Politik Serbasalah
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 01 Agustus 2015
Banyak di antara kita yang sangat gelisah melihat
perkembangan politik terkait dengan pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Pertama, kita kaget ketika ternyata ada beberapa mantan narapidana ikut
mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Ini sungguh mengagetkan sebab yang dulu-dulu orang yang
pernah dihukum pidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih tidak bisa
menjadi kepala daerah. Pada 2009, melalui perdebatan panas di antara para
hakimnya, melalui putusan Nomor 4/PUUVII/ 200 (25 Maret 2009) MK menentukan
bahwa mantan narapidana bisa menjadi pejabat publik yang dipilih oleh rakyat
asal sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan selama minimal lima tahun.
Alasannya, orang yang sudah dihukum berarti sudah menebus
dosanya. Setelah rakyat diberi kesempatan untuk menilai perilakunya selama
lima tahun yang bersangkutan boleh mencalon diri. Sekarang, berdasar Putusan
MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 (9 Juli 2015) orang yang baru keluar dari penjara
bisa langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah, tanpa batasan jeda
waktu dan tanpa batasan tindak pidana apa yang dilakukannya.
Secara pribadi saya menyayangkan putusan MK tersebut,
apalagi tanpa mengecualikan tindak pidana tertentu yang sebaiknya tak
diperbolehkan ikut menjadi calon kepala daerah, misalnya terorisme, narkoba,
dan korupsi. Benar, bahwa jika orang sudah dihukum berarti sudah menebus
kesalahannya sehingga hak-haknya harus dipulihkan.
Tetapi benar juga, demi pertimbangan tertentu, menurut
Pasal 28J ayat (2) UUD hak asasi manusia itu bisa dikurangi dengan ketentuan
undang-undang. Di negara-negara yang demokrasinya liberal sekalipun,
pembatasan bagi mantan napi diberlakukan berdasar undangundang. Rasanya kita
ini sudah jauh lebih liberal dalam perlindungan HAM dibandingkan dengan
negara-negara lain.
Pertimbangan moral dan etika publik tak lagi menjadi hal
utama. Banyakyangrisau, secara teoretis, sekarang orang yang baru keluar dari
penjara dan masih punya uang banyak bisa langsung menjadi calon kepala
daerah. Kita tak boleh berdalih, rakyat tentu akan menilai dan
tetapakanmemilihyangterbaik.
Nyatanya, dalam pengalaman yang belum lama, karena politik
uang dan kebrutalan politik, rakyat tetap memilih orang yang punya kasus
korupsi, bahkan orang yang sedang dihukum di penjara karena korupsi. Tetapi, betapa
pun kita tidak suka, putusan MK itu bukan hanya harus dihormati, melainkan
harus ditaati.
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 putusan MK itu
bersifat final, mengikat untuk dilaksanakan. Berita panas lainnya yang juga
menggelisahkan adalah munculnya pasangan calon tunggal di beberapa daerah.
Ada satu pasangan calon yang tidak mempunyai lawan karena tidak ada pasangan
lain yang mendaftar.
Ini merepotkan karena menurut undang-undang pasangan calon
harus lebih dari satu, tak boleh tunggal. Ada yang menyalahkan pembentuk
undang-undang karena tidak membuka kemungkinan munculnya pasangan calon
tunggal. Katanya, seharusnya calon tunggal diperbolehkan.
Jika tidak ada pasangan calon lain yang berani maju atau
tidak ada yang memenuhi syarat dukungan untuk maju maka seharusnya pasangan
calon tunggal langsung dinyatakan sebagai pemenang. Sebenarnya kemungkinan
seperti itu sudah pernah didiskusikan. Tapi pembentuk undang-undang
menetapkan, pasangan calon harus lebih dari satu untuk menghindari “koalisi
licik”.
Kalau calon tunggal diperbolehkan, bisa terjadi semua
parpol dibeli secara borongan guna berkoalisi untuk satu calon saja. Maka
pembentuk undangundang tak membolehkan adanya calon tunggal. Bahkan agar bisa
lebih fair dibuka juga peluang untuk pasangan calon perseorangan bukan dari
partai politik (independen). Jadi penetapan pasangan calon tunggal itu memang
ada alasan logisnya.
Ternyata, saat ini kita dihadapkan pada situasi pelik
karena pasangan calon tunggal tetap muncul di lebih dari sepuluh
kabupaten/kota. Mau diundur sampai tahun 2017? Bagaimana kalau pada 2017
tetap hanya ada satu pasangan? Sejak era reformasi pengaturan pemilihan
kepala daerah memang berjalan dalam proses eksperimentasi yang tampak selalu
serbasalah.
Pada awal reformasi, berdasarkan UU Nomor 22/1999, kita
serahkan sepenuhnya pemilihan kepada daerah kepada DPR provinsi/kabupaten/kota.
Namun, karena mekanisme tersebut berpotensi dan ditengarai dijadikan ajang
jual beli suara oleh oknum-oknum anggota DPRD maka berdasarkan UU Nomor 32/2004
mekanismenya diubah menjadi pemilihan langsung.
Perubahan ke pemilihan langsung tak menghilangkan isu
politik uang. Konon, untuk menjadi calon kepala daerah biaya yang harus
dikeluarkan oleh calon jauh lebih besar karena selain harus membayar “mahar”
yang mahal ternyata orangorang yang baik tetapi tak punya parpol atau tak
punya uang untuk parpol menjadi tertutup untuk menjadi calon.
Maka, mekanisme pun diubah lagi, dibuka peluangbagi calon perseorangan
bukan dari partai politik (independen) dengan syarat dukungan minimal
tertentu oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Jadi setiap perubahan
undang-undang yang merespons kritik dan problem di lapangan selalu
bermasalah, bahkan selalu salah. Jadinya kita selalu ada dalam proses
ekperimentasi yang tak pernah selesai.
Sebenarnya, persoalannya bukan terletak pada kebenaran
atau keketatan pengaturan oleh undang-undang, melainkan karena mental korup
yang sudah mendalam. Diatur bagaimanapun oleh undang-undang, ada saja akal
kreatif untuk mengorupsinya. Menyedihkan, bangsa ini mempunyai orang-orang
yang kreatif untuk melakukan korupsi dan melumpuhkan undang-undang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar