Keris
dan Legitimasi Kuasa Keraton Yogyakarta
Unggul Sudrajat ; Peneliti Sejarah dan Budaya
di Puslitbang Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud
|
MEDIA INDONESIA, 12 Mei 2015
SABDA Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku
Buwono X memuat lima poin utama yang meliputi perubahan gelar khalifatullah,
gelar Buwono menjadi Bawono, penyebutan sedasa menjadi sepuluh, akan mengubah
perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan
serta menyempurnakan dua pusaka utama Keris Kanjeng Kiai Ageng Kopek dan
Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun. Sabda Raja tersebut menimbulkan pro dan
kontra baik di dalam maupun di luar keraton. Setelah melihat perkembangan
yang ada di lapangan, Sultan lantas memberikan penjelasan mengenai Sabda Raja
tersebut yang justru hanya memuat tiga poin saja, perubahan gelar
khalifatullah menjadi panotogomo,
perubahan gelar Buwono menjadi Bawono, dan penyebutan kaping sedasa
menjadi kasepuluh.
Meskipun Sultan telah mengoreksi isi dari
Sabda Raja yang sudah telanjur beredar luas di masyarakat tersebut, ada poin
dari Sabda Raja yang menarik perhatian penulis, yakni Sultan belum
menjelaskan posisi dua pusaka utama keraton berupa keris, yaitu Kanjeng Kiai
Ageng Kopek dan Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun. Kedua pusaka berbentuk keris
(curiga) tersebut merupakan dua
dari beberapa pusaka utama keraton yang mempunyai nilai penting dalam
legitimasi kekuasaan dan proses suksesi kekuasaan di Keraton Yogyakarta.
Pusaka penentu sejarah
Kanjeng Kiai Ageng Kopèk dan Kanjeng Kiai Joko
Piturun ialah keris utama di Keraton Yogyakarta, yang hanya boleh dikenakan
Sultan. Penyematan gelar Kanjeng Kiai Ageng sendiri diberikan pada pusaka
yang secara gaib dianggap paling kuat kekuatannya. Keris Kanjeng Kiai Ageng
Kopek diyakini dibuat pada masa Kesultanan Demak dan pernah dimiliki Sunan
Kalijaga, yang kemudian diturunkan kepada rajaraja Mataram selanjutnya. Keris
berdhapur Jalak Sangu Tumpeng itu
menempati peran historis yang besar karena sebagai simbol pembagian wilayah
Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, dari
Pakubuwono III kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi sultan
pertama Keraton Yogyakarta, Hamengku Buwono I. Keris tersebut diberikan
langsung oleh Sunan Pakubuwono III kepada Pangeran Mangkubumi setelah
Perjanjian Giyanti di Jatisari (1755) yang disaksikan Gubernur VOC kala itu,
Nicholaas Hartingh.
Adapun keris Kanjeng Kiai Joko Piturun lebih
dikenal sebagai salah satu alat legitimasi bagi pengganti sultan yang
bertakhta di Keraton Yogyakarta. Berdasarkan Babad Ngayogyakarta, keris Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun
ditemukan Pangeran Mangkubumi pada saat pengungsiannya di wilayah Gunung
Sindoro. Suatu malam beliau melihat sinar yang keluar dari bawah tumpukan
bulu burung. Setelah Pangeran Mangkubumi melakukan semadi, di bawah tumpukan
bulu burung tersebut ternyata ada sebilah keris berdhapur Jalak Dinding yang
kemudian diambil dan diberi nama Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun. Bersama
dengan Kanjeng Kiai Ageng Kopek, Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun merupakan
cikal bakal sejarah dan legitimasi kekuasaan atas lahirnya Keraton
Yogyakarta. Saat ini, kedua keris pusaka yang berbentuk lurus tersebut
beserta dengan pusaka utama yang lain disimpan dalam tempat khusus, yaitu di
Ndalem Ageng Prabayeksa.
Simbol legitimasi atas
kekuasaan
Tidak hanya berwujud keris, pusaka yang ada di
Keraton Yogyakarta terdiri atas berbagai jenis seperti mahkota, sumping, batu
akik, tombak, wedhung, beragam symbol kerajaan, naskah kuno, catatan sejarah,
wayang kulit, gamelan, kereta kuda, guci, panji, dan perkakas untuk memasak
(Hamengku Buwono X, 2002). Keris sebagai pusaka menempati peranan penting
dalam sejarah Mataram Islam di Jawa. Keris telah menjadi simbol dan alat
legitimasi kekuasaan yang wajib hadir dalam setiap suksesi kekuasaan.
Penyempurnaan dua keris, yaitu Kanjeng Kiai
Ageng Kopek dan Kanjeng Kiai Ageng Joko Piturun, bisa dimaknai dalam tiga
kemungkinan. Pertama, dalam dunia spiritual Jawa, makna sempurna sering kali
digunakan untuk mengiaskan kata menyudahi. Dalam kosmologi Jawa, setiap insan
adalah wayang yang hidup untuk menjalani laku dalam upayanya mencari
kesempurnaan hidup. Setelah kesempurnaan itu dicapai, tugasnya di dunia ini
dianggap telah selesai dan dia akan dipanggil kembali kepada Pencipta.
Pemaknaan sederhana yang dapat ditangkap ialah Sultan ingin menyudahi peranan
kedua pusaka tersebut dalam dinamika yang ada di Keraton Yogyakarta.
Kemungkinan yang kedua ialah menggabungkan
kedua pusaka tersebut menjadi satu keris baru. Usaha menggabungkan (melebur)
dua atau lebih keris menjadi satu keris sebelumnya pernah dilakukan Pangeran
Diponegoro yang melebur tiga keris pusakanya menjadi sebilah keris yang
diberi gelar Kanjeng Kiai Ageng Bondoyuda. Keris tersebut menjadi pusaka
utama dari beberapa pusaka Pangeran Diponegoro yang digunakan dalam Perang
Jawa (1825-1830).
Selanjutnya, kemungkinan ketiga ialah membuat keris dengan
bentuk baru tanpa mengubah keris yang ada. Pertimbangan yang paling
memungkinkan ialah kedua keris tersebut dianggap belum sempurna sehingga
dibutuhkan keris baru yang dianggap mampu melengkapi kekurangan dari kedua
keris tersebut.
Mencari alternatif
baru
Berpijak dari banyak wacana yang beredar bahwa
putri Sultan, GKR Mangkubumi, akan dipersiapkan sebagai putri mahkota, maka
perlu dicari alternatif agar keris tetap digunakan sebagai salah satu alat
legitimasi kekuasaan. Meskipun keris identik dengan pusaka laki-laki, sejarah
membuktikan bahwa keris juga dibuat dan diperuntukkan wanita yang disebut
dengan keris Patrem.
Berbeda dengan keris normal yang diperuntukkan
laki-laki, dari segi fisik bilah keris Patrem lebih kecil dan pendek berkisar
5 cm-30 cm. Baik keris Patrem maupun jenis keris yang lain mempunyai fungsi
yang sama, sebagai pusaka pribadi dan senjata untuk melindungi diri bila
diperlukan.
Sangat dimungkinkan juga apabila Sultan
berkenan, bisa mengambil alternatif tersebut dengan membuat keris Patrem bagi
putrinya sebagai salah satu alat legitimasi kekuasaan keraton. Berpijak pada
zaman yang sudah berubah, bukan mustahil paugeran juga diubah untuk mengikuti
zaman. Begitu juga dengan keris yang selalu berkembang, nunggak semi,
mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan tradisi dan budaya yang sudah
ada.
Tata aturan untuk pembuatan hingga pemakaian
pusaka pun bisa diubah karena merupakan wilayah prerogatif Sultan sebagai
raja. Upaya ini, meskipun akan memunculkan pro dan kontra, akan meminimalkan
gejolak yang ada. Selain itu, hal tersebut akan menjawab pertanyaan publik
mengenai kelanjutan tradisi penyerahan keris sebagai alat suksesi kekuasaan
yang ternyata tidak hanya monopoli laki-laki semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar