Etika Sukarela Muhammadiyah untuk Bangsa
Abdul Munir Mulkhan ; Komisioner
Komnas HAM 2007-2012;
Wakil Sekjen Pimpinan Pusat
Muhammadiyah 2000-2005;
Guru Besar Ketua Senat UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
KOMPAS,
04 Agustus 2015
Dalam usianya yang memasuki abad
kedua, Muhammadiyah terbilang sukses dalam mengembangkan ratusan rumah sakit
dan perguruan tinggi, serta ribuan sekolah. Sumber pembiayaan boleh disebut
murni swasta dan mandiri.
Aset yang dikelola amal usaha
Muhammadiyah (AUM) berupa rumah sakit, perguruan tinggi, dan sekolah di
seluruh Nusantara bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Pengelolaan AUM
secara profesional-namun tanpa sistem penggajian, kecuali pengganti jasa
layanan sosial, yang bisa disebut amat rendah jika dibandingkan dengan
lembaga modern serupa-ternyata tidak mendorong perilaku korupsi di lingkungan
AUM.
Etika sukarela dan
kegotongroyongan itulah yang merupakan nilai dasar kemanusiaan yang menjadi
kekuatan inti gerakan Muhammadiyah sehingga bisa bertahan hingga satu abad
dan terus mengembangkan sayap AUM ke seluruh pelosok Nusantara. Tidak hanya
terbatas di komunitas Muslim, bahkan di NTT dan Papua, pengelola dan pengguna
jasa AUM adalah warga yang mayoritas beragama selain Islam. Pertanyaan yang
kini mengusik setelah memasuki abad keduanya ialah bagaimana atau bisakah
gerakan ini Muhammadiyah mengembangkan AUM bagi kepentingan bangsa dan
kemanusiaan yang lebih universal.
Kebersamaan
Muhammadiyah, sejak mula didirikan
tahun 1912, konsisten berjuang membangun masyarakat Nusantara berbasis pada
nilai kebersamaan (taawwun) atau
gotong royong dan kesukarelaan. Berdasar kepentingan bersama (jemaah),
aktivis dan pengikut gerakan ini mengembangkan AUM. Bentuk-bentuk AUM itu
antara lain berupa lembaga pendidikan, rumah sakit dan balai kesehatan, panti
asuhan yatim piatu, tempat ibadah (masjid dan mushala), penelitian tentang
kehidupan sosial dan privat keseharian menurut syariat, dan dakwah
pengembangan masyarakat berbasis jemaah (community
development).
Sumber pembiayaan AUM tersebut
ditanggung bersama oleh aktivis dan pengikut, baik terdaftar sebagai anggota
maupun simpatisan, yang terkonsolidasi melalui jemaah. Tahun 1970-an,
Muhammadiyah merumuskan pola kegiatan AUM itu ke dalam gagasan yang waktu itu
disebut Gerakan Jemaah dan Dakwah Jemaah. Melalui gagasan tersebut, setiap
kelompok aktivis bersama pengikut (baik anggota terdaftar maupun bukan)
dikonsolidasikan ke dalam suatu jemaah berdasar tempat tinggal, baik di
pedesaan maupun perkotaan. Sasaran utama kegiatan jemaah ialah memecahkan
problem sosial ekonomi yang dihadapi anggota jemaah atau masyarakat yang
tinggal dan hidup di sekitar tempat tinggal jemaah.
Kelompok jemaah tersebut tidak
berada dalam jaringan struktur organisasi, tetapi lebih sebagai kelompok sukarela.
Ikatan dengan organisasi, seperti ranting atau cabang Muhammadiyah,
diletakkan pada aktivis gerakan yang disebut "inti jemaah". Melalui
"inti jemaah" itulah berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat
disampaikan kepada pimpinan resmi, tingkat ranting atau cabang, secara
konsultatif untuk dicarikan pemecahannya.
Dari sini sering kali muncul
gagasan untuk membangun balai kesehatan, rumah sakit, lembaga pendidikan,
panti asuhan, atau tempat ibadah, sebagai salah satu solusi problem
sosial-ekonomi yang dihadapi warga jemaah atau luar jemaah.
Sumber dana AUM tersebut di atas
berasal dari zakat, infak, sedekah, atau wakaf yang diberikan oleh publik
secara sukarela. Demikian pula pengelolaan AUM secara profesional oleh
aktivis atau pengikut gerakan ini dilakukan secara sukarela. Mereka bukan
menerima gaji, melainkan pengganti jasa kemampuan dan waktu yang diwakafkan
bagi AUM tersebut. Karena itu, imbalan jasa direktur rumah sakit
Muhammadiyah, kepala sekolah, rektor perguruan tinggi Muhammadiyah atau kepala
panti sebatas pengganti layanan jasa yang diberikan, bukan berdasar standar
gaji seperti dikenal di lembaga pemerintah atau swasta lain. Pengurus AUM
atau pimpinan Muhammadiyah yang membawahkan AUM di Muhammadiyah dikenal
dengan majelis atau bagian, juga pimpinan gerakan ini sebagai regulator, yang
mengangkat rektor, direktur rumah sakit atau kepala sekolah, tidak memperoleh
gaji atau pun honorarium.
Melalui tata kelola seperti itu,
Muhammadiyah sampai saat ini telah berhasil membangun lebih dari 600 balai
kesehatan dan rumah sakit, 180 perguruan tinggi (berikut yang dikelola
Aisyiyah), lebih dari 10.000 sekolah tingkat dasar dan menengah (lihat
laporan Kompas, 7 Juli 2015, hlm 5). AUM tersebut tersebar dari Papua hingga
Aceh. Jumlah mahasiswa masing-masing perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM)
1.000 hingga 33.000 mahasiswa.
Universitas Muhammadiyah Makassar,
yang menjadi ajang Muktamar 2015, tergolong PTM papan atas dalam hal jumlah
mahasiswa yang mencapai lebih dari 30.000 orang. Menyusul Universitas Muhammadiyah
Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Malang dengan jumlah mahasiswa di atas
20.000 mahasiswa. Sementara mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara, Palembang, Jakarta (dua PTM), dan Yogyakarta (dua PTM) berjumlah di
atas 15.000 mahasiswa.
Profesional
tanpa pamrih
Pengelolaan secara profesional
dengan sistem penggajian berbasis kesukarelaan, bukan mencari kekayaan,
merupakan basis nilai yang selama ini berhasil memelihara ikatan jemaah
taawwuni (kesadaran kolektif kepentingan bersama). Dari sinilah pengelola AUM
diseleksi berdasar komitmen pada nilai kesukarelaan tersebut bersama komitmen
pada kepentingan bersama. Penggantian layanan jasa, bukan gaji, yang mungkin
terbilang rendah jika dibandingkan lembaga serupa, ternyata tidak mendorong
pengelola AUM untuk melakukan korupsi.
Sampai hari ini tidak diketemukan
kasus korupsi dalam pengelolaan AUM meskipun rektor, direktur, kepala sekolah
tersebut bisa dibilang sebagai "raja tanpa mahkota" karena sebagai
penguasa tunggal yang bebas mengelola dana yang terkumpul secara sukarela dan
gotong royong yang jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Bagi orang luar mungkin terasa
aneh, hubungan kerja antara pimpinan Muhammadiyah dan pengelola AUM.
Sementara pengelola AUM, sebagai rektor, kepala sekolah, atau direktur rumah
sakit menerima imbalan sebagai balasan atas jasa layanan sosialnya, yang
mengangkat rektor, kepala sekolah, dan direktur rumah sakit tersebut justru
tidak menerima imbalan atau balas jasa dan honorarium.
Sudah sewajarnya jika yang
mengangkat rektor, kepala sekolah, dan direktur rumah sakit itu juga menerima
imbalan atas jasa layanan sosial yang diberikan. Usulan untuk memberi imbalan
bagi pimpinan gerakan itu pernah muncul tahun 1990-an, tetapi justru ditolak
secara aklamasi oleh pimpinan yang akan menerima imbalan tersebut. Salah satu
pertimbangan yang muncul ialah jika pimpinan gerakan juga menerima imbalan,
dana yang terkumpul secara sukarela dan gotong royong itu akan habis tanpa
sempat dipergunakan untuk kepentingan pengembangan AUM.
Soalnya kemudian ialah bagaimana
memelihara nilai kesukarelaan di tengah gempuran gaya hidup hedonis dan
permisif dengan tetap berkomitmen mengembangkan AUM yang berkualitas? Adalah
tantangan apakah nilai-nilai etika kesukarelaan dan taawwun bisa terus
direproduksi gerakan ini bagi kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan yang lebih
besar dan terbuka.
Muncul pertanyaan berikut,
mungkinkah gerakan ini mengembangkan pola kerja profesional berbasis etika
sukarela (tanpa pamrih) dan kolektivitas taawwun bagi pengelolaan kehidupan
kebangsaan dan kemanusiaan yang lebih plural? Inilah tantangan kebangsaan
bagi Muhammadiyah dalam usia abad keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar