Nasionalisme dan Ambalat
Eddy Pratomo ;
Utusan Khusus Presiden RI untuk Penetapan Batas Maritim 2014,
2006-2009, dan 2002-2004
|
KOMPAS,
31 Juli 2015
Akhir-akhir ini nasionalisme kita diuji lagi akibat
kembali mengemukanya isu mengenai pelanggaran wilayah dan ancaman hilangnya
Ambalat oleh Malaysia. Pemberitaan di media sejauh ini memberikan pelajaran
penting yang menarik dicermati bersama.
Pertama, kita harus bangga dengan nasionalisme rakyat
Indonesia. Berbagai kalangan telah menyatakan kesediaannya untuk menjaga
Ambalat, bahkan bersedia berperang merebutnya kembali apabila dicaplok
Malaysia. Kesetiaan dan semangat ksatria membela Tanah Air oleh rakyat
Indonesia tidak perlu diragukan lagi, terlebih apabila dihadapkan pada upaya
mempertahankan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pahami inti persoalan
Kedua, pemahaman publik mengenai inti persoalan sebenarnya
masih sangat jauh. Hal ini tidak mengherankan karena nama "Ambalat"
dalam pengetahuan lokal masyarakat Indonesia merujuk kepada hal yang
berbeda-beda.
Ambalat adalah nama desa di Kecamatan Sekatak, Kabupaten
Bulungan, di Kalimantan Utara. Ambalat juga digunakan sebagai nama pantai
pasir indah di Kelurahan Amborawang Laut, Kecamatan Samboja, Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedua daerah ini tidak berbatasan langsung
dengan Malaysia.
Ambalat juga nama ikan teri dari dan dikembangbiakkan oleh
nelayan Indonesia di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan. Ambalat juga disebut
sebagai singkatan "ambang batas laut terluar", padahal istilah
hukum yang tepat untuk menunjukkan batas terluar adalah "garis pangkal
terluar dari pulau-pulau terluar" atau cukup "garis pangkal".
Kentalnya nama Ambalat yang merujuk pada identitas lokal
Indonesia itu juga jadi alasan bagi Indonesia untuk menamakan wilayah blok
konsesi minyak di dasar laut lepas (landas kontinen) yang terletak di Laut
Sulawesi sebagai Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur. Dapat dipastikan juga
bahwa tak ada pulau di Indonesia yang menggunakan nama Ambalat.
Mengingat begitu jamaknya penggunaan nama Ambalat, maka
perlu dipahami bahwa Ambalat yang dimaksud dalam kaitannya dengan Malaysia
adalah konsesi minyak Blok Ambalat seluas sekitar 1.990 kilometer persegi,
dengan jarak beragam. Jarak terdekat terletak di dalam Laut Wilayah Indonesia,
yang terjauh berada 40 km-50 km dari batas Laut Wilayah yang ditarik
menggunakan garis pangkal kepulauan.
Dengan demikian, hak-hak Indonesia di dasar laut Ambalat
ini beragam, mengikuti zona maritim yang berlaku. Apabila di Laut Wilayah,
Indonesia memiliki kedaulatan penuh. Sementara jika di zona ekonomi eksklusif
(ZEE) dan landas kontinen, Indonesia hanya memiliki hak berdaulat terhadap
pengelolaan sumber daya alam yang berada di kolom air dan di dasar laut serta
tanah di bawahnya. Sementara pihak asing bebas untuk berlayar, terbang,
memasang kabel, dan memasang pipa di atasnya.
Ketiga, penyamaan Ambalat dengan pengalaman
"kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan" adalah referensi yang
keliru. Dalam kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia sepakat
menghentikan diplomasi dan memulai proses hukum dengan mengajukan perkara
kepemilikan status Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan kepada Mahkamah
Internasional (ICJ) di Den Haag.
Keputusan ICJ terhadap kasus ini yang penting untuk
diketahui adalah 1) penetapan tanggal kristalisasi sengketa, yaitu tahun
1969, sehingga hanya memperhitungkan penguasaan yang dilakukan sebelum 1969;
2) memutuskan sendiri dari bukti hukum bahwa Inggris sejak tahun 1914 telah
menerapkan pajak pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut sehingga
menunjukkan adanya penguasaan efektif oleh pemerintahan kolonial Inggris kala
itu yang kemudian diteruskan Malaysia; dan 3) merujuk pada UU No 4/Prp Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia yang tidak memasukkan kedua pulau tersebut sebagai
bagian dari NKRI. Dengan kata lain, Indonesia bukan kehilangan, melainkan
gagal mendapatkan tambahan dua pulau baru.
Sementara permasalahan Blok Ambalat pada pokoknya
merupakan persoalan delimitasi perbatasan maritim di Laut Sulawesi yang belum
selesai dirundingkan antara Indonesia dan Malaysia. Di Laut Sulawesi ini,
kedua negara masih perlu menetapkan segmen Laut Wilayah (kedaulatan) dan ZEE
serta landas kontinen (hak berdaulat). Hukum nasional Indonesia dan Konvensi
Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS 1982) mewajibkan Indonesia merundingkan
batas-batas negaranya apabila berhadapan atau berimpitan dengan batas negara
lain.
Keempat, perundingan penyelesaian batas maritim merupakan
salah satu perundingan paling kompleks di dunia. Hal ini mengingat sifatnya
yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, mulai hukum internasional, hubungan
internasional, geografi, geologi, geodesi, hidrografi, oseanografi,
kartografi, navigasi, dan kesejarahan. Di samping itu, perundingan semacam
ini juga melibatkan berbagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok
serta kepiawaian di bidang-bidang tersebut.
Indonesia telah berunding dengan Malaysia sebanyak 28 kali
selama 2005-2015 untuk membahas penetapan batas maritim kedua negara di semua
segmen, yaitu Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut
Sulawesi. Selama 10 tahun perundingan, masih terdapat perbedaan mendasar
mengenai metode serta prinsip-prinsip hukum penarikan garis batas maritim.
Guna mempercepat penyelesaian batas maritim dengan
Malaysia, Presiden RI telah mengangkat Utusan Khusus Presiden untuk Penetapan
Batas Maritim antara RI-Malaysia, dengan tugas utama mencari solusi kreatif
penyelesaian batas maritim kedua negara dengan mempertimbangkan faktor-faktor
lain melengkapi aspek teknis dan hukum.
Meski demikian, keberadaan utusan khusus penyelesaian
penetapan batas yang rumit dan kompleks ini perlu disikapi dengan bijak.
Keseriusan RI menyelesaikan penetapan batas maritim ini akan sangat
bergantung pada itikad baik Malaysia.
Perbedaan mendasar
Sampai sejauh ini masih terdapat perbedaan yang mendasar
di kedua belah pihak. Di satu sisi, Peta 1979 yang digunakan Malaysia telah
menuai protes dari Singapura, Brunei, Filipina, dan beberapa negara lain.
Hal yang kontroversi pada Peta 1979 adalah penggunaan
metode garis pangkal lurus untuk penarikan garis batas maritim, padahal
Malaysia tak berhak menggunakan metode itu sesuai UNCLOS 1982. Sebagai negara
pantai, Malaysia seyogianya menggunakan garis pangkal biasa. Di sisi lain,
posisi Indonesia sebagai negara kepulauan sesuai UNCLOS 1982 dapat menarik
garis pangkal kepulauan. Namun, kondisi ini masih belum diterima Malaysia,
padahal Malaysia telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
disepakatinya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Rezim Hukum
Negara Nusantara/Negara Kepulauan tahun 1982.
Mencermati perkembangan itu, sejauh mana masing-masing
pihak mau beranjak dari posisinya untuk mencapai suatu kesepakatan? Apakah
waktu yang akan menentukan? Ataukah para utusan khusus dapat mencari
opsi-opsi solusi komprehensif sebagai jalan keluar yang dapat disampaikan
kepada kepala negara masing-masing.
Marilah kita terus menjaga harga mati NKRI dengan
nasionalisme yang cerdas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar