Potret
Islam Nusantara
Khaerudin ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
31 Juli 2015
Sejak Nahdlatul Ulama menggagas Islam Nusantara sebagai
tema besar dalam muktamar ke-33, mayoritas Muslim di Indonesia seperti
dibangkitkan dari kesadaran terpendam bahwa praksis Islam mereka selama ini
sebenarnya contoh baik dari agama rahmat semesta alam ini. Namun, praksis itu
tenggelam dalam ingar-bingar wajah Islam radikal, tak ramah perbedaan, dan
cenderung mengakomodasi kekerasan.
Praksis radikal itu justru lebih menonjol meski dilakukan
oleh kelompok yang jauh lebih sedikit jumlahnya, tetapi lebih ekspresif
setelah keran demokrasi terbuka sejak era reformasi. Ekspresi seperti ini
memang terbentuk dari pertemuan dengan sentimen Islam di Timur Tengah yang
jauh dari suasana damai.
Konflik Palestina dengan Israel yang belum selesai hingga
sekarang, meski pada dasarnya konflik di antara dua entitas negara bangsa,
tak jarang di wilayah lain dilihat sebagai konflik agama, termasuk di
Indonesia. Invasi Amerika Serikat ke sejumlah negara Timur Tengah, seperti
Irak dan Afganistan, pun tak lepas dari sentimen sama.
Belum lagi konflik dalam negeri yang terjadi pada
negara-negara Timur Tengah, seperti Suriah dan Yaman, ikut mengobarkan
sentimen konflik keagamaan yang kental di antara dua kelompok besar dalam
Islam, Sunni dan Syiah.
Sebaliknya situasi Indonesia, negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia, sangat jauh dari gambaran ketegangan geopolitik
Timur Tengah. Islam di Indonesia yang berinteraksi ratusan tahun dengan kebudayaan
lokal dan keberagaman masyarakatnya, termasuk di dalamnya fakta kemajemukan
kultural, berhasil membuat agama ini jauh dari gambaran kekerasan yang
terjadi setiap hari di beberapa negara Timur Tengah.
Dekan Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
(UINSA) Surabaya, yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama, Ghazali Said
menuturkan pengalaman mahasiswanya yang berasal dari Libya tentang bagaimana
model keislaman di Indonesia bisa menjadi masa depan bagi dunia Islam. "Masa depan Islam itu berada di
Indonesia, bukan Timur Tengah. Itu pandangan mahasiswa saya asal Libya,"
katanya.
Ghazali menuturkan, radikalisme dalam Islam yang masih
tetap ada sekarang ini akarnya dari berakhirnya kekhalifahan Turki (Ottoman).
Ketiadaan otoritas politik tunggal yang mewadahi umat Islam sedunia ini
akhirnya memunculkan banyak kelompok dalam Islam. "Saya melihat
radikalisme itu akarnya setelah tumbangnya kekhalifahan Turki. Ini kemudian
memunculkan organisasi yang cenderung ke nation state, seperti Ikhwanul
Muslimin. Itu dari faksi Sunni. Kemudian yang menjadi negara dari faksi Sunni
juga, kalau orang NU menyebutnya Wahabi, meski mereka klaimnya tetap Sunni,
yakni yang didirikan Raja Abdul Aziz tahun 1932 (Arab Saudi). Di Mesir ada
Ikhwanul Muslimin, di Arab Saudi ada Wahabi," kata Ghazali.
Menurut Ghazali, Islam pun makin mengkristal dalam dua
faksi besar, Sunni dan Syiah. Sementara berdirinya negara bangsa di Timur
Tengah, seperti Arab Saudi dan Iran, juga merepresentasikan dua faksi besar
Islam tersebut. Belum lagi, negara-negara itu pun mulai mengekspor pengaruh
ideologi keagamaannya ke negara lain, termasuk Indonesia. Di luar
perkembangan negara bangsa itu, menurut Ghazali, di Mesir ada faksi Sunni
yang secara tradisional masih enggan membentuk negara bangsa sendiri, yakni
Ikhwanul Muslimin. Di Ikhwanul Muslimin ada faksi-faksi lain. Berbagai faksi
ini bertemu di wilayah konflik, seperti Afganistan. "Di sana orang
Indonesia juga bersentuhan dan pulang membawa ideologi itu," katanya.
Di luar itu, faksi Syiah yang dipelopori Iran juga
menyebarkan pengaruhnya sampai ke Indonesia. Seperti halnya Iran, Arab Saudi
juga melakukan hal sama agar ideologi keislaman mereka mendapat pengaruh di
sini. Beberapa di antaranya melalui lembaga pendidikan.
Namun, di sisi lain, praksis keislaman di Nusantara sejak
lama justru membawa kedamaian di tengah situasi kemajemukan masyarakatnya. NU
kemudian memelopori apa yang bisa ditawarkan sebagai ortodoksi baru dalam
dunia Islam.
NU menyebutnya Islam Nusantara, Islam moderat dan toleran.
Islam kompatibel dengan berbagai komponen ketatanegaraan modern, seperti
demokrasi. Kemajemukan masyarakat tak menjadi penghalang bagi Islam untuk
cocok dengan demokrasi dan malah menjadi faktor pemersatu entitas negara
bangsa bernama Indonesia. Founding
fathers kita mewariskannya untuk generasi sekarang.
Bandingkan dengan Timur Tengah yang relatif lebih homogen
masyarakatnya, tetapi terus-menerus didera konflik. "NU ingin mengajak semua pihak untuk melihat Islam tidak hanya
di Timur Tengah, di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, tetapi yang
sekarang sedang perang, seperti Suriah atau Irak. Atau jangan lihat
Afganistan yang 100 persen penduduknya Islam, tetapi terus didera konflik.
Tapi, Indonesia yang punya model Islam Nusantara, yang memberi pandangan lain
pada banyak pihak, bagaimana sebenarnya, apa sesungguhnya Islam yang rahmatan
lil alamin itu," kata Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-33 NU yang
juga Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.
"Alangkah indahnya kita
kembalikan Islam sebagai nilai moral. Bagaimana mempromosikan masalah soal
ekonomi dan politik yang lebih merepresentasikan keadilan dan kedamaian.
Mengapa NU bisa? Bukan hanya meminimalisir dan menghabiskan radikalisme,
tetapi mengontekstualisasikan Islam dengan kearifan lokal, bukan hanya
sebagai simbol, tapi riil. Ini karena NU tumbuh dari masyarakat," ujar Rektor UINSA Abdul A'la.
Karakter Islam Nusantara yang moderat dan toleran ini
menjadi modal penting membangun peradaban Islam global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar