Meja Hijau
Adi Andojo Soetjipto ;
Mantan Ketua Muda MA
|
KOMPAS,
31 Juli 2015
Masihkah pembaca ingat istilah "meja hijau" dan
"dimejahijaukan"?
Istilah itu untuk menamai pengadilan waktu dulu. Dinamai
demikian karena meja di ruang pengadilan ditutup laken berwarna hijau. Dengan
berjalannya waktu, ketika banyak muncul hakim "nakal", muncul pula
ungkapan "sekarang meja itu tidak berwarna hijau lagi".
Memang, kini meja di ruang sidang tak lagi berwarna hijau.
Semua diganti meja kayu ukir yang mahal. Ruang sidang juga disulap menjadi
ruang yang megah, dilengkapi perabot yang megah pula. Hakim-hakimnya
dibusanai jubah hitam dengan warna merah mengilap di bagian depan. Pokoknya
semua yang ada di ruang sidang disulap menjadi serba megah. Namun, di
kemegahan itu, "aura"-nya hampa, menandakan wibawa yang lenyap.
Kita pasti akan bertanya mengapa bisa demikian? Salah
siapa ini? Apakah karena ulah para hakimnya?
Menurut saya jelas "iya", itulah sebab utamanya.
Karena ada hakim yang memutus perkara berbau kontroversial, ada pula yang
menafsirkan hukum tanpa mengindahkan rambu-rambu sehingga putusannya
membingungkan dan terkesan tak adil.
Jika masih ingin bukti lebih akurat, lihat kejadian di
ruang sidang. Ruang yang dulu dianggap sakral itu kini bisa dimasuki
demonstran hingga ratusan orang. Mereka berteriak-teri"hakim tak
adil", lalu menyerangnya sehingga hakim lari tunggang langgang.
Memikirkan hal ini saya jadi sedih. Apakah sejelek itu
keadaan pengadilan kita sekarang? Belum lagi kalau kita ingat tidak adanya
sopan santun antarhakim. Ada hakim bawahan yang melaporkan mantan atasannya
yang jauh lebih senior kepada polisi atas dakwaan telah melakukan pencemaran
nama baik. Padahal, maksud mantan atasannya itu baik, yakni memberi nasihat
serta petunjuk bagaimana menjadi hakim yang baik. Bukankah perbuatan itu
sudah keterlaluan, menandakan mereka sudah tak punya tata karma sehingga
timbul penilaian akan hilangnya wibawa pengadilan?
Tak usah mencari jauh-jauh penyebab hilangnya wibawa pengadilan,
seperti perkembangan ekonomi dan sebagainya yang menyebabkan tunggakan
perkara menumpuk. Apa yang ada di depan mata seperti contoh di atas sudah
cukup jelas. Namun, yang di depan mata ini sulit sekali diberantas! Kita
masih membutuhkan orang "suci" yang berani dan mampu mengembalikan
wibawa pengadilan seperti yang diharapkan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar