Marsinah
dan Teologi Pembebasan Buruh
Tom Saptaatmaja ; Teolog
|
KORAN SINDO, 02 Mei 2015
Menjelang perayaan May
Day tahun ini, berbagai elemen buruh mengusulkan gelar pahlawan nasional bagi
Marsinah. Elemen buruh dan mahasiswa di Surabaya yang mengenakan kaus merah
bergambar Marsinah juga berunjuk rasa mengelilingi jalan-jalan protokol Surabaya,
menyuarakan pahlawan dari unsur buruh, Kamis (30/4). Tentang Marsinah
sendiri, pasti banyak yang lupa. Padahal dalam dasawarsa 1990-an, tiada kasus
yang sedemikian menyedot perhatian luar biasa kecuali kasus Marsinah.
Sekadar menyegarkan
ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo.
Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah
dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993,
para buruh PT CPS mogok total.
Sampai dengan 5 Mei
1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam unjuk rasa dan
negosiasi. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 perwakilan karyawan yang
bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Pada 5 Mei 1993 siang, tanpa Marsinah,
13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Kodim Sidoarjo.
Mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
Mereka dituduh
menggelar rapat gelap dan mengganggu stabilitas negara. Marsinah sempat
mendatangi Kodim guna menanyakan keberadaan teman-temannya. Anehnya, sekitar
pukul 10 malam pada 5 Mei, Marsinah lenyap. Konon ia diculik. Lalu tubuhnya
ditemukan penuh bekas siksaan pada 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan di
Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk.
Berbagai skenario
dibuat, termasuk menuduh bos PT CPS sebagai pembunuh Marsinah sebagaimana
diungkapkan Trimoelja D Soerjadi. Menurut pengacara senior asal Surabaya itu,
kasus Marsinah sulit diungkap karena melibatkan militer. Maka sebagaimana
kasus pembunuhan Munir masih tertutup kabut misteri, demikian juga kasus Marsinah.
Bandingkan dengan
betapa cepatnya tuduhan dalam kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua
KPK Antasari Azhar. Hingga kini kasus Marsinah masih terdaftar di ILO sebagai
kasus bernomor 1773. Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya
berunjuk rasa memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto
melarang segala bentuk unjuk rasa.
Setiap bentuk unjuk
rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi Marsinah
tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah
penindasan. Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini,
setelah 16 tahun reformasi, tak kunjung membaik.
Masih banyak soal yang
menyandera dan membelenggu mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari
upah yang masih di bawah standar UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta
penundaan hingga kondisi kerja yang membahayakan. Naiknya kapitalisme setelah
ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal
berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita.
Bagi mereka, uang jauh
lebih penting daripada martabat orang. Dalam situasi seperti ini, selain
butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum buruh juga perlu
menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran Peru
8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan.
Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama.
Pertama, mencakup
pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan
kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum
miskin, kaum marginal. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan
mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”.
Ketiga, teologi
pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali
hubungan dengan Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu
memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur
tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur menyebabkan buruh lemah,
selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A
Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation,tr. and rev.
Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.).
Gutierrez bersuara
lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, uruh
memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu
ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan
ketidakadilan. Tapi bagaimana membebaskan kaum buruh?
Apakah lewat jalan
kekerasan saja seperti demo-demo para buruh yang anarkistis? Teologi
pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai
pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya
ditengarai ada pengaruh Marxisme pada teologi ini.
Soal pengaruh Marx ini
memang diakui ada, tetapi ajaran Marx hanya dimanfaatkan dalam menganalisis
susunan dualistis, bangunan atas bangunan bawah: pemodal dan buruh. Gutierrez
menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap
menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan, sebab kekerasan
hanya akan melahirkan kekerasan yang lain.
Pembebasan dalam
teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang dilakukan
ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei
2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan
menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit.
Akibatnya, tujuan
utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan. Pada May Day
tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai
dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan.
Sepuluh tuntutan yang
diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang
lebih manusiawi dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan
relasi yang hendak saling meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan
Marsinah.
Selain itu, di balik
sistem kapitalis yang dianggap ”jahat” sekalipun, sebenarnya masih muncul
pengusaha yang memiliki hati dan menganggap buruh sebagai mitra serta aset
berharga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar