Inflasi
Satuan Tugas Antikorupsi
Donal Fariz ; Koordinator Divisi Korupsi Politik
Indonesia Corruption Watch (ICW)
|
KOMPAS, 11 Mei 2015
Tiga institusi penegak
hukum-Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan-membentuk
satuan tugas pemberantasan korupsi. Merunut sejarah, replikasi pembentukan
unit seperti ini selalu gagal melakukan fungsinya.
Tak bisa dielakkan
bahwa pembentukan satuan tugas (satgas) pemberantasan korupsi memiliki
relevansi yang erat dengan polemik antara KPK dan kepolisian belakangan ini.
Buruknya komunikasi dan koordinasi ditengarai sebagai sebab utama gesekan
antarlembaga penegak hukum. Alhasil, ketiga pemimpin lembaga penegak hukum
tersebut mendorong pembentukan sebuah wadah komunikasi dan kerja sama lintas
institusi.
Dalam kaca mata
masyarakat umum, sesungguhnya tujuan besar pembentukan satgas antikorupsi
masih kabur. Namun, jika mengutip sejumlah pernyataan para pemimpin lembaga
itu, mereka menyebut pembentukan satuan ini demi mempermudah penanganan pelbagai
kasus korupsi yang memiliki irisan.
Jika kita berpegang
kepada pernyataan lisan yang disampaikan, dua hal pokok harus diperhatikan
terkait kasus-kasus korupsi yang memiliki irisan. Pertama, irisan dari segi
waktu, dan, kedua, irisan dari auktor/ pelaku. Pada titik itu pembentukan
satgas antikorupsi ini memiliki dasar argumentasi yuridis yang sangat lemah.
Pasalnya, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah mengatur berbagai
potensi persinggungan antara lembaga penegak hukum (baca beririsan). Pengaturannya
bisa merujuk kepada Pasal 50 UU KPK.
Dalam Ayat 3 dan 4 UU
itu diatur ihwal apabila KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian
atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Dalam hal
penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan
KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan.
Presedennya sudah ada dalam penanganan kasus simulator surat izin mengemudi
yang sempat menjadi polemik pada 2012. KPK dan kepolisian saat itu berebut
menangani kasus korupsi pada waktu sama dan sebagai tersangka juga sama.
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menjadikan pasal ini sebagai acuan untuk menegaskan
kepolisian menghentikan penanganan perkara yang sama. Maka, secara aturan,
tumpang tindih dalam penanganan kasus korupsi sudah dapat diantisipasi dalam
ketentuan ini. Terlebih lagi ketentuan UU memberi KPK fungsi koordinasi dan
supervisi dalam penangangan kasus korupsi (Pasal 6), mengoordinasikan
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi (Pasal 7), melaku- kan
pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenang berkaitan pemberantasan korupsi (Pasal 8).
Menjadi pertanyaan
besar, apakah pembentukan satgas ini tak mereduksi mandat KPK berdasarkan UU?
Sudahkah pemimpin KPK menyadari hal ini? Bukankah pembentuk UU meletakkan
secara jelas KPK sebagai sektor terdepan pemberantasan korupsi.
Sumbu masalah
Pembentukan satgas,
atau dengan nama apa pun, yang berkaitan dengan tugas pemberantasan korupsi
dengan sifat ad hoc sudah berulang kali dilakukan. Pada periode pertama
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah dibentuk Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) yang terdiri dari unsur
jaksa, polisi, dan auditor yang ditempatkan dalam sebuah tim untuk mendorong
koordinasi dilakukan secara lebih baik. Namun, ini tidak membuahkan hasil
maksimal.
Selanjutnya pernah
pula dibetuk Satgas Antimafia Hukum yang dibuat di bawah UKP4 dengan
komposisi perwakilan beberapa penegak hukum dan staf presiden. Namun,
lagi-lagi hanya menyelesaikan persoalan secara kasuistis.
Berdasarkan studi
Koordinasi dan Supervisi Penanganan Kasus Korupsi yang dilakukan ICW pada
2011, ada dua persolan mendasar buruknya koordinasi antarpenegak hukum.
Pertama menyangkut ego sektoral lembaga penegak hukum. Masing-masing
seolah-olah enggan berada di bawah subordinasi institusi yang lain, apalagi
menjadi sekadar pelaksana. Dengan koordinasi, apalagi supervisi, maka
dominasi dan kekuasaan mereka akan tergerus instansi lain.
Kedua, perkara korupsi
adalah salah satu sumber korupsi. Praktik korupsi mafia peradilan menjadikan
kasus-kasus korupsi sebagai target. Karena itu, koordinasi, dan apalagi
supervisi, akan menganggu kelangsungan praktik korupsi tersebut.
Maka, berkaca kepada
pengalaman terdahulu, satgas yang dibentuk itu tidak berkorelasi positif
mendorong peningkatan kinerja pemberantasan korupsi. Ditambah lagi bahwa Kejaksaan
Agung baru-baru ini juga membentuk satgas internal dalam kasus korupsi.
Lalu, siapa dan
bagaimana menyelesaikan kusut masai penegakan hukum demikian ini? Tanggung
jawab tersebut ada dan berada langsung di tangan presiden.
Penyelesaian
Perpanjangan tangan
semacam satgas selalu gagal karena tidak mereformasi jantung permasalahan di
tingkat penegak hukum. Presiden pun tidak mengintervensi langsung perubahan
lembaga-lembaga penegak hukum yang secara struktural di bawah kewenangan
kepala negara.
Buruknya komunikasi
karena ego sektoral harus dipangkas oleh sikap tegas dan konkret seorang
presiden dengan cara mereformasi lembaga kepolisian dan kejaksaan. Cara
paling awal bisa dimulai dari menyingkirkan aparatus penegak hukum di
kepolisian dan kejaksaan yang menjadi penghambat dan sumber masalah dalam
pemberantasan korupsi.
Untuk membangun
koordina- si yang baik dan menghindari cara-cara yang kasuistis, sudah
seharusnya dimulai pembentukan sistem pengontrolan penanganan kasus korupsi
yang daring dan terintegrasi antara ketiga penegak hukum itu.
Sistem ini akan
memudahkan dalam mengawasi penanganan perkara korupsi sembari membangun
saling kontrol antara lembaga penegak hukum tanpa melulu melalui satgas.
Tumpang tindih kasus juga akan otomatis tidak akan terjadi. Sistem yang
terintegrasi itu harus dengan akses terbuka bagi masyarakat sehingga akan ada
pengawasan vertikal dan horizontal.
Berkaca kepada
sejarah, presiden dan para pemimpin penegak hukum sudah seharusnya
menghindari pembentukan unit ad hoc semacam ini karena tidak pernah
menyelesaikan masalah inti dalam pemberantasan korupsi. Alih-alih yang
terjadi justru inflasi satuan tugas antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar