Kamis, 06 Agustus 2015

Perbaikan Kebijakan BBM

Perbaikan Kebijakan BBM

Pri Agung Rakhmanto  ;   Dosen FTKE Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMiner Institute
                                                       KOMPAS, 05 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hingga akhir Juli 2015, Pertamina dikatakan mengalami kerugian hingga Rp 12 triliun dalam penjualan BBM, khususnya premium dan solar. Kerugian disebabkan Pertamina harus menalangi selisih harga keekonomian bahan bakar minyak dan harga jual BBM yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah. Ini yang menyebabkan harga BBM saat ini tak akan diturunkan—bahkan mungkin dinaikkan—meski harga minyak dunia saat ini turun menyentuh 47 dollar AS per barrel, yang merupakan level terendah dalam enam bulan terakhir.

Dalam masalah ini, Pertamina jadi ”korban”, publik jadi bingung karena logika sederhana kemudian menjadi tampak rumit. Lalu muncul istilah baru, oil fund, dari pemerintah, semacam dana untuk stabilitas BBM, yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?

Menurut saya karena dua hal. Pertama, kebijakan BBM yang parsial. Kedua, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang parsial itu.

Disebut parsial karena saat pemerintahmenurunkan harga BBM pada November 2014, diikuti penurunan pada bulan selanjutnya, dan tak lagi menyubsidi premium dan menerapkan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, pemerintah tidak melengkapi kebijakan tersebut dengan menyiapkan bantalan fiskalnya di APBN. Inkonsisten karena penyesuaian naik-turun harga BBM yang semula dilakukan dalam dua minggu hingga satu bulan mengikuti pergerakan faktor utama yang memengaruhinya (harga minyak dunia dan kurs rupiah) tidak lagi dilakukan dengan pola yang sama, dengan alasan masyarakat belum siap dengan kebijakan itu.

Pada titik itu sebenarnya terlihat bahwa yang lebih tidak siap adalah pemerintah sendiri, bukan masyarakat. Pemerintah tak siap dengan bantalan fiskal BBM di APBN sehingga kemudian Pertamina yang harus menjadi ”bantalan” dan baru belakangan memunculkan istilah yang tampak baru, oil fund,yang secara esensi tidak lain adalah bantalan fiskal BBM itu sendiri. Juga tidak siap dalam menakar kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat dengan baik sehingga dalam menetapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga tidak memiliki pola yang jelas.

Maka, pemerintah yang perlu lebih jelas dan tegas dalam hal kebijakan BBM. Apakah sebenarnya premium memang bebas subsidi dan solar disubsidi tetap, ataukah sebenarnya keduanya masih disubsidi APBN dengan pola yang sama seperti pemerintahan sebelumnya? Jika yang dipilih adalah terobosan kebijakan seperti yang pertama, setidaknya dua hal perlu segera diperbaiki.

Pertama, bantalan fiskal BBM sejumlah tertentu perlu dianggarkan secara jelas di APBN. Ini untuk mengantisipasi ketika penyesuaian harga karena sesuatu dan lain hal tidak dapat dilakukan. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban bantalan fiskal di APBN jelas lebih baik dan memiliki landasan payung hukum yang lebih jelas dibandingkan menggunakan Pertamina sebagai bantalan atau oil fund yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya.

Kedua, konsistenlah dalam menerapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga BBM sehingga dapat memberikan pola yang lebih mudah diterima dan ditangkap oleh masyarakat ataupun perekonomian secara keseluruhan. Tiga atau enam bulan, seperti yang belakangan pemerintah wacanakan, kiranya jauh lebih bijak daripada periode dua minggu hingga satu bulan yang sebelumnya diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar