untuk mengembalikan kepada Indonesia sebagai negara asal 14.000 artefak itu.

Namun, kebijakan Pemerintah Belanda berbeda dengan Pemerintah Inggris. Tidak tersirat adanya syarat atau perjanjian ketat dari pihak Belanda terkait apa yang harus dilakukan Indonesia jika ribuan artefak itu kembali.

Tentu saja ini tantangan berat dan besar bagi Pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga museum di Indonesia agar lebih ketat mengantisipasi praktik pencurian dan jual-beli ilegal benda-benda sejarah dan budaya yang terjadi selama ini. Jika langkah antisipatif tidak dilakukan, jangan sampai apa yang dikhawatirkan Inggris itu terbukti: kita tidak bisa mengurusnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar