Fiskal yang Tak Afirmatif
Rusnadi Padjung ;
Staf Ahli Bidang Pembangunan dan
Kemasyarakatan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi
|
KOMPAS,
07 Agustus 2015
Tekad politik pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan kesenjangan pembangunan antarwilayah sangat
kental tecermin dari komponen Nawacita yang ketiga, "Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan".
Pinggiran atau pinggir adalah
lawan dari pusat. Tampaknya, istilah pinggiran dipakai untuk mengontraskan
dengan pembangunan yang selama ini berat di pusat. Kontras pusat-pinggiran
dapat bermakna lebih jauh dan sesungguhnya sama sebangun dengan kesenjangan
Jawa-luar Jawa, kutub Indonesia barat-Indonesia timur, disparitas daerah
maju-daerah tertinggal, serta ketimpangan wilayah tengah-wilayah perbatasan.
Jokowi-JK tampaknya memahami
sangat baik dan menyadari sangat dalam semakin tingginya kesenjangan
antarwilayah itu sehingga membangun Indonesia dari pinggiran menjadi salah
satu dari sembilan agenda strategis prioritasnya.
Agenda prioritas itu telah
diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 menjadi sejumlah program, strategi dan sasaran yang berhubungan
dengan pembangunan perbatasan, daerah tertinggal, desa dan kawasan pedesaan,
serta kawasan timur Indonesia. Khusus untuk pembangunan daerah tertinggal
(ada 122 kabupaten), sasarannya adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi menjadi
7,24 persen, tingkat kemiskinan turun ke 14 persen, indeks pembangunan
manusia (IPM) naik ke 69,59, dan 80 kabupaten tertinggal terentaskan pada
2019.
Sasaran tersebut mudah saja
dicapai jika keberpihakan pada daerah tertinggal sungguh-sungguh diwujudkan,
termasuk melalui kebijakan fiskal yang afirmatif. Sejumlah program besar
berskala nasional untuk kawasan perbatasan dan Indonesia bagian timur dapat
berkomplentasi dengan afirmasi fiskal ke daerah tertinggal, mengingat
sebagian besar wilayah perbatasan merupakan daerah tertinggal, dan daerah
tertinggal terkonsentrasi di Indonesia bagian timur.
Dalam RPJMN 2015-2019, program
berskala nasional tersebut di antaranya meliputi pembangunan 10 pusat
kegiatan strategis nasional (PKSN) di perbatasan, pengembangan 15 kawasan
ekonomi khusus (KEK), 13 kawasan industri baru, dan 4 KPBPB di Indonesia
timur, percepatan pembangunan konektivitas melalui pembangunan 2.650
kilometer jalan arteri, pengembangan 24 pelabuhan untuk mendukung tol laut,
15 bandara baru, dan pengembangan sembilan bandara kargo udara.
Meski demikian, program berskala
nasional tersebut tidak akan memicu pembangunan daerah pinggiran dan daerah
tertinggal jika tidak ada keberpihakan fiskal yang memperkuat keuangan daerah
tertinggal. Selama tidak ada afirmasi fiskal, program nasional itu tidak akan
efektif menyelesaikan masalah pinggiran dan sasaran pembangunan daerah
tertinggal hanya akan menjadi angan-angan.
Setumpuk masalah lokal kabupaten
tertinggal tak dapat diselesaikan melalui kapasitas fiskal daerah tertinggal
yang demikian kecil. Berharap masalah lokal pinggiran diselesaikan oleh pusat
adalah sia-sia karena sejumlah aturan membatasi kementerian teknis terlibat
langsung menyelesaikan masalah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat hanya boleh
membangun jalan nasional, sedangkan jalan desa yang menghubungkan sentra
produksi dengan sentra pengolahan dan pemasaran merupakan kewenangan daerah.
Kebijakan
desentralisasi fiskal
Kebijakan pemisahan kewenangan antara
pusat dan daerah atas sejumlah urusan itu diikuti dengan kebijakan pembagian
dana ke daerah yang bersumber dari APBN atau "transfer ke daerah".
Dalam 15 tahun terakhir, transfer ke daerah meningkat secara signifikan dari
hanya Rp 81 triliun (24 persen dari total APBN Rp 340 triliun) tahun 2001
menjadi Rp 664 triliun (33 persen dari total APBN Perubahan Rp 1,984 triliun)
tahun 2015. Namun, dana transfer ke daerah ini juga yang justru telah
berkontribusi sebagian pada semakin melebarnya kesenjangan antardaerah.
Akibat cara penghitungan penetapan
dana alokasi umum (DAU) yang bias jumlah penduduk, kabupaten padat penduduk
yang notabene ada di Jawa mendapat DAU yang lebih besar dibandingkan
kabupaten di luar Jawa. Dana alokasi khusus (DAK) selanjutnya diperkenalkan
sebagai instrumen fiskal lain untuk perimbangan keuangan daerah.
DAK adalah dana yang bersumber
dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional. Dari definisi ini, DAK mestinya tidak dialokasikan ke
semua daerah, tetapi hanya ke daerah tertentu.
Daerah tertentu, menurut PMK Nomor
216 Tahun 2010, adalah daerah yang memenuhi karakteristik khusus, yaitu
seluruh kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat, daerah tertinggal,
daerah pesisir dan pulau kecil, daerah perbatasan, daerah rawan pangan,
daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. Jadi, daerah tertentu
hakikatnya adalah daerah pinggiran. Dalam kenyataannya, DAK diberikan ke
hampir semua kabupaten dan tahun ini diberikan kepada 496 kabupaten/kota.
Jadi, semua kabupaten menjadi tertentu dan karenanya sesungguhnya tidak ada
yang khusus. Katanya, "if every one special, no one special"; kalau
semuanya khusus sesungguhnya tidak ada yang khusus.
DAK tak hanya salah sasaran karena
diberikan kepada daerah yang tak berhak, tetapi juga bahkan diberikan lebih
banyak kepada daerah maju. Sebagai contoh, Kabupaten Bogor yang masuk dalam
kategori daerah tidak tertinggal, pada 2012 mendapatkan DAK sebesar Rp 143
miliar. Padahal, Kabupaten Bogor sudah mendapat DAU Rp 1,1 triliun dan
PAD-nya cukup tinggi, yaitu Rp 370 miliar, sementara Kabupaten Sabu Raijua di
NTT hanya memperoleh DAK Rp 30 miliar meskipun beban ketertinggalan dan kebutuhan
pembangunannya besar serta DAU dan PAD-nya masing-masing hanya Rp 64 miliar
dan Rp 1,1 miliar.
DAK ke daerah tertinggal mulai
agak membaik pada 2013 dan 2014, yaitu ketika daerah tertinggal dan daerah
maju memperoleh DAK kurang lebih sama jumlahnya yaitu masing-masing sekitar
Rp 15 triliun sehingga daerah tertinggal menerima rata-rata Rp 81
miliar/kabupaten (2013) dan Rp 86 miliar/kabupaten (2014). Namun, pada 2015,
DAK daerah maju kembali lebih tinggi dari daerah tertinggal, justru ketika
pemerintah bertekad membangun pinggiran.
Peningkatan DAK ke daerah maju
terjadi karena ada DAK tambahan pendukung program prioritas kabinet kerja
(P3K2) dan DAK tambahan usulan daerah pada APBN Perubahan 2015 sebesar Rp 23
triliun untuk mengakomodasi program/kegiatan kedaulatan pangan, revitalisasi
pasar tradisional, konektivitas jalan di provinsi prioritas wilayah timur
Indonesia, dan peningkatan kualitas layanan kesehatan. Pemilihan
infrastruktur jalan sebagai menu DAK konektivitas sendiri telah mengeliminasi
atau memperkecil jatah banyak kabupaten kepulauan di Indonesia timur.
Patut dicatat, dengan DAK tambahan
tahun 2015, ada 204 kabupaten menerima DAK tambahan infrastruktur jalan
dengan total Rp 10,8 triliun yang hampir separuhnya merupakan kabupaten maju
di Sumatera dan Jawa. Sebanyak Rp 7 triliun DAK tambahan irigasi dan
pertanian serta Rp 2,7 triliun DAK tambahan kesehatan terkonsentrasi di
kabupaten maju. Kabupaten Bogor, yang jadi contoh di atas, mendapat tambahan
DAK Rp 104 miliar, sementara Kabupaten Sabu Raijua hanya Rp 10 miliar.
Wujudkan
desentralisasi asimetris
Dalam visi-misi Jokowi-JK,
Nawacita ketiga di atas dielaborasi di antaranya sebagai berikut: (i)
meletakkan dasar-dasar bagi dimulainya desentralisasi asimetris, (ii)
membantu daerah-daerah yang kapasitas berpemerintahannya belum cukup mamadai
dalam memberikan pelayanan publik, (iii) memperlakukan rezim desentralisasi
sebagai ujung tombak pengelolaan pemerintahan negara, (iv) pengaturan kembali
sistem distribusi keuangan nasional sehingga proses pembangunan tidak
semata-mata mengikuti logika struktur pemerintahan, tetapi sesuai kondisi dan
kebutuhan daerah yang asimetris. RPJMN 2015-2019 dan APBN-P 2015 tampaknya
belum mencerminkan secara menyeluruh ikhtiar tersebut.
Sejumlah langkah dan program
konkret diperlukan untuk mewujudkan desentralisasi asimetris dan pengaturan
distribusi keuangan nasional. Pertama, mereformulasi cara penetapan besaran
DAU. Kedua, menempatkan DAK kembali ke tujuan awalnya, yaitu membantu
kabupaten tertentu yang kemampuan fiskalnya rendah untuk membiayai urusan
yang menjadi kewenangannya tetapi menjadi prioritas nasional, dengan juga
mereformulasi cara penetapan daerah tertentu dimaksud.
Ketiga, memperluas dan mempertajam
instrumen lain perimbangan keuangan, yaitu dana otonomi khusus (otsus) dan
dana penyesuaian. Keempat, memberikan kewenangan kepada kementerian yang
mengurus daerah pinggiran, dalam hal ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi, mengintervensi langsung kebutuhan pembangunan daerah
pinggiran, tentu dengan tetap memerhatikan prinsip otonomi daerah dan dengan
kapasitas dan alokasi pendanaan yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar