Selasa, 12 Mei 2015

Swasembada Tanpa Petani

Swasembada Tanpa Petani

Dwi Andreas Santosa  ;  Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI); Associate Scholar CORE Indonesia
KOMPAS, 11 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tanggal 4 Mei 2015, Badan Pusat Statistik mengeluarkan laporan tentang perkembangan Nilai Tukar Petani pada April 2015. NTP menggambarkan tingkat kesejahteraan petani. Jika NTP menurun, tingkat kesejahteraan petani juga menurun, demikian pula sebaliknya.

NTP Maret 2015 turun 0,64 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 101,53 (BPS, 1/4/2015). Pada bulan tersebut penurunan terbesar di sektor tanaman pangan, yaitu dari 102,03 menjadi 100,80 atau minus 1,21. Sebaliknya indeks harga yang dibayar petani justru naik dari 118,15 menjadi 118,70. Pada saat yang sama terjadi inflasi di kawasan pertanian (perdesaan) sebesar 0,48 persen disebabkan naiknya indeks semua kelompok konsumsi. Kelompok yang paling menderita adalah petani perkebunan rakyat, NTP sudah di bawah 100, yaitu 97,60 pada Februari 2015 dan turun menjadi 97,46 pada Maret 2015 serta turun lagi menjadi 97,07 (April 2015).

Pada April 2015, ketika harga beras tetap bertahan tinggi-dan logika sebagian orang dan pejabat-akan menguntungkan petani, NTP justru terjerembap ke titik nadir. Penurunan NTP pada April 2015 lebih besar dibandingkan dengan Maret 2015, yaitu minus 1,37 dari 101,53 menjadi 100,14. NTP sektor tanaman pangan mengalami penurunan terbesar, yaitu minus 3,44  dan masuk ke ambang bahaya karena sudah di bawah 100 (sebesar 97,33). Dengan demikian, tingkat kesejahteraan petani tanaman pangan mengalami penurunan tajam selama beberapa bulan terakhir ini.

Kejadian ini sungguh ironis di tengah berbagai klaim dan upaya yang dilakukan pemerintah enam bulan terakhir. Ketika Januari-Februari 2015 harga beras tiba-tiba melonjak drastis hingga 30 persen, upaya keras dilakukan pemerintah dengan melibatkan Bulog meskipun tidak efektif. Harga turun sedikit karena panen raya, tetapi kemudian tetap bertahan tinggi pada bulan-bulan selanjutnya. Harga beras yang tinggi tersebut diasumsikan oleh pemerintah dan berbagai media (termasuk Kompas) berimbas positif ke harga gabah petani sehingga petani ikut mendulang untung. Sebaliknya Bulog sangat kesulitan mendapatkan gabah/beras dan hanya mampu menyerap 500.000 ton beras atau 11 persen dari target 2015. Padahal, biasanya pada musim rendeng 60 persen dari target (Kompas, 4/5/2015).

Kenyataan yang ada sungguh di luar itu semua. Pada saat panen raya harga gabah di tingkat petani turun drastis. Laporan yang kami terima dari seluruh jaringan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) harga gabah di tingkat petani hanya sekitar Rp 2.900-Rp 3.600 di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan di Jawa Barat hanya sekitar Rp 2.700-Rp 3.300/kg. Info terakhir dari Jawa Timur harga gabah di tingkat petani hanya Rp 3.000-Rp 3.400/kg (4/5/2015). Lalu mengapa dilaporkan harga gabah sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP) bahkan di atas Rp 4.000/kg? Harga gabah tersebut ternyata bukan di tingkat petani melainkan dari para tengkulak. Laporan dari AB2TI Indramayu, harga gabah kering panen (GKP) di tangan tengkulak sudah mencapai Rp 4.400-Rp 4.700/kg.

Ketika harga beras naik pada Januari 2015, Presiden, para menteri, dan Bulog turun langsung. Akan tetapi, ketika petani menangis karena harga gabah tiba-tiba jatuh, tidak satu pun yang muncul, bahkan media-media besar nasional diam. Laporan jaringan AB2TI kemudian terefleksikan dalam wujud NTP yang turun drastis dua bulan terakhir ini. Petani kecil juga tercederai dengan penetapan HPP melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang hanya naik sebesar 10,6 persen-12,0 persen, jauh lebih rendah daripada total inflasi selama tiga tahun terakhir sebesar 21,03 persen.

Klaim sangat terburu-buru Menteri Pertanian bahwa kita akan surplus beras besar dan pemerintah akan stop impor beras pada tahun ini menyebabkan harga beras (yang tidak dikuasai petani) bergejolak besar. Terjadi perebutan beras antar pedagang dan spekulan beras dengan Bulog serta petani terjepit di tengahnya. Sering kali pedagang lebih tahu dibandingkan dengan pemerintah terkait berapa sesungguhnya beras dan gabah yang tersedia saat ini. Harga beras yang tinggi sungguh menyengsarakan petani karena petani juga konsumen.

Swasembada pangan

Lalu apa artinya swasembada tanpa petani, apakah bisa swasembada tercapai tanpa petani atau dengan mengorbankan petani? Jawabannya dengan tegas: tidak! Upaya untuk mencapai swasembada pangan justru diawali oleh petani-petani kecil bersama 12 mahasiswa dan 7 asisten dosen IPB yang melaksanakan demonstrasi massal di lahan seluas 100 hektar di Karawang pada 1963.

Gerakan tersebut kemudian diambil alih oleh pemerintah pada 1967/1968 melalui program intensifikasi seluas 1 juta hektar melalui bimbingan massal dan instruksi massal.

Pada saat itu secara besar-besaran diintroduksi varietas unggul PB8 dan Sistem Panca Usaha yang terdiri dari penggunaan bibit unggul, pupuk sintetik, racun hama, perbaikan teknologi, dan pembangunan irigasi.

Upaya untuk mencapai swasembada pangan dikembangkan lebih lanjut melalui Pelita I (1969-1974) dan pemerintah menggelontorkan 30 persen APBN untuk sektor pertanian. Produksi beras selama periode awal program tersebut (1967-1971) meningkat drastis dengan rata-rata 7,98 persen per tahun.

Akhir swasembada

Pada Pelita II dampak negatif Sistem Panca Usaha muncul, menyebabkan produksi beras merosot akibat serangan hama yang masif. Meskipun demikian, produksi beras tercatat masih mengalami peningkatan cukup tinggi, yaitu rata-rata 4,43 persen per tahun (1975-1979), walaupun data tersebut diragukan karena kenyataannya Indonesia mengimpor beras hingga dua juta ton pada 1980.

Untuk menggenjot produksi anggaran sektor pertanian pada 1980/1981 dinaikkan hampir dua kali lipat dibandingkan dengan anggaran tahun-tahun sebelumnya. Produksi kemudian berangsur-angsur meningkat kembali (sebesar 6,54 persen per tahun pada periode 1980-1984), impor menurun dan Indonesia mencapai swasembada beras pada 1984.

Pada tahun-tahun selanjutnya, laju peningkatan produksi terus mengalami penurunan, yaitu dari 6,54 persen menjadi 3,49 persen pada periode 1985-1990 dan 2,15 persen pada 1990-1996. Pada 1995, Indonesia impor beras lagi sebesar 3 juta ton dan 3 tahun kemudian (tahun 1998) melakukan impor beras terbesar sepanjang sejarah, yaitu sebesar 6,07 juta ton bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru.

Sejak didengungkan konsep swasembada pangan, sebagian besar kebijakan dan program ditujukan untuk peningkatan produksi beras, politik pangan menjadi politik beras, dan swasembada pangan berubah ujud menjadi swasembada beras. Keberhasilan Kementerian Pertanian juga diukur dengan peningkatan/penurunan produksi padi atau beras. Komoditas lain praktis dilupakan sehingga Indonesia saat ini menjadi pengimpor besar di dunia untuk kedelai, jagung, gula, dan belasan produk pangan lainnya. Bahkan untuk gandum Indonesia saat ini merupakan pengimpor gandum terbesar kedua setelah Mesir.

Swasembada pangan selalu menjadi jargon setiap pemerintahan. Solusi yang diambil adalah selalu peningkatan anggaran di sektor pangan dan pertanian yang sebagian besar digunakan untuk membantu produsen pupuk, produsen benih, produsen traktor dan alat pertanian, produsen pestisida, serta produsen input lainnya. Upaya terpenting, yakni peningkatan kesejahteraan petani melalui subsidi output (harga produk pertanian di tingkat petani) justru tidak pernah dilakukan. Akibatnya, hampir semua program swasembada pangan dalam 30 tahun terakhir ini gagal.

Pada masa pemerintah sebelumnya (2005-2014) anggaran pertanian dan pangan meningkat sebesar 611 persen (BKF 2014) dan Kementerian Pertanian menargetkan surplus beras sebesar 10 juta ton pada 2014. Kenyataan yang terjadi impor pangan meningkat sebesar 346 persen pada periode 2003-2013 (BPS 2014) dan impor beras pada 2014 sebesar 1,225 juta ton (DA Santosa, "Waspada Pangan 2015", Kompas [10/3/2015]). Anggaran sektor pertanian pada 2015 ini juga meningkat luar biasa tinggi, yaitu di atas 100 persen dibandingkan dengan pada 2014, tetapi sayangnya kebijakan, program dan pola yang digunakan dalam penggunaan anggaran tersebut praktis tidak berbeda dengan sebelumnya.

Pembangunan pertanian dengan melupakan petani dan menjadikan petani hanya sebagai obyek kebijakan dipastikan gagal. Diperlukan perombakan mendasar pembangunan pertanian yang memuliakan dan menyejahterakan petani. Ketika petani sejahtera, semua lainnya (peningkatan produksi pangan) akan ikut dengan sendirinya. Petani tidak akan pernah lupa bahwa merekalah yang memenangkan Presiden saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar