Skandal Seorang Presiden
Trias Kuncahyono ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
07 Agustus 2015
Hari Minggu, 9 Agustus 2015, genap
41 tahun Richard Milhous Nixon mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden ke-37 Amerika Serikat. Pidato pengunduran dirinya disampaikan pada
Kamis malam, 8 Agustus 1974. Nixon menjadi presiden pertama dalam sejarah AS
yang mengundurkan diri setelah menjabat selama 2.026 hari.
Pengunduran diri Nixon itu menjadi
puncak dari perdebatan sengit dan keras selama dua tahun mengenai skandal
Watergate. Skandal Watergate—mengacu pada nama gedung kantor Partai Demokrat,
Washington—adalah skandal pembobolan di gedung Watergate untuk memasang alat
penyadap dan mencuri dokumen-dokumen penting yang ada. Pembobolan itu terjadi
saat berlangsung pemilu presiden, yang salah satu kandidatnya adalah Nixon,
yang juga petahana.
Pada akhirnya, skandal inilah yang
memaksa Nixon—presiden yang membuka kembali hubungan diplomatik antara AS dan
Tiongkok dengan mengunjungi Beijing pada 1972—menunduk dan takluk pada
tekanan publik dan para pemimpin partai untuk mundur.
Adalah dua wartawan The Washington
Post—Bob Woodward dan Carl Bernstein—yang menginvestigasi kasus pembobolan
Watergate dan kemudian mengungkap keterkaitan kasus tersebut dengan Gedung
Putih. Jaksa Jaworski dan Komite Watergate Senat terus menuntut Gedung Putih
agar menyerahkan rekaman dan transkrip sadapan. Ketika dukungan publik kepada
Nixon semakin berkurang, Komite Hukum DPR mulai mempertimbangkan untuk
menjatuhkan sanksi paling tinggi bagi presiden, yakni impeachment,
pemakzulan.
Dengan demikian, hanya ada dua
pilihan yang disodorkan kepada Nixon: menghadapai pemakzulan atau
mengundurkan diri secara sukarela. Karena berbagai tekanan, atas desakan
Mahkamah Agung akhirnya Nixon menyerahkan rekaman dan menyiarkan 1.200
halaman transkrip pembicaraan antara dia dan para pembantunya. Rekaman itu
antara lain termasuk segmen Presiden terdengar menginstruksikan Kepala Staf
Gedung Putih Haldeman untuk meminta Biro Investigasi Federal AS (FBI)
menghentikan investigasi Watergate. Ia mengakui hal itu.
Dari sini disimpulkan Nixon ambil
bagian dalam tindakan kriminal, tindakan tidak bermoral. Sebuah tindakan yang
tentu sangat tidak pantas dilakukan seorang pemimpin. Secara langsung atau
tidak langsung, Nixon menghalalkan segala cara untuk mempertahankan
kekuasaannya agar terpilih lagi.
Dalam konteks ini, politik
benar-benar diartikan sebagai usaha mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Untuk mempertahankan atau memperebutkan kekuasaan itu, orang harus bekerja
keras, pintar, bahkan cenderung licik. Lawan harus dipukul tanpa ampun,
sampai tak berdaya, dan bahkan sahabat yang dipandang terlalu kuat pun harus
disingkirkan. Dalam hal ini, idealisme dan cita-cita politik adalah omong
kosong. Yang ada hanyalah bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Skandal Watergate telah mengubah
budaya politik di AS—menjatuhkan presiden dari kursi kekuasaan—dan membuat
media massa lebih berani dengan mengembangkan metode peliputan investigasi.
Para politisi setelah skandal ini memahami bahwa media dapat menjatuhkan
pemerintah atau, dengan kata lain, lewat skandal Watergate, istana
kepresidenan, seluruh staf, dan para politisi memahami kekuatan media. Mereka
juga mendapat penegasan bahwa kekuasaan semata tidak dapat menyelamatkan
presiden! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar